16

2.5K 163 2
                                    

Nevda berdiri dengan satu mangkuk soto di tangannya, bibirnya bergerak dengan suara yang ia buat sedikit tinggi agar Hira mendengar panggilannya. Sudah sekitar 2 menit ia berdiri di sini namun Hira belum menyambutnya.

"Kamu tidak basa diam ya? saya sudah bilang jangan ganggu saya!" Pintu terbuka, terlihat pula wajah penuh emosi milik Hira.

"Maaf oma, tadi aku pulang lewat tempat makan langganan oma, keinget sama oma 'kan oma suka banget soto disana." dengan senyum, Nevda menyodorkan semangkuk soto kepada Hira namun Hira malah dengan sengaja mendorong mangkuk tersebut ke arah Nevda hingga mangkuk tersebut tak seimbang dan kuah soto yang panas mengenai tangan Nevda.

Wajah panik Nevda mengundang kekehan Hira, kemudian dengan sangat tega Hira mengambil mangkuk tersebut dan menuangkan semua isi di mangkuk tersebut ke tangan Nevda.

"adek!" Theora memekik, kemudian berlari mendekat, ia melihat lantai kemudian beralih menatap Nevda yang tengah meniup tangan nya dengan ekspresi kesakitan.

Tangan Theora dengan sedikit kasar menarik Nevda menuju kamar mandi di dalam kamar Hira, kemudian menarik tangan memerah Nevda ke wastafel dan mulai menghidupkan air. Ia mendengar ringisan Nevda, jelas ia melihat sang oma menumpahkan soto ke lengan adiknya.

"lo diem disini. Gue mau ngambil perban." ujar Theora dingin, lalu keluar dari kamar mandi, ia melewati Hira begitu saja, tentu hal tersebut mengundang emosi Hira lebih dari sebelumnya.

Lalu Hira masuk ke dalam kamar mandi, mematikan keran air kemudian menggenggam pergelangan tangan Nevda yang memerah akibat tersiram kuah panas. "sudah saya bilang berapa kali? pergi yang jauh dari keluarga ini, kamu membawa dampak buruk di keluarga ini."

"Oma- sakit..." Nevda mencoba melepaskan genggaman tangan Hira, mata Nevda berkaca-kaca karena menahan perih pada tangannya yang bertambah sakit karena genggaman Hira yang sangat kuat.

"Lepas." Theora datang dengan kotak P3K, matanya menatap Hira datar. "Jangan sentuh adek aku. Oma gak berhak nyakitin dia." Hira menatap Theora tak percaya, kemudian menatap Nevda dengan marah.

"Kamu dengar kan? karena kamu cucu saya jadi bersikap tidak sopan sama saya. Kamu itu memang harus cepat-cepat di singkirkan!" Hira hendak menampar Nevda, namun Theora dengan cepat menarik Nevda agar melangkah mundur.

"Cukup oma, aku gak ada waktu untuk semua omong kosong ini, ayo dek gua obatin luka lo." Theora membawa Nevda pergi dari kamar Hira, kemudian di tangga mereka bertemu dengan Syarif.

Theora berhenti di hadapan Syarif, "Aku mohon dengan sangat, tolong kasih tahu oma untuk berhenti nyakitin adek aku, opa. Aku gak tahu sejauh mana aku bisa bersabar" Masih dengan rasa hormat, Theora mengatakan sambil menunjukan tangan Nevda yang melepuh.

Dengan sangat jelas raut khawatir terlihat oleh kedua kakak beradik tersebut, Syarif tampak meraih tangan Nevda dan meniupnya dengan hati-hati, "ini kenapa bisa melepuh gini?" tanya Syarif cemas.

"Oma yang numpahin kuah panas ke tangan Nevda." jawab Theora, "yaudah opa, kasihan Nevda nya kesakitan mau aku obatin dulu." ujar Theora lalu membawa Nevda ke kamarnya meninggalkan Syarif yang bergeming.

❇❈❇❈

Entah mengapa suasana hati Theora sangat buruk hari ini, rasanya sangat jengah berada di situasi seperti ini. Melihat bagaimana Nevda terus disakiti di depan mata kepalanya sendiri sangat memuakkan.

Theora sudah selesai memberi salep pada tangan Nevda yang melepuh, Theora mencoba untuk tetap tenang walaupun sebenarnya ia sangat khawatir, Nevda terus memasang wajah kesakitan namun tak ingin dibawa kerumah sakit untuk mendapat penanganan yang tepat.

Alhasil Theora mengobati alakadarnya. Kemudian setelah selesai mereka hanya diam, hingga pada akhirnya Theora yang harus kembali mengalah dan membuka obrolan.

"Tolong jangan deket-deket sama oma, Nev." mata mereka bertemu, Nevda dapat melihat kesedihan dari bagaimana Theora menatap, namun Theora tak menemukan apapun dari tatapan Nevda.

"Gua cuma mau ngasih tahu ke oma kalau gua sayang sama oma mas. Gua peduli sama oma." Nevda menatap lengan nya yang diperban.

"Tapi yang lo dapetin cuma luka."

Nevda mengangguk kemudian menggeleng singkat, "tapi gua gapapa mas, oma cuma belum bisa nunjukin kasih sayang dengan cara yang umum aja, atau mungkin memang oma gamau ngelakuin itu karena gua belum bisa jadi cucu yang baik, gua belum bisa menuhi keinginan oma."

Helaan nafas Theora terdengar. Nevda menatap sang kakak lekat, ia tak ingin berkelit malam ini. "mas ayo lakuin donor itu." ajak Nevda.

"Gua gak mau kita ribut lagi, tolong ngertiin posisi gua, lo udah cukup tahu apa jawaban yang bisa gua kasih. Jangan, jangan ada berantem lagi dek, gua mau kita jangan kekanakan."

Nevda mengangguk patuh, "gua juga ga mau kita ribut, gua cuma mau kita diskusi, yang gua tawarin itu menguntungkan kedua belah pihak, lo mau sembuh dan gua bisa menjadi obat penawarnya, disamping itu gua juga merasa teruntungkan, karena lo jadi satu-satunya jalan gua buat pulang."

"gua ga akan pernah setuju soal donor itu!" nada bicara Theora meninggi, hal tersebut mampu membungkam Nevda lebih praktis. "sekali-sekali tempatin diri lo diposisi gua buat nyari tau gimana rasanya harus milih antara sembuh atau kehidupan seseorang. Gua bukan orang yang egois, kalau gua bisa sembuh gua seneng, tapi gua gamau maksain diri dengan ngorbanin lo, gua gamau ngebunuh adek gua sendiri."

Tatapan Nevda menghangat, juga dengan rentangan tangan yang tiba-tiba tertangkap oleh netra Theora. "gua cuma mau ngomong tanpa bentakan, jangan meninggikan suara, kita bisa bicara pelan-pelan. Kata lo, kita jangan kekanakan? ayo."

Butuh waktu beberapa detik bagi Theora untuk memeluk tubuh sang adik. Nevda membiarkan punggungnya dielus lembut oleh Theora, mendengar deru nafas Theora yang mulai teratur sudah menjadi bukti bahwa Theora merasa lebih tenang.

Setelah banyak sekali kejadian yang tak memiliki ujung baik, mereka sama-sama merasa sakit. Tentang semua pertengkaran yang berakhir di tengah jalan, kemudian bersikap seolah-olah tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya.

Mereka hanya mendapat luka dari hari ke hari, membiarkan emosi yang diujung tanduk dipaksa menghilang setiap mencapai puncak. Mereka terbiasa menelan emosi bulat-bulat hingga akhirnya mereka tidak pernah menyelesaikan masalah dengan matang.

mungkin saja, keluarga ini memang tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalah, membuat semuanya terlihat baik-baik saja tanpa mau memperpanjang.

Namun yang tak mereka sadari, semua ini hanya membuat mereka semakin jauh. Dinding yang tercipta semakin kokoh seiring tak tersampaikannya emosi mereka.

kemudian yang tersisa hanya senyum yang semakin hari semakin palsu.

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang