"Buka pintu nya sekarang, punya otak ga sih? ini udah malem! mau sampe kapan lo ngunci dia didalem sana?!" Naka menunjuk kamar mandi dengan amarah yang semakin membuncah.
"Gausah ngatur! ini demi kebaikan dia, biar dia tau kalau yang namanya salah harus dihukum!"
Sejak pagi ia menahan diri untuk tidak memukul pemuda yang berubah menjadi sangat brengsek ini, rasanya tangannya sudah sangat gatal, tidak tahan untuk memberi beberapa pukulan agar Theora sadar apa yang telah dia lakukan.
"Dari siang gua ga denger suara dia. Dia ga jawab waktu gua panggil-panggil. Gua takut dia kenapa-kenapa didalem, lo masih punya hati 'kan? lo gamau Nevda kenapa-kenapa 'kan?" tanya Naka masih menahan amarah.
Diamnya Theora nyatanya malah membakar hati Naka lebih dari seharusnya, Naka menggedor pintu kamar mandi entah untuk yang keberapa kali, ia memanggil nama Nevda berulang kali.
Nihil, sedari siang yang menemani Naka hanya hampa. Naka menarik Theora untuk mendekat ke arah pintu, kemudian Naka kembali meminta Theora untuk membuka pintu tersebut.
"buka." lirih Naka.
"GUA BILANG BUKA YA BUKA!" habis kesabaran Naka, ia berteriak tepat didepan wajah Theora, urat-urat lehernya menyembul, dengan nafas yang memburu.
"ada apa ini?" Mova datang dengan tergesa diikuti oleh Hira.
"Tante, Naka mohon banget. Suruh anak kesayangan tante ini untuk buka pintu kamar mandi itu. Nevda ada di dalem dan Theo ngunci Nevda dari pagi tante, ga ada yang tahu gimana keadaan dia di dalem."
Mova maju satu langkah dan memegang bahu Naka, "Tante udah denger semuanya dari oma dan Theo. Nevda memang pantas mendapat hukuman, agar setelah ini dia bisa lebih sopan kepada yang lebih tua. Kamu gak perlu khawatir, Theo tau yang terbaik untuk adiknya."
Naka mundur agar tangan Mova enyah dari bahunya, "Theo cucu oma, buka saja pintu nya. Kamu sudah menghukumnya terlalu lama, dia pasti sudah jera." itu suara Hira, Naka berdecih dalam hati.
"Enggak oma, udah oma ga perlu khawatir. Sekarang oma sama bunda istirahat aja ya. Biar Nevda jadi urusan Theo." Hira mengangguk kemudian membawa Mova keluar dari kamar tersebut.
"Ini udah malem, lo tidur aja. Nevda ga akan kenapa-kenapa di dalem sana." Theora melepas jaket yang tadi ia kenakan karena udara yang terasa dingin.
"Gua mau tidur, jadi jangan bikin keributan lagi." Theora berjalan menuju ranjang, namun ujaran Naka cukup membuat Theora membeku ditempatnya.
"Dia... belum makan apapun dari kemarin. Kemarin dia nungguin lo seharian dan pas lo pulang dia memperlakukan lo dengan sangat baik, tapi pagi tadi lo malah memperlakukan dia dengan sangat buruk. Gua gatau kenapa lo berubah begini, tapi didalem sana gua gabisa bayangin gimana keadaan dia, dua hari dia ga makan, mungkin sekarang dia udah pingsan makanya dia ga jawab walaupun gua manggilin kayak orang kesetanan."
"Kalau lo udah ga sayang sama dia, besok biarin gua bawa dia ke rumah gua, seenggaknya dia ga akan diperlakukan seburuk ini dirumah gua."
Helaan nafas Theora terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang mulai mendekati kamar mandi. Theora mengambil kunci didalam saku celananya, kemudian membuka kunci tersebut dengan perlahan.
Naka dengan cepat membuka pintu tersebut, bulu-bulu di tangannya meremang ketika yang menyambutnya hanya kegelapan, Naka menekan saklar hingga lampu menyala, matanya menyusuri bilik hingga menemukan tubuh Nevda yang tengah duduk di lantai dengan wajah yang ditenggelamkan kedalam lipatan tangan.
Theora mendekat dengan tangan yang gemetar, "Nev?" Panggil Theora, namun Nevda tidak menjawab.
Naka mendekat, kemudian menangkup wajah Nevda untuk membuatnya terlihat jelas pada pandangan Naka, satu yang Naka yakini, Nevda tidak baik-baik saja saat ini.
Naka mencoba membawa Nevda keluar kamar mandi, Theora menepuk pipi Nevda yang terasa sangat dingin. "Nev? ayo bangun ini mas Theo."
Perlahan kelopak mata tersebut terbuka, mata sayu Nevda begitu menyakitkan untuk Theora dan Naka lihat. "k, kak." Nevda kembali memejamkan mata.
"Ini kakak disini, yuk bangun dulu, minum dulu yuk sini." Naka menyambar air yang terdapat di meja kemudian memberikannya kepada Nevda.
"Hey, bangun dong. Buka matanya yuk." Nevda membuka matanya kembali, tersenyum tipis melihat wajah khawatir kedua lelaki dihadapannya.
"Lo gapapa kan?" Naka menatap Theora berang, ingin sekali membuat mulut tersebut robek saat ini juga, beruntung kewarasannya masih ada.
Nevda mengangguk dengan senyum, lalu mencoba untuk bangkit dibantu oleh Theora dan Naka. "Lo butuh sesuatu? biar gua ambilin." tawar Naka.
"Obat, mas belum minum obat kan?"
Naka membawa Nevda untuk duduk ketika mengetahui bahwa alasan Nevda hendak bangkit adalah untuk memberikan obat kepada Theora. "Dia punya tangan, punya kaki, bisa jalan sendiri, bisa ambil sendiri. Lo lemes jadi diem aja."
"Minum obat dulu, mas." ucap Nevda kemudian menatap Naka dengan senyuman. "gua gapapa, lo santai aja kak."
Theora menatap Nevda sayu, bahkan setelah ia mengurung Nevda seharian di dalam kamar mandi anak itu masih memprioritaskan kesehatannya.
Rasa bersalah itu muncul, menghilangkan semua emosi yang ia rasakan seharian ini. Melihat tubuh lemas Nevda sangat menyakiti hatinya, apakah ia keterlaluan? apakah adiknya kesakitan?
"maafin gua, Nev."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.