Nevda membawa gelas berisikan air putih, ketika membuka pintu kamar ternyata Naka sudah tertidur namun tidak dengan Wisnu. Pria tampan itu tengah melamun, menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong. Kira-kira apa yang pria itu sedang pikirkan? ah, pasti sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Nevda duduk disebelah Wisnu, meletakkan gelas digenggamannya ke meja kemudian bersandar penuh pada sofa. Ia menyadari Wisnu menoleh kearahnya, namun ia memilih memandang gelas yang baru saja ia taruh diatas meja.
"Kamu tidur, sana." Nevda tersenyum tanpa menoleh, namun tak memberi anggukan.
"Bentar lagi mas."
Wisnu mengangguk kemudian berdiri, melirik jam sejenak lalu menatap Nevda. "Mas ada urusan mendadak, kamu tidur lagi jangan begadang ya. Kalau ada apa-apa bangunin Naka atau telepon mas."
"Urusan? ini hampir jam 2 pagi, mas." Nevda mengerutkan dahi, "mas belum tidur sama sekali lho, gak bisa besok aja diselesaiin urusannya?" tanya Nevda.
"Ini penting, mas harus selamatin nyawa orang jadi mas harus pergi sekarang." Akhirnya Nevda mengangguk, tak ingin membuang-buang waktu Wisnu. Pasti pria itu lelah, namun kewajibannya juga tak kalah penting.
"Hati-hati mas." Wisnu mengangguk dan pergi dari sana. Nevda menatap Naka yang tertidur, beberapa menit kemudian ia bangkit dan menuju balkon.
Siapa sangka jika saat ini, di balkon kamar Theora juga terdapat satu pemuda yang tengah memandang langit dengan sendu. pemuda itu terlihat sedikit kacau malam ini.
Namun Nevda tak ingin mengusik ketenangan kakaknya, ia hanya duduk dikursi yang tersedia dibalkon kamarnya tanpa bersuara sedikitpun.
Butuh waktu 20 menit bagi Theora untuk menyadari kehadiran Nevda yang tak jauh dari nya. Theora hendak pergi masuk kedalam, namun ketika netranya menangkap tatapan kosong milik adiknya, ia urungkan niatnya untuk masuk kedalam kamar.
Theora buru-buru mencari objek menarik ketika melihat Nevda yang mengerjabkan mata. Nevda menatap Theora sekilas, namun Theora menyadarinya.
"Gua denger pembicaraan lo sama ayah tadi." Theora menoleh dengan cepat namun Nevda hanya menatap langit yang gelap.
"Jadi kenapa lo belum pergi?" tanya Theora ikut memandang langit.
"Gua pasti pergi, sesuai keinginan lo." Hati Theora berdesir, mendengar ucapan adiknya. "tapi, boleh gak gua menetap disini sampai siang nanti? kata ayah nanti siang lo bakal ke rumah sakit, gua janji sepulang dari rumah sakit lo gak akan pernah lihat gua lagi."
Theora menoleh sekali lagi, menatap Nevda dengan perasaan takut, kenapa ia merasa begitu ketakutan? kenapa kalimat Nevda terdengar begitu mengerikan untuknya?
"Gak. Gua mau lo pergi pagi ini."
Kini Nevda juga ikut menoleh, menatap Theora yang juga kini menatapnya, mata mereka bertemu. Senyum Nevda terukir lagi.
"Kasih gua sedikit waktu."
"Untuk apa? bahaya ngasih waktu ke manusia kayak lo. Gimana kalau waktu yang gua kasih malah lo gunain buat hal negatif? gua gamau ada anggota keluarga gua yang meninggal."
Sakit banget dengernya, mas.
"Gua paham kekhawatiran lo, oke gapapa, kalau gitu gua ucapin salam perpisahan sekarang aja mumpung ada waktu."
"Selamat tinggal mas. Maaf kalau selama ini gua selalu nyusahin, maaf kalau gua jadi dalang dari semua masalah di keluarga ini, gua paham se-muak apa lo sama gua. mungkin maaf aja ga akan bisa untuk balikin semua waktu yang udah lo sia-sia in demi jagain dan ngebela gua sebelum ini."
"Makasih juga untuk semua yang udah lo lakuin ke gua, makasih karena pernah sayang sama gua, lo baik, gua ga mungkin bisa balas semua kebaikan lo, lo kakak terbaik, gua sayang banget sama lo."
"Gua harap lo cepet sembuh mas. Suatu saat nanti kalau lo udah maafin gua, dateng ke rumah baru gua ya? nanti lo bisa tanya sama ayah dimana rumah baru gua."
Theora pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nevda terkekeh kemudian masuk kedalam kamarnya, mengambil sesuatu dan kembali duduk dikursi.
Semua rasa sakit yang hari ini ia rasakan sepertinya terlalu menyakitkan. Matanya fokus menatap ujung cutter yang tajam, remaja tersebut menggores jarinya.
Ah, ia tak sengaja melukai jarinya sendiri, sungguh. Nevda membiarkan darah itu menetes, tanpa menyadari bahwa Theora menyaksikan perbuatannya.
Sayatan baru kembali ia buat. Dua terlalu sedikit, ia menambahnya lagi namun kini di lengannya. Nevda tidak tahu kapan Theora masuk namun pemuda itu kini merampas cutternya.
"M, mas?" Nevda berdiri karena terkejut.
"Apa yang lo lakuin?!" Nevda tersentak ketika Theora menaikan nada bicaranya, Nevda meminta Theora untuk mengecilkan suaranya karena Naka baru saja tertidur.
Nevda ditarik menuju kamar Theora. "Lo udah gila ya?!" Theora melepas genggamannya pada pergelangan tangan Nevda, lalu mencari sesuatu untuk membersihkan luka tersebut.
Nevda mengamati bagaimana kakaknya membersihkan lukanya, kemudian menutup luka tersebut menggunakan perban.
"Kenapa lo nyakitin diri sendiri?! gak cukup gua yang nyakitin lo akhir-akhir ini?! kalo menurut lo gua kurang nyakitin lo bilang, gua bakal ngelakuin lebih dari sebelum ini!"
"Boleh."
Theora menatap Nevda tajam, Theora merasa ditantang. Kesabarannya benar-benar diuji ketika berada didekat Nevda. Sama sekali tidak bisa tenang.
PLAK
"Kurang?"
PLAK
PLAK
Theora menatap pipi Nevda yang memerah, kemudian mundur beberapa langkah, ia meraup wajahnya frustasi.
"Keluar." Theora membelakangi Nevda, mencoba mencari tenang yang sulit dia dapatkan.
"Kenapa mas berhenti? gua ga keberatan nerima semua ini, lakuin lagi, karena habis ini lo ga akan bisa mukul gua lagi, mas."
"Gua bakal pergi yang jauh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.