23

2.3K 142 3
                                    

Tidak ada yang pernah terjadi, anggap saja seperti itu. Setelah kejadian dimana Hira melukai Nevda, masih di malam yang sama Theora memasuki kamar dan mengunci pintu.

Ia membiarkan Naka ikut ke rumahnya dengan membawa sang adik yang masih setia membisu sejak kejadian tadi.

Naka sedang membersihkan darah yang keluar dari leher Nevda. Theora sudah mengajak Nevda ke rumah sakit namun Nevda hanya menggeleng singkat, karena Theora sangat khawatir maka Theora menelepon dokter dan meminta arahan untuk mengobati luka tersebut.

"Dok tapi beneran gapapa? ini ga harus di jahit atau apa gitu? kena pisau loh dok." ujar Theora penuh khawatir.

"Dari foto yang kamu kirim sih aman, cuma kegores sedikit kok jadi ga perlu sampe dijahit. Seharusnya bawa ke sini biar saya yang obatin, tapi berhubung Nevda gamau yaudah kamu ikutin arahan saya saja."

"nah iya begitu, bersihkan dulu darahnya pakai kapas steril, pastikan juga tangan nya ga kotor takut infeksi."

Theora menghela nafas, "Nevda? aman?" suara dokter kembali terdengar, Nevda membuka mata ketika namanya disebut.

"Gapapa, kamu kan jagoan, lehernya ke gores sedikit doang itu, kamu masih bisa ngomong jadi jangan diem aja."

Nevda menelan saliva, membiarkan mereka berbicara tanpa berniat menjawab. Rasanya sangat menyakitkan, bukan karena lehernya terluka, tetapi karena ia harus menjadi alasan keluarganya tak bahagia.

Semakin lama ia bertahan, selama itu pula ia selalu disadarkan bahwa ia tidak pantas berada didunia. Ia bahkan masih ingat wajah putus asa Theora ketika sang oma mengarahkan pisau tepat di lehernya.

Juga bagaimana Theora menatapnya seakan-akan Theora sangat lelah selalu berada di situasi seperti itu, kemudian ujaran lirih Theora yang memohon kepada oma untuk berhenti menyakitinya.

"Udah..." lirih Nevda.

"Tunggu-tunggu, ini sedikit lagi selesai." Naka menahan kepala Nevda agar tidak menjauh.

"Sakit hm?" Tanya Theora sembari mengelus kepala Nevda dengan lembut.

"Maaf belum bisa nolongin lo. Lo yang minta gua untuk ga laporin oma ke pihak yang berwajib, padahal kalau diproses lo bisa bebas dari siksaan oma." ujar Theora. "Lo harus janji untuk ga deket-deket sama oma selama oma disini, gua gamau lo luka lagi." Lanjut Theora.

"Selesai." ucap Naka.

Nevda bangkit membuat Naka dan Theora kebingungan, namun Theora langsung tersenyum hangat ketika mengetahui adiknya menyiapkan obat untuknya.

"Minum obat dulu mas, lo udah telat satu jam." Nevda memberikan beberapa butir obat dan segelas air putih.

"Istirahat mas, lo pasti capek. Kak Naka juga, makasih udah obatin gua." Naka mengangguk, "Iya, lo keliatan capek banget, tidur sana."

"Lo sama Nevda tidur di sini aja sama gue, kita tidur bertiga." Theora merebahkan diri di kasur king size nya, mata nya memang sudah meminta di pejamkan sedari tadi.

"Dek, lo juga tidur sini." ajak Theora.

"Duluan aja mas."

❇❈❇❈

Tinggal satu atap bersama orang yang berpotensi menyelakainya mungkin membuat kakak nya sangat khawatir.

Terbukti dari bagaimana tangan Hira kini mencekik leher Nevda yang terluka. Saat ini jam menunjukan pukul dua malam, Nevda berniat untuk mengambil minum di dapur namun malah bertemu dengan sang oma.

Di sisi lain, Naka tiba-tiba terbangun dan menoleh kekanan-kiri mencari Nevda yang seingatnya tidur disampingnya tadi.

Naka bergerak perlahan keluar kamar agar Theora tak menyadarinya. Naka menuruni tangga, kemudian berjalan ke ruang keluarga namun tak menemukan Nevda disana, setelah mencari ke halaman belakang dan teras akhirnya Naka berniat memasuki kamar untuk mengecek kamar mandi.

Bisa saja Nevda sedang berada di kamar mandi. Ah bodoh sekali, mengapa tadi ia langsung mencari keluar.

"Saya membencimu!" Dahi Naka berkerut, ia seperti mendengar suara seseorang. Kemudian dengan mengendap-endap ia berjalan ke sumber suara.

"Gimana rasanya? kamu gabisa napas? kasihannyaa.." Naka terbelalak melihat siluet seseorang yang ia yakini adalah sang oma.

"Oma.. a-ku emhh gapapa, oma bo.. leh bunuh, t-tapi mas Theo, d-donor please."

Hira tersenyum miring, "Mana janji kamu? katanya mau donorin ginjal kamu ke cucu saya, untuk apa saya nunggu lama kalau kamu ga niat? lebih baik saya bunuh kamu." ujar Hira.

"Ka..sih aku waktu, mas haru..ss sem-buh." mungkin jika Hira tidak melepaskan tangannya maka saat ini Nevda sudah tidak sadarkan diri.

"Saya muak ngeliat kamu, saya mau kamu cepet-cepet pergi. Buktikan kalau kamu memang mau nyembuhin cucu saya, saya ga bisa nunggu lama. Dalam seminggu ini kalau kamu gabisa meyakinkan Theo, ucapkan salam perpisahan kepada dunia." Hira sedikit terkejut ketika melihat Naka berdiri didekat mereka, namun segera pergi tanpa sedikitpun peduli.

Nevda juga terlihat terkejut ketika tiba-tiba tubuhnya diangkat dan dibawa ke dalam kamar dengan hati-hati, ia masih mencoba untuk menetralkan deru napasnya.

Karena cahaya yang terang, Naka dapat melihat dengan jelas kapas yang kini berubah berwarna merah karena luka di leher Nevda kembali mengeluarkan darah.

"Ini gapapa, lanjut tidur kak." Bisik Nevda ketika Naka siap mencari kotak P3K.

"Berdarah Nev."

"Kak-" Naka memeluk Nevda lagi, "Oke, terserah lo mau gimana, gua cuma mau bilang kalau gua sayang lo, Theora pasti jauh lebih sayang sama lo, jadi jangan bikin orang yang lo sayang sedih karena ngeliat lo luka, apalagi tiada."

"gua temenin lo sampe tidur."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang