37

2K 111 0
                                    

"Lepas! lepasin dia, kamu awas. menjauh." Andrian mendorong Theora pelan agar menjauhi Nevda yang sudah babak belur.

"Apa yang kamu lakuin ke adek kamu?" tanya Andrian pelan, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat karena melihat Nevda yang sudah begitu lemas.

Beberapa menit yang lalu Andrian ingin menemui Nevda namun anak itu tak ada dikamarnya, Andrian masuk kekamar Theora karena mendengar sedikit keributan lalu melihat pemandangan seperti ini, kedua anaknya berkelahi, tidak, salah satu anaknya memukul anaknya yang lain.

"Ayo kerumah sakit sama ayah." Nevda menggeleng kemudian mencoba berdiri dengan tegak, "Aku gapapa." setelah mengatakan itu Nevda membungkuk.

Siapa sangka jika anak itu tiba-tiba memuntahkan cairan kental berwarna merah lumayan banyak.

"Nev?!" Andrian memegang bahu remaja rapuh tersebut sedangkan Theora mulai mendekat, raut khawatir begitu kentara.

"Gua mukul lo terlalu kuat? gua cuma lagi emosi maafin gua, lo... muntah darah harus ke rumah sakit sekarang, maafin mas Nev ayo ke rumah sakit." Theora berjongkok untuk dapat melihat wajah Nevda.

Theora menunduk dalam kemudian mencengkram dadanya kuat, erangannya tertahan.

"M-mas kambuh yah."

Andrian terlihat jauh lebih panik dari sebelumnya, pria itu membantu Theora untuk duduk disofa. Nevda masuk kedalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Ia menatap pantulan dirinya sendiri dicermin. Tidak ada yang baik-baik saja dengan dirinya.

Theora banyak sekali menendang perut dan dadanya, sangat menyakitkan. Napasnya berat, tubuhnya terasa panas dan semua terasa sakit bahkan hanya untuk sekedar bergerak.

Remaja tersebut duduk dilantai kamar mandi dan bersandar pada dinding, ringisannya tak terdengar namun raut wajahnya menjelaskan betapa kesakitannya ia sekarang.

Air matanya keluar, ia mulai menangis disana. Tangannya mencengkram perut dengan kuat dan isakan kecilnya terdengar. Lelah sekali rasanya berada disituasi seperti ini, ia selalu kesakitan sendirian. Padahal ia hanya ingin menikmati sisa waktunya dengan tenang, dengan tawa semua orang, namun yang terjadi selalu mengecewakan.

Jika ia hadir dan disuguhi luka apa ia harus berakhir dengan luka pula? Mengapa sulit sekali menata hidup penuh bahagia? mengapa ia tak pernah merasakannya? dimana letak keadilan yang seharusnya tuhan berikan?

Apa ia tak cukup pantas untuk tertawa? hingga tuhan hanya mendatangkan luka? mengapa ia harus ada jika hanya berujung duka?

haruskah ia pasrah dan berhenti mencari bahagia? lagipula tak ada waktu yang tersisa, ia akan tiada tanpa merasakan bahagia.

*****

Theora dan Mova sudah berada dirumah sakit sejak malam dan siang ini Nevda akan datang untuk menjadi penyembuh kakaknya.

"Ngapain sih pake masker didalem mobil?" Wisnu dan Naka sama-sama menatap Nevda yang baru saja masuk kedalam mobil diikuti oleh Andrian.

Tadi pagi-pagi sekali Wisnu baru pulang setelah pergi semalaman. Sejak pagi Nevda menjaga jarak dengan seluruh anggota keluarga karena Nevda takut lukanya terlihat oleh mereka, Nevda tak tahu alasan apa yang akan ia beri jika ada salah satu dari mereka yang menanyakan tentang luka-luka yang Nevda dapatkan.

Hanya masker, topi dan baju lengan panjang yang menjadi penyelamat Nevda, walaupun terasa panas dan sesak Nevda tetap memaksakan diri tampil tertutup.

"Aku flu."

"Ka-"

"Udahlah kak, biarin aja Nevda pake masker." ujar Naka yang tak terlalu mempermasalahkan.

"Bu, kita berangkat bareng aja." Nevda menunduk ketika Hira mendekat dengan tatapan tajam untuknya.

"Tidak, ibu tidak mau tertular penyakit dia." Hira memasuki mobil yang jaraknya tak jauh dari mobil yang Nevda tumpangi, hanya karena ia berada dimobil ini sang oma sampai tidak mau berangkat bersama dan lebih memilih pergi bersama supir saja, apakah ia sehina itu hingga oma tidak ingin ada didekatnya?

Mobil yang ditumpangi Hira mulai berjalan dengan perlahan diikuti oleh Andrian dibelakang. Entah mengapa suasana mobil begitu mencekam kali ini. Nevda menoleh kebelakang, Naka tengah sibuk dengan ponselnya dan Wisnu memandang lurus kedepan.

"Mau pindah kebelakang?" Naka mengangkat wajahnya, melihat Nevda yang mulai menggeleng dan kembali duduk dengan tenang didepan.

Kemudian Naka menatap Wisnu yang sejak ia bangun tidur terasa berbeda, Wisnu banyak sekali diam dan Naka hanya menemukan Wisnu yang seperti ini ketika Wisnu sedang dalam tekanan besar.

Helaan napas terdengar, Naka kembali menjadikan ponsel sebagai fokusnya. Pemuda itu membuka aplikasi pengirim pesan dan mencari nama kakaknya.

Kakak

Kakak gapapa?|
Dari pagi diem aja, lagi ada masalah ya?|

Naka melirik Wisnu yang membuka pesan darinya, pria itu menatap Naka sekilas kemudian membalas.

|Kelihatan banget, dek?

Iya, Kakak kenapa?|

|Biasa, masalah kerjaan

Kali ini kenapaa?|

|Ada orang yang harus kakak selametin, padahal kakak baru aja pulang dan mau seneng-seneng sama keluarga, malah begini. Ya tuntutan kerja sih, namanya juga kakak dokter.

Gapapa kak, bantu orang yang lagi sakit itu mulia banget. Semangat kak! jangan murung terus.|
Nevda nanyain kakak terus tuh, katanya kenapa kakak banyak diem, dia khawatir|

Wisnu berdehem dan mematikan ponselnya, pria itu menatap lurus kedepan dan membenarkan posisi duduknya.

"Nanti agak sore-an kamu ikut mas ya Nev? mas lagi banyak kerjaan, kamu gak sibuk kan? bantu mas ya."

"Gak bisa!" Semua menatap Andrian, Wisnu mengerutkan dahinya bingung. "Maksud om, Nevda harus nemenin Theo di rumah sakit hari ini."

"Om, tapi aku butuh Nevda banget. Kalau Theo kan banyak yang jaga. Ada tante, om, oma. Boleh ya om? hari ini aja."

Andrian menggeleng, "Gak bisa Nu. Theo itu butuh Nevda. Kamu bisa sama Naka kan?"

"Naka ada perlu, om. Makanya aku minta Nevda yang ikut aku. Boleh ya om? hari ini aja aku janji deh."

"Gak bisa, Nu."

"Lagian ngapain sih om? Theo juga ga mau dijaga sama Nevda kok! dia bilang dia benci sama Nevda. Biarin Nevda bantu kak nunu, om. Di rumah sakit juga kehadirannya ga dihargai!" itu suara Naka yang ikut berbicara.

Nevda memejam mendengar ujaran Naka. Benar, hadirnya tak berharga, itu alasan mengapa hari ini ia memilih mengakhiri hidupnya.

Nevda menoleh ke belakang walaupun pergerakannya membuahkan sakit akibat pukulan Theora semalam.

"Maaf, mas. Ak-"

BRAKK

Telinga Nevda berdengung panjang hingga Nevda merasakan mobil yang mereka bawa tak melaju seperti seharusnya, Nevda seperti kehilangan kata untuk bersuara, napasnya tercekat, tubuhnya terasa mati rasa, jantungnya seperti kehilangan detaknya.

Ada apa dengan kisahnya?

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang