13

2.4K 199 8
                                    

Mungkin sudah menjadi tradisi di keluarga ini, jika ada pertengkaran maka tak akan berlangsung lama. Kejadian semalam juga sama sekali tidak di bahas lagi oleh Theora, mungkin lebih tepatnya menghindari topik itu.

Mereka bertahan hingga siang ini, Nevda membiarkan Theora bersikap biasa saja kepadanya, seperti tak ada badai yang datang semalam, namun bukan berarti Nevda menyerah untuk membujuk sang kakak.

Saat ini mungkin Nevda sedang mencari cara untuk mendapat persetujuan Theora, atau jika memang Theora kekeuh tidak ingin menerima pemberiannya, ia akan memberi secara paksa.

karena sudah cukup bagi Nevda, mengetahui bahwa orang tua nya pernah berdiskusi untuk merelakannya demi kehidupan sang kakak sudah cukup membuat Nevda sadar dimana posisi Nevda.

"opa, ini aku buat bubur untuk opa." Nevda memberikan satu mangkuk bubur kepada Syarif, kakek Nevda.

Hari ini, Nevda kedatangan sang kakek sebagai pelengkap hari nya, mungkin terakhir mereka bertemu sudah hampir 1 tahun yang lalu, dan hari ini rindu Nevda sudah terbayar.

Nevda bahagia, tentu saja. Karena dari banyak nya orang yang membencinya, sang kakek menjadi salah satu yang menyayanginya dengan tulus.

"kamu udah makan? sini makan bareng sama opa, kita udah lama ga makan bareng" ujar Syarif.

"Nevda nanti aja, opa makan duluan. Nevda mau nganterin bubur ke mas Theo dulu." Nevda pamit, lalu berjalan ke kamar Theora untuk memberikan semangkuk bubur.

Saat di tangga, Nevda bertemu Dellana. "kak, mau kemana?" tanya Nevda ramah.

Dellana tersenyum canggung, "ke dapur, Theo belum makan apa pun siang ini, jadi aku mau buat sesuatu"

Nevda memberikan satu mangkuk bubur, "ini aku baru aja mau ngasih bubur ke mas Theo, kalau gitu aku sekalian minta tolong kasihin bubur nya ke mas Theo ya? kak Della mau juga ga? aku buat banyak."

"mauu, nanti kakak ambil sendiri. Kamu juga makan dulu sana, kata Theo kamu juga belum makan." Nevda mengangguk, mengabaikan kepedulian Dellana dan memilih menjauh setelah berpamitan.

❇❈❇❈

"ga sia-sia aku ngerawat dia sampe sebesar ini sayang, dia tau apa yang kita inginkan, dia tau cara membalas budi."

Nevda berhenti di depan pintu kamar orang tua nya.

"aku pikir dia akan memberontak dan menolak jika suatu saat kita meminta nya, namun ternyata dia malah menawarkannya secara langsung."

"Mov, apa kamu yakin ingin merelakan Nevda?" Nevda mendengar dengan jelas bahwa namanya disebut oleh sang ayah.

"aku sangat menyayangi Theo" Nevda tersenyum mendengar jawaban Mova, wah, keluarga nya sangat penyayang.

"aku merasa bersalah, anak itu tampak sangat menginginkan Theo sembuh sampai rela mengorbankan diri sendiri" ujar Andrian dari dalam kamar.

"aku akan berbicara kepadanya, aku akan sangat berterimakasih jika dia benar-benar serius dengan ucapannya. Selama ini kita sudah berusaha mencari, namun didepan mata kita punya penyembuh Theo." Nevda masih mendengarkan suara Mova.

Lalu Andrian terdengar mencegah Mova, "jangan sayang, kita jangan terlihat senang untuk situasi ini, jangan membuat seakan-akan kita memang menginginkannya sejak lama, kita harus berpura-pura melarang, mengkhawatirkan keadaannya, agar ia semakin yakin untuk melakukannya."

"aku hanya menginginkan Theo sembuh, dan melakukan banyak hal bersama, aku sangat menyayangi Theo. Selama ini ia hidup dengan banyak rasa sakit, aku ingin Theo bahagia."

"kuat juga ya kamu dengerin obrolan mereka." Nevda terkejut ketika tiba-tiba ada yang membisiki nya, kemudian netra nya menangkap Hira yang berdiri tepat dibelakangnya.

Nevda tersenyum lalu berjalan sedikit menjauh dari pintu kamar orang tua nya, "eh oma, tadi aku buat bubur, oma mau aku ambilin? sekalian aku mau nanya ayah sama bunda mau makan bubur engga." Nevda mencoba berbicara seperti biasanya, seakan percakapan yang ia dengar tadi hanya halusinasi saja.

Lalu setelah berucap, Mova dan Andrian keluar dengan wajah panik, "ayah sama bunda mau makan bubur engga? tadi aku buat banyak." tanya Nevda, ia melihat bagaimana raut Mova dan Andrian tampak lebih lega karena berpikir bahwa Nevda tak mendengar percakapan mereka.

"o-oh, boleh. Ayah sama bunda mau, ayah tunggu di meja makan ya." ujar Andrian lalu menarik Mova untuk ikut bersamanya.

Saat ini hanya tersisa Hira dan dirinya, nevda tersenyum sopan kepada hira, "sudah saya bilang kan bahwa mereka tidak menginginkan kehadiranmu, lebih baik cepat akhiri hidupmu." ujar Hira.

"makasih ya, oma. Karena oma aku jadi tahu beberapa hal yang ga aku tahu. Oma jangan khawatir, sebentar lagi aku akan pergi kok, aku udah janji ke ayah untuk kasih ginjal ku ke mas Theo, sabar sebentar lagi ya oma." Nevda masih setia dengan senyum nya.

"terserah, lebih cepat kamu mati maka lebih bagus. Jangan menunda hal baik." Sarkas Hira.

Nevda mengangguk sebagai jawaban, "nanti oma harus dateng ke makam aku ya? aku minta tolong maafin semua kesalahan yang pernah aku lakuin kalo oma berkenan."

"aku ga munafik, aku takut meninggal oma, tapi seenggaknya kalau aku benar pergi sebelum itu terjadi aku mau minta maaf sama semua orang yang pernah aku kenal."

"maafin aku ya oma, belum bisa jadi cucu yang baik, selalu nyusahin oma."

"semoga oma bahagia."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang