09

2.6K 197 0
                                    

Tarikan napas yang dalam dilanjutkan dengan hembusan perlahan menjadi hal utama yang Nevda lakukan ketika memasuki kamar Theora untuk menghalau sesak di dadanya.

Ia memperhatikan bagaimana gerakan tangan Dellana yang sangat hati-hati dalam menyuapi Theora.

Ini adalah pagi hari, setelah kemarin malam mereka sengaja membiarkan tubuhnya terguyur hujan, pagi ini suhu tubuh Theora mulai normal setelah kemarin sangat tinggi.

Sepertinya Dellana juga langsung bergegas kemari saat mendapat kabar bahwa Theora demam.

"minum obat nya, jangan main hp dulu sayang." Nevda memperhatikan bagaimana Dellana merebut ponsel pintar milik Theora, yang disambut senyum Theora.

Tangan besar Theora memasukan dua obat sekaligus ke dalam mulutnya, lalu dengan cepat Dellana memberikan air putih agar Theora bisa memusnahkan obat itu dari mulutnya.

"pinter, masih pusing sayang? kamu ada yang sakit engga?" tanya Dellana yang langsung disambut gelengan Theora. Dellana tersenyum, lalu memeluk tubuh Theora dengan tiba-tiba.

Nevda menunduk, tak membiarkan netra nya menangkap kedua remaja tersebut berpelukan, "aku sayang kamu, jangan sakit lagi ya." telinga Nevda memerah mendengar penuturan manis Dellana.

tok tok tok

Ketukan terdengar, kemudian satu pria dengan jas berwarna putih masuk dengan salam, Nevda mempersilahkan masuk hingga kemudian dengan tiba-tiba Dellana duduk di sebelahnya membuat jantungnya bekerja dua kali lebih cepat.

Nevda mencoba acuh pada Dellana dan memperhatikan bagaimana dokter yang baru saja datang berbicara banyak hal kepada Theora.

Namun sekeras apapun usahanya, ia tak akan bisa melupakan perasaannya terhadap Dellana, maka dari itu Nevda akan berusaha menjauh hingga ia bisa benar-benar merelakan wanita yang ia cinta.

Nevda bangkit, membuat Dellana menoleh kearahnya, Nevda melangkah tanpa mengatakan apapun. "Nevda" mau tak mau langkah Nevda harus terhenti.

Senyum yang Nevda berikan mungkin terlihat biasa saja dimata Dellana, namun sebenarnya senyum itu hanya formalitas, agar orang-orang tidak menaruh curiga padanya, tentang sikapnya yang akhir-akhir ini sedikit aneh.

"kakak mau ngomong sama kamu, di halaman belakang" Dellana berdiri dan hendak mendekat, "maaf, kak. Aku mau bikin sarapan untuk oma, lain waktu aja ya." setelah mengatakan itu Nevda berbalik dan melangkah dengan pasti.

Namun siapa sangka jika Dellana mengikutinya. Nevda berjalan ke arah dapur diikuti oleh calon kakak iparnya.

"kak, aku udah bilang kita bicara lain waktu aja, aku ga sempet."

"kenapa kamu menjauh?" tanya Dellana, namun Nevda akan tetap acuh, tangan Nevda meraih pisau dan memotong beberapa bawang merah dan putih yang sudah ia siapkan.

"kenapa, dek? dulu kamu gak pernah nolak kalau kakak minta temenin kemanapun, tapi kenapa sekarang kamu selalu ngasih alasan untuk nolak ajakan kakak?" lirih Dellena.

Pisau yang Nevda genggam ia campakan begitu saja, Nevda memfokuskan dirinya untuk meladeni Dellana. "kakak kan bisa minta anterin mas theo" jawab Nevda.

"Ini bukan tentang siapa yang nganterin aku, Nev. Tapi disini masalahnya kamu ngejauhin aku, kenapa kamu ngelakuin itu? aku ada salah sama kamu?"

Nevda menggeleng, "ya terus kenapa? Nevda jangan jauhin aku tanpa sebab, kasih alasan yang jelas."

"aku capek, aku bosen, aku gak mau lagi nemenin kakak kemanapun, kakak bisa minta temenin sama mas Theo kenapa harus aku? apa karena mas Theo sakit jadi selama ini kakak selalu minta aku untuk nemenin kakak? aku muak ka-"

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang