18

2.3K 165 11
                                    

"Udah gausah diperpanjang, lo liat deh gua masih bisa jalan ini, aman." tangan Nevda terulur kemudian memegang pundak Theora ketika pijak nya terasa sangat menyakitkan.

"Iya mas, tuh adek juga udah baik-baik aja. Jangan gegabah." Nevda mengangguk menyetujui ucapan Mova, kemudian duduk dibantu oleh Theora.

Beruntung, pisau yang melayang ke kaki Nevda tidak tertancap begitu dalam sehingga Nevda masih sanggup berjalan tanpa menggunakan alat bantu.

Walaupun Theora sempat dibuat hampir tiada karena Nevda kehilangan banyak darah namun kini Theora dapat bernafas sedikit lega.

"Kita ini keluarga, gak mungkin kita mau laporin oma kamu ke pihak yang berwajib. Manusia itu tempatnya salah."

"Iya, dan manusia selalu punya cara untuk menebus kesalahannya, salah satunya dengan dipenjara. Jangan pandang siapa dan berapa umurnya yah, kalau salah ya harus dihukum." Theora dan Andrian saling tatap, hingga Theora mengalihkan pandangan.

Theora masih setia dengan pendiriannya untuk melaporkan Hira ke pihak kepolisian, karena mau bagaimanapun tindakan Hira tidak bisa dibenarkan. Bagaimana jika Hira melakukan hal jahat lagi nanti? bukan kah cukup berbahaya membiarkan Hira berada di dekat Nevda.

"Nev, ayo dong kasih pengertian ke mas kamu. Ini masalah terlalu sepele kalau harus masuk jalur jeruji besi, toh kamu juga baik-baik aja kan?" tanya Mova dengan raut tak suka.

"Bunda ga usah neken adek kayak gitu! keputusan ku udah bulat. Lagi pula sepele apanya sih bun? oma hampir ngebunuh adek."

"Ya tapi Nevda masih hidup Theo, Nevda gak meninggal. Jadi apa yang kita ributin?" Theora menatap Mova tak percaya, setidak peduli itu kah Mova terhadap Nevda?

Kini tatapan Theora jatuh kepada Nevda yang juga setia menatapnya sedari tadi, "Iya mas, gua masih hidup dan cuma luka sedikit jadi jangan diperpanjang. Bener kata bunda, masalah ini sepele."

"Enggak dek, ayah ngerti masalah ini ga sepele. Mungkin oma kamu udah kelewatan, tapi apa kamu tega ngebiarin oma dipenjara?" Tanya Andrian lalu memberi kode kepada Mova agar lebih menjaga tutur katanya.

"Dari awal aku udah ngelarang mas Theo ayah." Nevda menggenggam tangan Theora "Mas, udah ya? tuh dengerin ayah sama bunda dong, jangan gini."

Belum sempat Theora menjawab, pintu ruang rawat Andrian terbuka kemudian Hira dengan wajah kesal masuk diikuti oleh Syarif.

Theora dengan cepat menyembunyikan Nevda dibelakang tubuhnya dengan tangan yang masih setia menggenggam.

"Ibu" Mova bangkit kemudian mempersilahkan Hira dan Syarif untuk duduk, "Saya menyesal, bukan karena melukai mu, tapi karena belum bisa melenyapkan mu." Hira membuka topik pembicaraan yang mengundang emosi masing-masing orang di dalam ruangan.

"Hira! Saya menyuruhmu kesini untuk meminta maaf kepada Nevda!" tegas Syarif.

"Saya minta maaf" ujar Hira menatap tangan Theora yang digenggam Nevda "karena belum bisa menyeretmu pergi dari dunia ini." lanjut Hira.

"Bu, jangan katakan itu." lirih Andrian memperingati. Theora pasti sudah sangat emosi mendengar penuturan Hira. "Hari ini aku pulang bu, kita selesaiin masalah ini dirumah jangan disini."

"Mov, beritahu suami mu untuk segera melenyapkan anak tak berguna mu itu, aku hanya memiliki satu cucu, cepat singkirkan dia." ujar Hira.

"Bu, jangan katakan itu" Hanya larangan singkat yang dapat Mova lontarkan.

"Kenapa? bukan kah kalian juga muak dengan nya? bukan kah kalian ingin dia tiada? saya bertindak sejauh ini karena selama ini kalian tidak cekatan."

"Hira jaga ucapanmu!" Syarif berdiri dengan wajah marah, "Kenapa? jangan munafik, kamu juga tidak menginginkannya ada bukan?" Hira tersenyum.

"Kalian semua sama saja denganku, kalian tak menginginkan anak itu hadir. Yang membuat perbedaan adalah aku melakukan secara terang-terangan dan kalian hanya terus membuat rencana tanpa punya keberanian untuk melaksanakannya." Sarkas Hira.

"Apa aku harus membunuhnya saat ini juga?" Tanya Hira.

Andrian menggeleng, "Bu, jangan nekat." Andrian berusaha untuk duduk dibantu oleh Mova, "Tolong jangan lakukan hal yang bisa merugikan diri ibu sendiri." lanjut Andrian.

"membunuhnya tidak akan merugikan saya, walaupun nantinya saya harus mempertanggung jawabkan perbuatan saya itu tidak masalah, yang terpenting saya bisa melihat anak itu berhenti bernafas."

"Jangan egois bu, bukan kah kita sudah sepakat mendonorkan ginjal Nevda untuk Theora? kenapa ibu malah mau bertindak seenaknya?" Tanya Mova, tatapannya tak lepas dari Hira.

"Bu, aku yang melahirkanya, jadi aku yang berhak memutuskan sesuatu tentang kehidupannya. Jangan seperti ini bu, aku tahu ibu membencinya tapi jangan buat dia pergi, dia harus menyembuhkan Theora. Jangan bertindak sesuka hati ibu, kalau ibu merasa lelah menunggu, kami jelas lebih dari itu."

"Untuk saat ini kami lebih memprioritaskan kebahagiaan Theo bu, kami hanya menunggu Theo menyetujui-" Ucapan Mova terputus karena Andrian menepuk punggung nya beberapa kali.

"Theo?" panggil Andrian karena sedari tadi Theora hanya menunduk dengan wajah memerah. Khawatir Theora menahan sakit.

"Udah selesai? ayo dek keluar."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang