32

1.7K 114 0
                                    

Hubungan antara Theora dengan Nevda tampaknya semakin memburuk. Kali ini badai yang datang tak bisa membuat masing-masing dari mereka berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti hari-hari sebelumnya.

Karena pada kenyataannya, hanya Nevda yang bisa berpura-pura dengan sangat sempurna. Terlihat baik-baik saja padahal jauh di dalam hatinya banyak terluka. Nevda sudah terbiasa tergores, maka ia tak akan mengeluh ketika ia kembali tergores.

Walaupun kali ini yang membuatnya terluka adalah kakaknya sendiri, orang yang akan ia selamatkan nyawanya. Namun Nevda tidak memiliki masalah dengan itu, Nevda tidak akan meminta sang kakak untuk kembali berada di pihaknya. Karena pada kenyataannya, beginilah kehidupan.

Orang-orang bisa seenaknya datang dan pergi dari hidup kita, kadang kita diperlakukan seperti seseorang yang sangat berarti, kadang kita juga diperlakukan seperti orang yang seharusnya tidak berada di kehidupan mereka.

Kendati demikian, hidup terus berjalan. Nevda menikmati segala rasa sakit yang datang untuknya. Nevda menikmati kehidupannya, menjalani sisa waktunya dengan hati lapang.

Seperti saat ini, Nevda sedang sibuk berbincang dengan pria berjas putih dengan stetoskop yang berada di lehernya. Pria paruh baya tersebut tak henti-henti bertanya apakah ia yakin akan keputusannya.

Nevda lebih banyak mengangguk dari pada berbicara, ia hanya mendengarkan sang dokter berbicara. Seperti inilah hidup yang Nevda jalani, berdiskusi tentang nyawanya, membicarakan tentang seberbahaya apa tindakan mereka, seburuk apa dampaknya pada kehidupan orang-orang yang akan merenggut nyawa Nevda.

Tindakan yang sebenarnya dilarang, namun Nevda kekeuh untuk melakukannya. Karena hanya ia satu-satunya harapan keluarga. Hanya ia yang bisa berkorban.

"Sejauh ini semuanya sangat baik. Kita akan melakukannya besok. Mungkin terkesan terburu-buru, namun Theora harus segera melakukan donor tersebut."

Tidak terhitung untuk yang keberapa kali, Nevda mengangguk.

"Kalau kamu merasa ada yang tidak beres dengan tubuhmu segera beritahu saya, karena kondisi tubuhmu juga sangat mempengaruhi keberhasilan operasi ini."

Nevda mengangguk mengerti.

"Saya berharap kamu tidak akan melakukannya, saya akan menyesali profesi saya seumur hidup jika operasi ini benar-benar terjadi besok."

"Dokter ga perlu menyesal, semua terjadi atas keputusan saya. Dokter harus sembuhin kakak saya, hanya itu yang saya inginkan." Senyum Nevda terbit.

"Saya akan berusaha melakukan yang terbaik."

"Terimakasih, Dok. Kalau begitu saya permisi." Setelah berpamitan akhirnya Nevda pergi dari rumah sakit yang akan ia datangi lagi besok untuk yang terakhir kali.

ᕯᕯᕯ

Nevda menapakkan kakinya ke pekarangan rumahnya, ia sedikit mengerutkan dahi merasa asing dengan satu mobil yang kini berada di hadapannya. Apakah didalam ada tamu? haruskah ia pergi untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan?

Namun mengapa? ini adalah rumahnya, ia berhak berada disini, setidaknya sampai besok. Ia hanya ingin menikmati hari ini, ia ingin mengukir kisah bahagia walaupun hanya sekali. Ia ingin memiliki kenangan indah bersama orang-orang yang ia sayang.

Nevda memantapkan hatinya untuk berjalan masuk ke dalam rumah. Samar-samar Nevda masih bisa mendengar suara tawa seseorang. Karena Nevda tidak ingin begitu peduli, Nevda memutuskan untuk pergi kekamarnya.

Ia berjalan menaiki tangga, tanpa menoleh sama sekali ke sumber suara. Ternyata keluarga besarnya sedang berkumpul bersama. Kejadian seperti ini jarang sekali terjadi, apakah hari ini sangat istimewa?

"Nevda!"

Tubuh Nevda membeku sangking terkejutnya, Nevda sama sekali tidak menoleh ke belakang dimana seseorang tengah berjalan kearahnya.

Tanpa aba-aba, seseorang memeluknya dengan erat. Kepalanya diusap dengan lembut, untuk beberapa saat Nevda memejam. Ia mengenal usapan ini, ia mengenal pelukan ini.

"Mas Nunu?"

"Long time no see, adik kecil mas."

Pelukan hangat tersebut harus usai, Nevda tersenyum ketika Wisnu --anak om dan tantenya-- menatapnya.

Mata elang Wisnu menelisik tubuhnya dari atas sampai bawah, kemudian netra tersebut jatuh lagi tepat pada binar mata Nevda.

Redup, seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang Wisnu lihat hanya semu, bahkan tahun lalu rasanya tidak seburuk ini. Ada apa dengan Nevda 'nya?

"Nev, gak di kasih makan ya disini?" Pertanyaan yang terdengar seperti gurauan itu terlontar. Bukan tanpa sebab, tahun lalu tubuh Nevda tidak sekurus ini. Belum lagi, banyak luka yang dapat Wisnu lihat dengan jelas saat ini.

"Mas mau bicara sama kamu."

Nevda menurut, mengikuti langkah Wisnu yang mulai masuk kedalam kamarnya. Tangan yang sedari tadi digenggam kini terlepas. Wisnu menutup pintu dengan rapat, lalu membawa Nevda berdiri tepat didepan cermin yang berukuran besar.

"Siapa dia?" Wisnu menunjuk pantulan Nevda di cermin.

"Nevda."

"Bukan, dia bukan Nevda." hening, Nevda tidak tahu harus mengatakan apa.

"Mas ga mau nanya apapun, mas mau kamu yang ceritain semuanya sekarang."

"Cerita tentang apa, mas?"

"Tentang siapa orang yang sukses bikin binar dimata kamu redup."

Hening lagi, Nevda bungkam. Jantungnya selalu bekerja dua kali lebih cepat jika berbicara dengan Wisnu, banyak lontaran pertanyaan yang tidak bisa Nevda jawab setiap kali mereka bertemu.

Nevda hendak berbicara namun pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, Naka masuk dengan senyumnya.

"Kak, dipanggil tuh sama oma."

Wisnu mengangguk, "Ada yang mau kakak tanyain ke kamu nanti malam." Naka melirik Nevda kemudian mengangguk patuh kepada Wisnu. Mungkin ia akan diintrogasi oleh kakaknya sendiri.

"Ayo kita turun." Wisnu menggenggam tangan Naka dan Nevda.

"Mas." Nevda menatap Wisnu kemudian menggeleng singkat.

"Mas pulang ke indonesia cuma mau ketemu sama kalian semua. Mas cuma mau kumpul bareng keluarga mas. Dan kamu bagian dari keluarga ini, tanpa kehadiran kamu keluarga kita gak lengkap."

"Aku gak bisa mas."

"Kenapa?"

"Ayolah Nev, ada gua kok." Wisnu melirik Naka yang baru saja berucap. Wisnu yakin adiknya tahu banyak hal tentang Nevda, ia akan menanyakan segalanya nanti malam.

"Kak..." Tatapan Nevda memohon. Nevda hanya tidak ingin merusak momen bahagia mereka, Nevda takut merusak suasana dibawah.

"Okay, kamu pilih ikut mas ke bawah atau kamu tetap disini tapi mas akan tanya dari mana kamu dapat luka-luka ditubuh kamu?"

"A, ayo turun mas."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang