17

2.5K 183 15
                                    

"Dengerin gua mas, gua cuma mau lo sembuh. Kalau dengan donorin ginjal gua ke lo bisa bikin lo sembuh, ayo kita lakuin." Nevda merasakan elusan di punggung nya berhenti, "okay tetap tenang, kita ga bicara pakai emosi kali ini. c'mon, inhale.. exhale" Nevda mencoba untuk menenangkan sang kakak.

"Mas nyari pendonor itu susah kan? selama ini kalian nyari tapi belum ada hasil, sedangkan lo yang paling tahu lah gimana kondisi lo, yang ngerasain 'kan lo sendiri mas." Nevda tersenyum tipis ketika Theora tak meresponnya, ia tahu sang kakak pasti tengah berjuang untuk menahan emosi nya.

"Rasanya pasti sakit banget ya? mas gua rasa udah cukup selama ini lo ngerasain sakit, ayo sembuh mas. Bunda sama ayah juga sedih ngeliat lo selalu kesakitan, semua nya berharap lo cepet sembuh."

"Ayo akhiri rasa sakit ini mas." bisik Nevda.

Seulas senyum terukir indah di wajah Nevda ketika Theora melepas pelukan mereka dan menatap Nevda untuk waktu yang lama. Helaan nafas Theora terdengar, Nevda masih setia menatap Theora yang kini mulai menunduk.

Beberapa menit berlalu dan tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibir pucat sang kakak. Apakah Nevda sudah keterlaluan? apakah Nevda terlalu menekan sang kakak? jika iya, maka Nevda harus mengakhiri pembicaraan ini.

Nevda menepuk pundak sang kakak dua kali, "Istirahat mas, lo keliatan capek banget. Besok kita harus ke rumah sakit." Nevda sedikit menjauh memberi ruang untuk Theora beranjak.

Namun tidak, Theora masih setia diposisinya. Hal tersebut membuat Nevda khawatir, "mas, kenapa?" tanya Nevda.

"Gua gabisa hidup tanpa lo. Jadi gimana gua bisa nerima pemberian lo Nev?" wajah putus asa yang sangat Nevda benci kembali terlihat, "kalian cuma mikirin gimana caranya gua bisa sembuh sampe berani nawarin hal-hal diluar perkiraan gua sendiri, kalian pikir setelah gua nerima donor dari lo gua bakal bahagia? engga."

"Jangan hukum gua seberat ini dek, gua tau gua belum bisa jadi kakak yang baik untuk lo, gua belum bisa jagain lo, gua belum bisa ngelindungin lo, tapi jangan hukum gua seberat ini, tolong, gua ga sanggup dek."

"Ga peduli sesakit apapun gua, ga peduli sesering apapun gua masuk rumah sakit, seenggaknya gua punya lo yang selalu nemenin gua, gua lebih butuh lo Nev dari pada sembuh."

Nevda bersandar dengan mata tertutup, ia tahu sangat sulit berada di posisi sang kakak, tapi keluarganya memiliki harapan, dan ia yang paling diandalkan untuk berkorban.

"Jangan nyerah sama hidup dek, kita sama-sama berjuang ya? jangan minta gua untuk nerima sesuatu yang seharusnya ga gua terima." Theora memandang Nevda yang memejamkan mata. "Mau tidur aja? lo juga keliatan capek, jangan maksain diri lo terus."

"Pilihanmu hanya dua, mati ditangan saya atau mati di tangan dokter." Theora dengan cepat menoleh ke sumber suara, berbeda dengan Nevda yang hanya membuka mata tanpa menoleh, terlalu paham siapa sang pemilik suara.

"Oma ngapain sih?" Theora berdiri ketika melihat sang oma datang dengan membawa benda tajam.

"Theo, dia harus mati." Hira maju dengan pisau digenggamannya, namun Theora berusaha untuk menghalangi sang oma. Theora melirik Nevda yang menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong.

"Ga akan oma, aku ga akan ngebiarin adek pergi! sebaiknya oma jangan macam-macam." Theora menarik Nevda dan menyembunyikannya dibelakang tubuh Theora.

"Seharusnya dia tidak hadir, dia penyebab keluarga kita selalu tertimpa kesialan. Kita harus membantu membunuhnya jika dia tidak bisa membunuh dirinya sendiri." Hira maju perlahan.

"Berhenti oma, jangan coba-coba mendekat." Theora memberi peringatan, namun Hira tak begitu peduli. "OPA..." teriak Theora memanggil Syarif namun tak ada jawaban.

"sstt jangan berisik sayang, opa mu sedang beristirahat." Hira menaruh jari telunjuk tepat di bibir nya, berbicara dengan berbisik.

"Minggir, biar oma bunuh dia sekarang." Theora melangkah mundur dengan sesekali melirik Nevda yang menunduk dalam, sedangkan Hira asik maju dengan penuh keyakinan.

"Kalau oma ngelukain Nevda, aku ga akan segan untuk bunuh diri" ancam Theora, Hira sempat membeku sesaat, sedangkan Nevda masih setia bungkam walaupun sama terkejutnya seperti Hira.

"Oma tidak bisa melihat keluarga kita harus hidup dengan banyak kesialan akibat kehadirannya. Sekarang kamu yang pilih, oma atau dia yang mati." Kini pisau yang Hira genggam telah berada tepat diatas pergelangan tangan nya sendiri.

Theora membulatkan mata, tidak percaya oma nya akan melakukan hal demikian. "oma, jangan!" pekik Theora ketika Hira siap mengiris nadinya.

"Oma, jangan lukain diri oma cuma karena ku, kalau oma mau bunuh aku ya bunuh aja." Nevda hendak maju namun Theora mendorongnya mundur.

"Lo apa sih? diem aja bisa gak. Jangan ngomong macem-macem. Oma juga, please jangan gegabah."

"Pilih, oma atau anak pembawa sial itu." desak Hira, "jangan lakuin itu, apa oma ga sayang sama aku?" tanya Theora lemas, lalu mendekat dengan cepat mencoba mengambil pisau tersebut dari genggaman Hira.

Hira tersenyum melihat Theora yang mendekatinya, otomatis ia memiliki peluang besar untuk melayangkan pisau tersebut ke tubuh Nevda.

"Oma kita bicarain ini baik-baik, aku gamau ada yang luka. Cukup." Theora berkata dengan lirih kemudian bernafas lega ketika Hira menjauhkan pisau tersebut dari pergelangan tangannya, namun na'as nya dengan gerakan cepat Hira melempar pisau tersebut ke arah Nevda.

Sekali lagi, Theora harus kembali melihat luka lagi. "Nevda!" tangan Theora gemetar melihat pisau yang menancap tepat di kaki sang adik. "d-dek?"

Hira berdecak, "meleset!"

"O-oma tolong adek- pisau nya.." wajah Theora semakin pucat begitu pula dengan Nevda, lalu dengan pikiran yang sudah melayang entah kemana ia meraih ponsel dan mencoba menelepon Mova.

"Dek? tahan sebentar ya, gapapa, lo jangan takut kita duduk dulu sebentar, jangan diem aja dek, please" Theora menepuk pipi Nevda berulang kali.

Lalu panggilan telepon Theora kini sudah tersambung.

"Bunda tolong.. Nevda dia luka, kaki dia luka bun, tolongin Nevda, siapapun tolong kesini, aku takut."

"aarghh" Jantung Theora rasanya akan berhenti sebentar lagi, melihat Hira yang mencabut pisau di kaki Nevda dengan begitu enteng. "oma berhenti..." lirih Theora dengan isak tangis.

Dada nya sesak, melihat Nevda yang kesakitan dan masih setia bungkam tanpa berniat mengeluh.

"Bun.. bunda tolong pulang, sekali ini aja tolong dengerin permintaanku, bunda... hallo? hallo?" Theora melempar ponselnya asal ketika panggilan terputus dengan tiba-tiba.

Theora melirik Hira yang sepertinya hendak melakukan hal gila lainnya dengan pisau digenggamannya, "aku ga pernah tahu kalau oma ku bisa ngelakuin hal ga berperikemanusiaan begini, sadar oma, hukum itu ada." Lalu Theora dengan kesulitan menggendong adiknya ala bridal style.

"m-mas" Theora menatap Nevda sebentar, "ssst lo diem okay? kita ke rumah sakit, kaki lo banyak banget darah Nev, gua takut..."

"Jangan takut sshh mas... gua gapapa."

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang