29

1.8K 146 2
                                    

"Mas, lo pucet banget." Nevda duduk di samping Theora. Pagi ini keluarganya sangat lengkap, ayah dan opa ikut berada di meja makan menikmati hidangan yang tadi ia buat.

Tidak ada yang membahas kejadian kemarin, dimana Nevda harus berada di dalam kamar mandi seharian. Mereka bersikap seperti biasa seolah kejadian kemarin sebenarnya tidak ada.

Nevda terlanjur terbiasa mengabaikan sakit hatinya, bibirnya terkatup walaupun banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin Nevda lontarkan.

Sejujurnya Nevda merasa sangat aneh dengan kakaknya, sejak kemarin Theora tampak banyak mengabaikannya. Ia tak tahu apa kesalahannya, namun bagi Nevda perubahan Theora sangat berpengaruh besar bagi kehidupannya, ia tak menemukan pembelaan dari pemuda tersebut, kali ini Naka yang mengambil peran tersebut ketika kalimat keluarganya menancap tepat pada hatinya.

"Dia benar-benar membenci saya." seluruh anggota keluarga menatap Hira yang tengah meneguk air putih.

"Nev, kamu tau kan saya tidak bisa makan-makanan asin? kamu sengaja ingin membunuh saya?" tanya Hira menjauhkan piringnya.

Dan kejadian seperti ini terulang kembali, setiap kali ia memasak untuk keluarganya, oma selalu menjadi orang pertama dan satu-satu nya yang siap mengomentari dan menuduhnya yang tidak-tidak.

"Oma, aku juga makan apa yang oma makan. Dan aku ga ngerasa asin kayak yang oma bilang." Naka menatap Hira jengah.

"Coba saja jika kamu tidak mempercayai oma." Naka bangkit, lalu mencicipi makanan yang berada di piring oma nya. Kemudian menatap Nevda yang terlihat menunggu reaksinya.

Theora turut mencoba karena tidak sabar menunggu Naka berbicara. "Nev, ini asin banget." ujar Theora.

"Tapi punya gua enggak kok!" Bela Naka lalu kembali ke tempat duduknya.

"Kamu sengaja Nev? kamu mau membunuh saya? Iya? Nev saya sudah meminta maaf atas semua perlakuan saya selama ini kan? kenapa kamu masih dendam? gimana caranya biar kamu bisa memaafkan saya? apa saya harus mati dulu baru kamu puas? itu yang kamu mau?"

Kapan oma meminta maaf, terlebih lagi untuk apa aku ngelakuin hal jahat begitu, oma?

"Aku ga ngelakuin apapun oma, apapun yang aku masak ga ada yang aku lebih-lebihin, aku ga pernah berniat mencelakai keluargaku."

"Buktinya udah didepan mata Nev, kamu mau mencari pembelaan juga tidak akan ada gunanya. Kenapa kamu jahat?" tanya Mova dengan tatapan penuh kecewa.

"Bun aku gatau apapun, tolong percaya."

"Nevda ga mungkin ngelakuin hal jahat kayak gitu! okay anggap aja Nevda ga sengaja ngelakuin itu, oma bisa ganti makanannya kan? selain yang ada di piring oma semuanya ga keasinan, oma bisa lanjut makan." Naka membuka suara mencoba menghentikan kegaduhan.

Theora mengambil piring Hira dan meletakannya dihadapan Nevda. Pemuda tersebut menatap Nevda dengan datar. "makan masakan yang udah lo buat." Nevda menatap makanan yang Theora berikan lalu menunduk dalam.

"Apaan sih? makanan disini ada banyak kenapa dia harus makan makanan yang keasinan?" Naka hendak mengambil piring tersebut namun Theora menahannya.

"Orang tua gua ga pernah ngajarin untuk buang-buang makanan. Dia harus makan apa yang dia masak."

"Theo, lo sakit." Naka geleng kepala, lalu mengambil piring dihadapan Nevda dan pergi untuk membuangnya. Sedangkan Nevda setia menunduk sampai Naka datang dan duduk ditempatnya.

"Aku.. permisi." Nevda berdiri hendak meninggalkan meja makan.

"Duduk! siapa yang nyuruh lo pergi? lo bisa kan hormati orang yang lebih tua dirumah ini, kenapa lo pergi disaat mereka belum selesai makan? dimana tata krama lo?" sesak, namun Nevda tetap menuruti perintah Theora.

Nevda menunduk, meremat jari-jari nya dengan kuat. Menyesakan sekali melihat sikap kakaknya yang seperti ini, kenapa kakaknya berubah?

****

"Minta maaf sama oma." Theora menarik Nevda memasuki kamar Hira. Nevda mengangguk agar Theora merasa puas.

"Ada apa ini?" Syarif menatap Theora yang menyeret Nevda masuk ke dalam kamarnya.

Nevda mendekat kearah Hira, kemudian menunduk sopan. "Oma, Nevda minta maaf atas semua kesalahan Nevda. Tolong maafin Nevda."

Tangan Nevda dipegang lembut namun malah terasa menyakitkan. "Kamu ga perlu minta maaf karena disini saya yang salah, maafin semua kesalahan saya ya? andai selama ini saya memperlakukan kamu dengan baik, mungkin sekarang kamu ga akan berniat balas dendam seperti ini kepada saya."

"Engga, oma. Aku sama sekali ga ada niat balas dendan sama oma. Okay aku yang salah, aku minta maaf untuk semua kesalahanku, maaf juga karena ga bisa jadi cucu yang baik untuk oma, maaf aku belum bisa nepatin ucapanku ke oma."

"Cium kaki oma!" Nevda mengangkat wajahnya, memejamkan mata sejenak mendengar perintah kakaknya. Tidak ada yang keliru dalam perintah kakaknya, ia tak merasa keberatan jika harus mencium kaki oma nya.

Maka tanpa membantah, Nevda benar-benar mencium kaki Hira. "Maafin Nevda, oma." ucap Nevda sambil memejam.

"Bangun, kamu ga perlu sampe segitunya. Theo, bawa dia ke kamarnya." itu suara Syarif.

"Biarin aja opa, dia harus minta maaf sama oma."

"Bangun." Kali ini Hira yang angkat suara, namun Nevda masih setia berada dibawah Hira. Akhirnya Hira berjongkok dan menatap Nevda dengan senyum, membawa tubuh ringkih Nevda untuk bangkit.

"Jangan terlalu keras kepadanya, nak." Hira menatap Theora dengan ekspresi sedih.

Nevda ikut menatap Theora namun lebih dalam, mencoba mencari kakaknya yang biasanya, yang menjaganya walaupun ia tak meminta, yang berkata dengan penuh kasih sayang tanpa meninggikan suara. Siapa yang berada di hadapannya saat ini? Mengapa terasa begitu asing dan dingin?

Ia menginginkan kakaknya, bukan yang saat ini berada di hadapannya. Tetapi Theora yang biasanya selalu menjaganya, menemaninya.

Nevda harap, Nevda masih punya cukup waktu untuk menemukan kakaknya yang hangat kepadanya.

Ya, semoga saja.

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang