Bohong jika ia tak memikirkan apa yang oma nya katakan siang tadi, maka setelah makan malam bersama, saat ini, ia berada di halaman belakang bersama ayah nya.
Tidak, Nevda tidak akan marah atau merasa keberatan, ia hanya ingin tahu apa kah ayah nya benar-benar ingin mendonorkan ginjalnya atau tidak, ia hanya ingin tahu seberapa berarti kehidupannya dimata Andrian.
"tumben kamu ngajak ayah ngobrol berdua disini" Andrian menjadi yang pertama membuka obrolan.
"ayah gabisa lama ya, soalnya ada kerjaan yang harus ayah selesaikan. Kamu juga habis ini harus belajar, jangan cuma karena libur terus kamu gak belajar."
Nevda mengangguk dengan senyum, "ayah, Nevda boleh nanya ga sama ayah?"
Andrian tampak mengerutkan dahi namun tak ayal ia menganggukan kepala, "pas Nevda lahir, apa yang ayah rasain?" tanya Nevda tanpa menatap sang ayah.
"kamu ini kenapa? ya jelas ayah bahagia, karena putra yang sudah ayah tunggu selama 9 bulan akhirnya bisa ayah lihat, ayah gendong" jawab Andrian.
"seberapa sayang ayah sama mas Theo?" tanya Nevda, Andrian dengan mantap menjawab "gabisa ditakar, ayah gatau seberapa, tapi intinya melebihi segalanya, ayah sayang banget sama Theo."
"kalau aku, seberapa sayang?" tanya Nevda kesekian kali, namun kini Nevda bisa melihat rasa percaya diri sang ayah meredup, "sama aja, ayah juga sayang sama kamu" jawab Andrian sedikit tak antusias.
"lebih sayang mas Theo atau-"
"Nevda, ayah ini sibuk, banyak kerjaan yang belum selesai, kalau kamu ngajak ayah kesini cuma mau ngobrolin hal yang ga penting mending ayah ke ruang kerja sekarang." Andrian berdiri hendak pergi.
"ayah, donorin aja ginjal ku untuk mas Theo." Nevda tersenyum ketika Andrian tidak lagi bergerak.
Wajah Andrian kaku, merasa terkejut dengan penuturan Nevda.
"ayah, bunda sama oma pasti mau banget ngeliat mas Theo sembuh kan? ambil punya ku aja yah, dari pada nyari orang lain yang akhirnya memperlambat kesembuhan mas Theo. Disini ada aku yah, aku siap."
"kamu ngomong apa sih? jangan aneh-aneh. Ayah masih berusaha nyari pendonor, kamu jangan mikir gitu." ujar Andrian menatap wajah teduh anak nya.
"semakin hari keadaan mas Theo semakin buruk yah, kita gabisa ngulur waktu, keselamatan mas Theo itu penting. Ambil ginjal ku yah"
Andrian menggeleng, lalu melangkah mendekat, "ayah lagi berusaha, kamu doain aja semoga ada orang baik yang mau donorin ginjalnya untuk mas kamu"
"orang baik itu ada di depan ayah lohh" Nevda tertawa sumbang, "yah kita harus ambil keputusan dengan cepat." ujar Nevda.
Andrian sempat diam beberapa detik, "tapi mas kamu gak mau. Dia marah dan nolak." oh, jadi benar perkataan sang oma, mereka pernah merencanakan ini.
Tidak masalah, keputusan orang tua nya pasti sudah dipikirkan secara matang-matang, ia tak perlu khawatir dan takut, semua sudah menjadi keputusan mereka.
"kalo soal mas biar aku yang nanganin, kasih sedikit waktu, setelah itu kalian akan dapat kabar baik nya." jawab Nevda dengan senyum.
"kalau gitu deal ya pake ginjal ku, yaudah ayah katanya ada kerjaan yang belum selesai? aku juga mau belajar dulu deh yah, aku ke kamar ya." Nevda melangkah perlahan menjauh dari Andrian.
"tunggu" langkah Nevda terhenti, "kamu tau kan konsekuensinya? ayah ga mau ngorbanin kamu"
Nevda berbalik dan menatap sang ayah, "nanti sekalian daftarin aku jadi pendonor jantung, paru-paru, sumsum tulang, hati, atau apa pun yang bisa di donorin dan berguna buat orang ya yah?" pinta Nevda.
"darah ku juga yah, golongan AB kan langka ya, donorin aja deh nanti biar bisa dipake orang yang membutuhkan."
"nanti aku yang siapin makam dan lain-lain, kalian makamkan di tempat yang aku siapin ya."
❇❈❇❈
Wajah memerah Theora nyatanya mampu membuat jantung Nevda bekerja dua kali lebih cepat, pasalnya saat ini Theora sangat marah akibat topik yang Nevda bawa beberapa menit lalu.
"iya mas, ssstt, kita bicara pelan-pelan, lo ga perlu pake emosi begini, gua ngomong juga baik-baik mas."
"lo keluar dari kamar gua sekarang!" teriak Theora hingga urat di dahi nya menyembul.
Jika Theora menyuruh nya untuk keluar, maka dengan hati yang mantap ia akan maju dan mendekati sang kakak. "lo ga kasian mas sama ayah, bunda dan oma? mereka selalu nangis setiap lo kambuh, mereka mau lo sembuh."
"dan gua gak mau lo mati, sialan." dada Theora naik turun dengan cepat, "mas, gua udah bilang kan? tenang, kita bicara pelan-pelan gausah sampe emosi."
"gua gabisa tenang!" teriak Theora lagi, Nevda menghela napas lelah lalu maju dan memeluk Theora, walaupun Theora sempat menolak pelukannya, namun lama kelamaan Theora mulai berhenti memberontak.
"kalo lo ngelakuin semua ini cuma karena ayah yang maksa, jangan takut, gua akan selalu ada disini untuk ngelindungin lo, gua sayang sama lo Nev, gua ga butuh sembuh, gua cuma butuh ada didekat lo, jangan dengerin permintaan orang tua kita." lirih Theora dalam pelukan Nevda.
Nevda melepas pelukan mereka, lalu mengajak Theora untuk duduk, "mas, ayo kita bicara pelan-pelan, okay? ayah ga maksa gua, disini ga ada yang nyuruh gua untuk donor, ini kemauan gua sendiri"
"tunggu, jangan potong ucapan gua sebentar, mas lo harapan keluarga ini, kebahagiaan ayah sama bunda letak nya di lo, ayah mau lo jadi penerus perusahaan, bunda juga ga kalah antusias ngebayangin lo hidup berumur panjang, semua punya harapan masing-masing untuk lo, jadi lo harus bisa mencapai semua itu, kalau lo selalu sakit begini, gimana cara nya lo nyenengin bunda sama ayah?"
"mas gua mau jadi akhir dari segala kesulitan lo, gua mau bisa berguna buat lo, selama ini gua belum bisa jadi apa-apa, dan gua gatau gua bisa jadi apa, untuk itu ayo kerjasama nya, dari pada gua hidup dengan tujuan yang gajelas, lebih baik gua bantu lu hidup lebih lama biar lu bisa bikin bunda sama ayah bahagia."
"gua cuma mau keluarga kita hidup bahagia, mas." bersamaan dengan suara Nevda yang berhenti, suara kertas di robek pun terdengar.
Nevda menatap surat yang sudah ia tanda tangani sebagai bukti persetujuannya untuk mendonorkan ginjal telah berubah menjadi potongan-potongan kecil.
"gua harap lo ngerti jawaban gua dek." Theora memberikan kertas yang sudah di robek kepada adiknya.
"mas, gua-"
"keluar dari kamar gua dek, gua harus cepet-cepet kubur rasa kecewa gua ke lo, gua harus bisa ngelupain pertengkaran ini, biar besok bisa bersikap seperti ga ada pertengkaran yang pernah terjadi kayak yang lo lakuin selama ini."
"mas-"
"tolong keluar sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Nevda
Teen FictionNevda tidak akan mampu menjadi sempurna walaupun semua orang memaksanya. Nevda hanya akan menjadi Nevda, bukan sempurna.