31

2.3K 205 39
                                    

Tangannya sedikit gemetar, Telinganya terasa lumayan panas. Nevda setia berada di belakang tubuh Naka. Mendengar kedua pemuda dihadapannya bertengkar tanpa berniat melerai kembali.

Ia masih sibuk mendengar bagaimana Theora mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah terucap selama Nevda hidup bersama kakaknya.

"Ya tapi kenyataannya memang nyusahin."

"Lo yang lebih nyusahin, lo penyakitan! Apa perlu gue ambilin kaca biar lo sadar kalau sebentar lagi pun lo bakal masuk rumah sakit?! Lihat muka pucat lo itu! disini yang nyusahin itu lo! ga sadar diri!"

Pedas dan menyakitkan. Naka menatap Theora dengan emosi yang masih membara, tidak mempedulikan Theora yang tampaknya tersentil akibat ucapan pedasnya.

"Kak!" Nevda jelas terkejut mendengar ucapan Naka.

"Theo, lo itu sepupu gua. Gua ngerasa kita itu deket, gua pikir tujuan kita sama. Untuk jadi tameng buat anak di bawah umur yang selalu disakitin ini! tapi apa yang gua liat sekarang? lo jadi salah satu orang yang nyakitin dia. Jadi selama ini lo ngapain berusaha ngebela dia kalau akhirnya lo ikutan bikin dia sakit?"

"Diem kan lo? kenapa? terasa sama ucapan gua? gua ga akan minta maaf untuk itu. Disini, yang kelewat batas itu lo."

"Sadar diri sedikit lah. Nevda aja sampe rela nawarin diri buat jadi pendonor lo kan? seharusnya lo sadar sebaik apa anak ini, seberapa besar usaha dia untuk bikin keluarga ini bahagia. ga sepantasnya lo nyakitin dia, Theo."

"Dan lo ga seharusnya gampang banget percaya sama omongan orang. Kita gatau isi hati orang, kita gatau segala ucapan yang keluar itu beneran fakta atau cuma fiktif belaka. Theo, gua gamau lo nyesel nantinya okay? jadi lo harus berhati-hati dalam ngambil tindakan atau bicara sesuatu."

"Gua berharap lo segera balik jadi Theo yang selama ini gua kenal." Naka melangkah pergi dari kamar Theora.

Tersisa Nevda dan Theora.

Netra mereka bertemu, senyum Nevda masih bisa terukir walaupun dengan tatapan yang tak dapat Theora artikan.

"Mas..."

"Jaga diri baik-baik, mas."

Setelah itu Nevda juga pergi meninggalkan Theora sendiri. Nevda mencari Mova hingga akhirnya menemukan Mova didalam kamar.

Nevda mengetuk pintu, "Bun, Nevda boleh masuk?" tanya Nevda, setelah mendapat persetujuan Nevda pun melangkah masuk ke dalam kamar bunda nya.

"Bun, kalau lagi ga sibuk minta tolong temenin mas di kamar ya? kayak nya badan mas kurang enak." Pinta Nevda.

"Mas kamu kenapa?" Mova berdiri dengan wajah cemas.

"Mas ga bilang apa-apa, tapi pucat banget bun. Mungkin kalau sama bunda, mas mau kasih tau keluhannya." Mova langsung bergegas ke kamar Theora tanpa membalas ucapan Nevda.

Nevda juga langsung keluar dari kamar orang tua nya. Berjalan memasuki kamarnya dan menemukan Naka disana. Nevda masuk dan menutup pintu dengan perlahan.

"Kak..." panggil Nevda lembut.

Nevda memperhatikan Naka yang tengah memasuki baju-baju miliknya kedalam koper.

"Maafin Nevda ya?" pergerakan Naka terhenti, kemudian menatap Nevda yang juga tengah menatapnya. Entah mengapa Naka merasa aura Nevda terasa berbeda. Kali ini, seperti bukan Nevda yang Naka kenal yang berada dihadapannya saat ini.

"Dengerin gua ya, kita bawa semua barang-barang lo. Mulai sekarang lo tinggal di rumah gua."

Nevda tak menghentikan Naka yang kembali sibuk memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper. Naka memasukan semua miliknya kedalam koper tersebut hingga penuh.

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang