24

3.1K 210 31
                                    

Nevda terbangun karena mendengar suara sang kakak yang terdengar heboh entah karena apa.

"Ka, serius deh ada apa? kenapa lo sama Nevda tiba-tiba ada di sofa, bukannya semalem kita tidur di kasur yang sama? ini leher adek gua berdarah lagi loh."

Nevda membuka mata kemudian menyipitkan mata menyesuaikan cahaya, Lehernya terasa sangat perih, namun lagi-lagi ia tak akan mengeluh.

"Nev, ke rumah sakit yuk?" Theora duduk tepat di sebelah Nevda, mata nya tak lepas pada kapas yang berubah menjadi berwarna merah.

"Kenapa lo jadi tidur di sofa sih?" tanya Theora, Nevda menegakkan tubuhnya yang terasa lemas.

"Ka, tolong siapin mobil, kita ke rumah sakit." Nevda menggeleng, "gausah kak" jawab Nevda serak khas bangun tidur.

"mas." Nevda memeluk tubuh Theora, kemudian kembali memejamkan mata. Naka terkekeh, Nevda sangat manja pagi ini, pemandangan yang sangat langka untuk Naka, bahkan Theora sendiri.

"Masih ngantuk hm? maaf ya bikin lo kebangun." pada akhirnya Theora membiarkan Nevda kembali tertidur, kemudian mengambil ponselnya.

Theora membuka pesan dengan dokter keluarganya, lalu mengirim foto luka di leher Nevda.

Dokter Daksa

mengirim foto|
Dok, ini lehernya berdarah lagi|
Dokter ada di rumah sakit ga?|

|Ya, saya masih di rumah sakit
|Bawa kemari, biar saya periksa.

Gimana ya dok|
Nevda susah diajak ke rumah sakit|
Tapi dia gapapa kan?|

|Ada keluhan dari Nevda tidak?
|Sepertinya tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.
|Mungkin saat tertidur luka nya kembali mengeluarkan darah karena tertekan atau tergesek ketika Nevda berpindah posisi tidur.
|Jika kamu sangat khawatir, saya bisa datang ke rumah mu untuk memeriksanya sekitar satu jam lagi.

Makasih dok|
Saya tunggu ya.|

Theora melempar ponselnya asal, kemudian memperhatikan tubuh Nevda yang kian hari kian menyusut, rasanya cepat sekali Nevda menghilangkan pipi berisinya, hingga kini terlihat begitu tirus.

❇❈❇❈

Nevda membiarkan Theora mengantar sang dokter hingga pekarangan rumah. Remaja tersebut kini tengah duduk di ruang kerja Andrian tanpa sepengetahuan Theora dan Naka.

"Kamu baik-baik aja?" Nevda tersenyum hangat, untuk sesaat ia merasa sangat bahagia, sang ayah memanggilnya untuk menanyakan keadaannya?

"Aku gapapa, ayah udah mendingan?" tanya Nevda yang diangguki Andrian.

"Kamu udah belajar?" Andrian kembali melontarkan pertanyaan, "belum.. maaf ya yah, beberapa hari ini Nevda ga buka buku pelajaran." jawab Nevda takut-takut.

Andrian mengangguk, "Gapapa, habis ini kamu belajar ya? ayah mau kamu jadi anak yang pandai, biar bisa sukses."

"Selama ini ayah banyak nuntut karena ayah mau kamu melakukan hal yang terbaik untuk hidup mu, jadi kamu harus tetep lakuin yang terbaik walaupun nanti ayah udah ga nyuruh kamu lagi ya?"

"Maksud ayah?"

Andrian berdiri diikuti oleh Nevda yang setelahnya diserang rasa terkejut karena sang ayah memeluknya.

Sudah cukup lama Nevda tidak menerima pelukan seperti ini dari ayahnya, rasanya seperti mimpi bisa kembali merasakan pelukan hangat ayah nya.

"Nev, kamu ga perlu donorin ginjal kamu untuk Theo. Ayah cuma minta kamu untuk jaga mas kamu terus, bisa ya?"

"Ayah dapet pendonornya?" tanya Nevda antusias.

"Ayah yang akan menjadi pendonor."

Nevda melepaskan pelukan mereka dan menatap Andrian tak percaya, Nevda menggeleng beberapa kali dengan wajah pucat.

"Enggak, maksud ayah apa?" tanya Nevda gemetar.

"Ayah ga mau Theo ngerasain sakit lebih lama, ayah juga ga mau kamu berkorban untuk mas kamu. Jadi biar ayah yang berkorban, kamu janji ya jaga keluarga kita dengan baik?"

Nevda menggeleng lagi, "apa sih yah? jangan ngaco deh, kan udah sepakat aku yang jadi pendonor. Ayah tolong pikirin bunda, pasti bunda sedih banget kalau tau ayah ngomong gini."

"Ayah mau mas kamu secepetnya sembuh-"

"Ayo yah." sela Nevda "Kapan kita harus lakuin itu? hari ini? sekarang? ayo, biar aku yang donor, jangan ayah."

Nevda melirik jam, kemudian menarik tangan sang ayah untuk pergi bersamanya namun Andrian menahan pergerakannya

"Jangan, biar ayah aja."

"Mas juga ga akan mau kalau ayah yang jadi pendonor." sarkas Nevda.

"Ayah udah merencanakan untuk melakukannya secara diam-diam." ujar Andrian menatap Nevda lekat.

"Kalau gitu biar Nevda yang jadi pendonor diam-diam." jawab Nevda cepat.

"Yah, udah ya? intinya aku yang akan donor, kasih tahu aja kapan aku harus ngelakuin itu, aku ga rela kalau sampe ayah yang berkorban."

Nevda mundur hingga punggung nya menabrak pintu, Nevda meraih knop pintu dan keluar dari ruang kerja sang ayah.

"sangat mudah mempengaruhinya."

Sayangnya, Nevda mendengar penuturan tersebut.

Menjadi NevdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang