"Jangan cuma bisa menilai. Cobalah pakai peranku, aku ingin melihat seperti apa caramu berjalan di jalanku."-Legenda Negeri Angkasa.
6. PIKIRAN YANG BUNTU.
Pukul dua dini hari, Legenda sudah terbangun dari tidurnya. Sampai-sampai sekarang, Legenda berangkat sekolah terlalu pagi. Jam baru menunjukan pukul enam kurang lima menit, tapi Legenda sudah keluar dari pekarangan rumahnya. Sebelum ke sekolah, Legenda berniat mampir terlebih dahulu ke warung kecil yang tak jauh dari rumahnya. Legenda ingin membeli roti untuk mengisi kekosongan perutnya yang belum di isi apa-apa dari kemarin.
Mood yang buruk, serta fisik yang lemah tidak bertenaga itu, semakin membuat Legenda tampak tak bersemangat hidup.
Ketika sampai di warung itu. Mata Legenda langsung tertuju pada televisi yang sedang menampilkan dua orang laki-laki dan satu orang perempuan yang sedang di wawancarai. Wajah mereka tidak begitu asing di mata Legenda. Legenda menatap lamat, semenggosok-gosok matanya dengan kedua tangannya, menepuk-nepuk kedua pipinya pelan. Memastikan bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi.
Setelah merasa bahwa semua ini bukanlah mimpi. Mata Legenda melotot tak percaya. Dia tidak sedang berhalusinasi. Jantungnya seketika berdetak tak karuan. Wajah yang tadinya murung, kini mulai menampilkan senyuman. Matanya berkaca-kaca, ada rasa bahagia yang membuncah dihatinya.
Tiga orang dalam televisi itu adalah orang tua, dan adik Legenda. Ketika melihat sosok adiknya yang berdiri di tengah-tengah orang tuanya membuat Legenda merasa iri. Rasanya, Legenda ingin menempati posisi itu sekarang. Legenda ingin berada di antara mereka bertiga. Wajah Tenggara yang terpampang di layar televisi itu sangat mirip dengannya. Tidak ada yang berbeda, kecuali, badan Tenggara yang lebih berisi di banding Legenda.
Batin Legenda berucap seperti ini, "Wajar saja, dia bahagia karena dia mendapatkan apa yang dia inginkan, sementara gue nggak mendapatkan apa pun yang gue inginkan, jadi gue nggak bisa merasakan kebahagiaan yang sama."
Legenda semakin serius memperhatikan mereka yang sedang di wawancarai oleh wartawan. Dua bapak-bapak yang ada di warung itu pun tidak menyadari akan kehadiran Legenda yang berdiri di belakang.
Legenda baru menyadari satu hal. Bahasa yang mereka gunakan tidak asing, suasananya pun tidak seperti di luar Negeri. Legenda yakin, bahwa mereka sedang ada di Indonesia. Menyadari hal itu, semakin membuat Legenda semakin tersenyum kegirangan.
"Setelah pekerjaan di sini selesai, saya akan melanjutkan pekerjaan selanjutnya di Bandung. Bersama istri dan anak tunggal saya."
Senyum Legenda memudar, begitupun dengan senangnya. Mulutnya terkatup rapat saat Legenda mendengar Yuda-Papanya menyebutkan anak tunggal. Seperti ada bom yang tiba-tiba meledak menghancurkan jiwanya.
"Dia, Tenggara Shaga Angkasa, anak tunggal kami. Dia satu-satunya pewaris. Dia yang akan melanjutkan bisnis saya kedepannya nanti."
Legenda juga melihat Zanna-Mamanya tersenyum seraya menganggukan kepalanya perlahan, tanda menyetujui ucapan suaminya. Sedangkan Tenggara memasang ekspresi bingung. Tenggara terlihat ingin menyangkal saat itu. Namun Yuda keburu menepisnya.
"Kamu anak satu-satunya yang papa punya. Jangan mengecewakan, ya."
Tersorot dalam layar televisi itu, rangkulan tangan Yuda di pundak Tenggara mengerat kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓
Teen FictionTERSEDIA DI GRAMEDIA & TOKO BUKU ONLINE📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak pernah habis, dia mampu menghadapi dan beradaptasi dengan manusia-manusia di sekelil...