Merasakan patah sejadi-jadinya. Mereka semakin seenaknya. Tidak berusaha mengobati, tapi cenderung mengulangi.
19. SATU MAKAM TANPA JASAD.
Suasana malam ini semakin mencengkram, Dermaga semakin tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sekuat mungkin Legenda melawan. Tapi, tidak bisa, karena seluruh pergerakan tubuhnya terkunci. Kecuali sebelah tangan kiri yang terbebas.
“Sadar, Mag!” Legenda menahan tangan Dermaga yang melayang di udara dengan sebelah tangan. Pisau yang ada di genggaman Dermaga terlihat sangat berkilau.
“Katanya mau mati? Untuk apa hidup? Dunia lo terlalu jahat, Legenda. Hidup lo terlalu malang,” ucapan Dermaga terasa begitu menusuk. “Izinkan gue untuk menghabisi nyawa lo, Gen. Gue mau lo bahagia di tempat yang abadi. Setelah lo mati, gue akan ikut mati. Setelah pisau ini menancap tubuh lo, pisau ini akan gue cabut, dan kembali menancapkannya di tubuh gue.”
Gila. Benar-benar gila, dia bukan Dermaga yang Legenda kenal. laki-laki yang ada di atas tubuh Legenda itu sangat menyeramkan. Ada jiwa yang mengamuk di balik raga yang tenang.
Dermaga membenarkan posisi duduknya di atas tubuh Legenda yang terlentang. Tangan kiri Legenda yang terbebas itu, sekarang ikut terkunci. Legenda idak bisa melakukan perlawanan apapun lagi selain berserah diri.
“Rasanya cuma seperti di gigit semut,” papar Dermaga, berbisik di depan wajah Legenda, dengan jarak yang semakin di perdekat.
“Mag? Gue mohon, jangan gini, ya? Kalau lo pergi, Senja gimana?”
Dermaga menatap kesekitar, Ntah mencari apa. Kemudian melihat kembali ke arah Legenda. “Kalau gitu, lo sendirian aja yang mati.”
Dermaga yang di kendalikan oleh minuman alkohol itu kembali mengangkat pisau tinggi-tinggi. Suara gelak tawanya terdengar nyaring di telinga Legenda. Keringat dingin bercucuran memenuhi pelipis Legenda, hatinya merafalkan doa-doa. Berharap ada keajaiban, atau mungkin ada seseorang yang datang membantunya.
“Gue akan mengantar lo untuk bahagia.”
Pisau tajam itu melayang hingga berjarak satu jengkal dari pangkal hidung Legenda. Pergerakan itu tertahan, ada seorang laki-laki yang menahan tangan Dermaga. Merebut pisau itu secara kasar, kemudian menarik kerah baju belakang yang di kenakan Dermaga, sampai sang empu berdiri limbung tak seimbang.
Dermaga mencoba untuk memfokuskan pandangannya pada laki-laki di hadapannya. “Ternyata, nyawa sama raga lo udah terpisah, ya? Perasaan, pisaunya belum mengenai permukaan kulit wajah lo.”
“Lo mau bunuh Abang gue, hah?” sorot mata laki-laki itu tak kalah tajam dengan Dermaga. Cekalannya beralih pada kerah leher baju bagian depan yang di kenakan oleh Dermaga.
Bugh!
Bugh!
Tenggara, laki-laki itu melayangkan dua pukulan keras di rahang dan pipi Dermaga. Sampai-sampai Dermaga tersungkur ke bawah. Dengan keadaannya yang mabuk, Dermaga semakin merasakan sakit yang luar biasa menjalar di kepalanya.
“Sebelum lo bunuh Abang gue. Gue yang akan ngebunuh lo duluan sialan!” Tenggara kembali menarik kerah Dermaga agar terbangun. Membawa diri yang lemah itu menyandar di batang pohon kelapa yang berdiri kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓
Teen FictionTERSEDIA DI GRAMEDIA & TOKO BUKU ONLINE📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak pernah habis, dia mampu menghadapi dan beradaptasi dengan manusia-manusia di sekelil...