34. BAGIAN TERAKHIR DARI 366 HARI

41.6K 4.1K 619
                                    

Nyerah juga bisa menjadi pilihan.

34. BAGIAN TERAKHIR DARI 366 HARI.

Lima jam sudah Legenda dan Moana lalui dengan berjalan tanpa tujuan di dalam keadaan gelap gulita dan tanpa arah. Di sini, masih di dalam hutan yang sama mereka berada. Ponsel Legenda yang tertinggal di kamar, serta ponsel Moana yang mati, semakin mempersulit mereka untuk bisa keluar. Untung saja, baterai kecil yang Legenda temukan di jok motor Dermaga masih berada di dalam saku celananya.

Nasib baik, mereka berdua memakai jaket. Alhasil, angin malam tidak begitu menusuk. Namun, wajah Moana semakin terlihat pucat, langkahnya semakin kecil dan pelan. Dari tangan yang Legenda genggam, laki-laki itu bisa merasakan suhu tubuh Moana yang semakin naik.

“Istitahat dulu, yuk. Jangan maksain, gue nggak mau keadaan lo semakin parah.”

“Lo lihat ini jam berapa, Gen?” sarkas Moana. Gadis itu menunjukkan erloji di pergelangan tangannya kepada Legenda. “Setengah jam lagi memasuki tengah malam. Kita udah hampir dua belas jam disini. Tanpa ada apa-apa, tanpa ada makanan apa-apa!!”

Legenda berusaha membujuk, berbicara pelan-pelan agar Moana tenang. Hingga akhirnya Moana memilih istirahat. Rasanya, dua pasang kaki itu sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah. Rasa lapar, membuat keduanya tidak mempunyai banyak tenaga. Mereka pun tidak tau, perjalanan ini semakin dekat dengan jalan keluar, atau justru semakin jauh.

“Perasaan, saat gue sampai sini, sekitar tiga puluh meter dari motor yang gue parkirkan, gue lihat motor Ilalang.” Legenda mengingat-ingat kejadian sebelumnya. “Sedangkan kita udah jalan jauh banget, jauh dari tiga puluh meter. Kayanya, kita salah ambil jalan, deh.”

Jelas, bagaimana tidak salah mengambil jalan? Ketika ikatan di lepaskan dari tubuh Moana, gadis itu langsung berlari tanpa bertanya kemana arah jalan pulang.

Legenda mengusap wajahnya kasar. Kepalanya di benturkan pada batang pohon yang ada di belakangnya. Dua benturan keras itu berhasil membuat Moana meringis. Mata Legenda terpejam. Ketika Moana memandang wajah Legenda dari samping, gadis itu baru menyadari sesuatu yang ada dalam diri Legenda. Alis tebal itu, bulu mata lebat, lesung pipi, rambut hitam legam, dan bibir merah alami adalah ciri khas yang menurutnya Legenda banget.

Pahatan-pahatan wajah yang tampan dan nyaris sempurna itu baru Moana sadari. Selama ini, Moana hanya melihat Legenda sebagai seorang yang lemah dalam pembullyan, seseorang yang selalu menyendiri tanpa seorang teman, dan si pintar kebanggaan guru-guru. Tapi kali ini, dalam posisi mereka yang dekat, Moana melihat Legenda selemah ini, sekacau ini. Napas itu terputus-putus, rahangnya terlihat jelas karena mungkin Legenda sedang menggertakkan giginya.

“Lo baik-baik aja, Gen?”

“Kalau gue bilang, gue baik-baik aja, apa lo percaya?”

Moana tidak menjawab. Suaranya terasa tertahan di tenggorokan.

“Bohong kalau gue bilang baik-baik saja, bohong kalau gue bilang nggak sakit ketika berkali-kali mendengar lo mencintai Ilalang, mendengar lo akan di jodohkan. Bohong kalau gue bilang nggak sakit ketika indra penglihatan gue terus melihat kedekatan yang semakin dekat antara lo dan Ilalang.”

“Tapi, kenapa lo selalu terlihat baik-baik saja? Kenapa lo nggak pernah marah sama gue? Kenapa lo masih mau mempertahankan hubungan ini dengan cinta yang cuma lo miliki? Apa lo yakin, apa lo nggak bakalan nyesel, karena telah memilih gue sebagai pasangan lo?”

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang