38. KEHILANGAN PERAN

42.5K 4.3K 270
                                    

Jangan pernah menganggap bahwa seekor macan yang memindahkan anaknya dengan cara menggigit lehernya adalah sebuah kesadisan.

38. KEHILANGAN PERAN.

Di dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka, ada Legenda dan Dermaga yang sama-sama terlentang di atas ranjang, sama-sama menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan kepalanya. Mereka menatap langit-langit kamar yang sama. Namun, dengan pikiran yang berbeda.

“Mag, gimana rasanya hidup dalam keluarga utuh?” ceplos Legenda tiba-tiba. Membelah keheningan yang semula menyelimuti.

Tetapi, Dermaga tidak langsung menjawab. Laki-laki itu hanya diam bergeming. Dermaga hanya melirik sekilas ke arah Legenda.

“Bukannya keluarga lo juga masih utuh?” papar Dermaga akhirnya.

“He'em,” Legenda mengangguk. “Tapi gue kehilangan peran. Mereka melupakan perannya sebagai orang tua.”

Dermaga berdecak kecil. Kepalanya sepenuhnya menoleh ke arah kiri untuk mendapati Legenda. Kondisi Legenda tampak berbeda. Guratan wajahnya terlihat begitu lelah, matanya pun terlihat sayu.

“Jangan sebut hilang apa yang utuh, Gen,” sanggah Dermaga. Sebetulnya, ini adalah topik yang Dermaga hindari ketika sedang bersama Legenda. Dermaga tidak suka membahas tentang permasalahan keluarga Legenda.

“Lo tau apa arti utuh, kan, Mag?” tanya Legenda. Ia mulai merasakan sesak di dadanya, karena sebenarnya pun, Legenda tidak ingin membebani Dermaga dengan cerita yang mungkin tidak penting untuk Dermaga.

“Rumah itu utuh. Tapi, utuh nggak berarti sempurna.”

Dermaga sedikit tidak menyangka bahwa Legenda akan berucap seperti itu. Dermaga tidak pernah merasakan apa yang selalu Legenda rasakan selama ini. Karena kehidupan keluarga Dermaga bisa di bilang baik-baik saja dari dulu hingga sekarang. Rumah Dermaga tidak pernah roboh, penghuninya tidak saling meninggalkan peran, kedua tiang penyangganya pun masih berdiri kokoh. Keluarga Devantara itu hanya kehilangan satu penghuninya.

“Semuanya jadi berantakan,” lanjut Legenda.

“Ada banyak pecahan-pecahan kecewa yang mereka goreskan di hati gue,” katanya, lagi. “Sehingga hati gue berantakan dan penuh luka.”

Laki-laki bernama Dermaga itu memilih untuk tetap diam bergeming. Dermaga mendengar setiap kata yang di ucapkan Legenda. Dermaga mengira, bahwa saat ini, Legenda sedang ingin di mengerti, Legenda sedang ingin di dengarkan, Legenda sedang berada di zona lelah.

Tersadar karena tidak bisa membantu banyak. Alhasil, Dermaga memilih untuk menjadi pendengar yang baik. Berharap, dengan cara ini bisa meringankan sedikit beban di pundak Legenda—orang yang sudah di anggap seperti adik kandungnya sendiri.

Sebab inilah, Dermaga selalu banyak bersyukur karena mempunyai keluarga lengkap, keluarga yang selalu mengerti, keluarga yang selalu menjaga apa arti rumahnya. Dan karena inilah, Dermaga tidak pernah merasa keberatan untuk berbagi peran orang tuanya kepada Legenda.

“Banyak yang ingin gue keluhkan kepada dunia. Banyak yang ingin gue sampaikan dan gue perlihatkan,” suara Legenda berubah pilu.

Nyatanya, laki-laki yang selalu terlihat tegar di hadapan orang-orang itu sudah terlalu rapuh.

“Dulu, gue punya satu sumber yang bisa membuat gue merasa senang. Tapi, sekarang hilang.”

“Badut?” tebak Dermaga. “Terus, kenapa lo meninggalkan kesenangan itu?”

Tidak ada jawaban dari Legenda.

“Karena di larang oleh Papa?” tebak Dermaga, lagi.

“Karena sebenarnya gue capek, Mag. Gue capek...” Legenda benar-benar menunjukan sisi lemahnya malam ini. “Gue capek harus pura-pura kuat, panas-panasan di jalanan dengan perut kosong, memakai kostum yang sebenarnya sangat berat—”

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang