13. PERTEMUAN MENYAKITKAN

49K 5.3K 298
                                    

Momen-momen manis itu, kini telah jauh, menyisakan kenangan bersama rindu yang abadi.

13. PERTEMUAN MENYAKITKAN.

Legenda berlari tergesa-gesa menuju jalan raya untuk mencari angkutan umum. Sehabis sholat subuh, Legenda kembali tertidur. Alhasil, pagi ini dia terlambat bangun. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi, sedangkan Legenda membutuhkan waktu sepuluh menit untuk bisa sampai di sekolah.

“Sial!” umpatnya, saat Legenda tidak menemukan angkutan umum di tempat pengeteman.

Terpaksa, Legenda harus menyusuri trotoar jalan raya dengan langkah besar dan sesekali berlari. Jika menunggu angkutan umum lewat, itu akan semakin membuang-buang waktunya. Legenda memakai tudung jaket saat itu, sehingga dia kurang teliti melihat sekitar. Alhasil, saat menyebrang jalan, ada suara klakson mobil yang refleks membuat kaki Legenda terperanjat melangkah ke belakang, menginjak bagian trotoar kembali.

Mobil putih itu menepi, posisinya tak jauh dari Legenda. Sementara Legenda menundukan kepalanya dalam, meratapi nasib sialnya hari ini.

Seorang pria keluar dari dalam mobil putih itu, berpakaian formal, memakai jas hitam yang senada dengan celananya. Memakai kemeja putih yang menjadi daleman jas itu, di tambah dengan dasi hitam yang terpasang rapi di kerah kemeja. Tak lupa dengan kaca mata hitam yang bertengger di batang hidungnya. Di ikuti oleh seorang wanita yang memakai gaun putih tulang sebatas lutut yang terlihat elegan, di tuntun oleh laki-laki yang tampak seumuran dengan Legenda. Memakai jas abu-abu yang juga senada dengan celananya.

“Punya mata itu di pake. Kalau kamu tertabrak, siapa yang akan di salahkan?” peringat pria itu, nada suaranya sedikit tinggi.

Bukannya menjawab, Legenda justru tertegun mendengar suara yang telah lama tidak ia dengar. Perlahan, Legenda mendongak, membuka tudung jaket yang menutupi kepalanya.

“Papa?” mulut Legenda berucap. Kemudian matanya beralih menatap dua orang yang berdiri di belang pria itu. “Mama, Tenggara?”

Mata Legenda memanas. Tidak peduli lagi jika Legenda akan datang terlambat ke sekolah. Sementara tiga orang yang ada di hadapannya, melihat Legenda dengan tatapan yang sulit untuk di artikan. “Ini, Legenda,” kata Legenda, lagi, menunjuk pada dirinya sendiri.

Legenda memajukan kakinya beberapa langkah. Hendak akan memeluk sosok yang ia sebut sebagai Papa. Namun, pria itu justru melangkah mundur, memberi sedikit jarak dengan Legenda.

“Kenapa, Pa?” tanya Legenda, suaranya bergetar. Perasaan campur aduk menjalar silih berganti di hatinya. “Ini Legenda. Anak Papa sama Mama,” ujarnya, menatap mereka secara bergantian.

“Anak kami cuma satu, yaitu Tenggara,” tutur pria bernama Yuda itu, seraya merangkul remaja laki-laki di sebelahnya. “Tenggara Shaga Angkasa,” lanjut Yuda.

Legenda mendekat ke arah wanita bernama Zanna yang sudah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Ma....” lirih Legenda. Sorot matanya mengisyaratkan seolah ia meminta pembelaan.

Namun, Legenda tidak mendapatkan respon apa-apa dari Mamanya. Kemudian Legenda beralih menatap ke arah laki-laki yang ada di tengah-tengah orang tuanya. “Apa lo juga lupa sama gue, Gar?”

Tenggara menggeleng, berusaha melepaskan tangan Yuda dari pundaknya, dan melepaskan gandengan dari tangan Zanna. Tenggara menghamburkan pelukan erat di tubuh Legenda—Kakak kembarnya. Kepala Tenggara menggeleng dalam pelukan itu. “Enggak, gue nggak pernah lupa sama lo, bang.”

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang