komen yg banyak, please?
koreksi klo ada typo(s). selamat membacaa!
***
Saat ini, Jenara dan Jefrian masih berada di ruang inap Jenara. Sudah satu minggu lamanya, mereka banyak menghabiskan waktu di ruangan itu. Jenara belum diizinkan untuk pulang. Jahitan karena operasinya belum cukup kering dan dokter belum mengizinkan dan melepas pasien ini karena suatu hal lain.
Saat ini keduanya tengah berbaring dan berpelukan di atas ranjang rumah sakit yang Jenara tempati. Perempuan itu belum mau makan juga.
"Makan dulu, Jen. Tadi pagi kamu belum mau sarapan, sekarang harus makan."
Jenara menggeleng, "mau begini dulu." Lalu keduanya terdiam. Larut dalam pikiran dan perasaannya masing-masing.
"Jeff,"
"Hm?"
"Capek."
Jefrian menunduk, beradu pandang dengan Jenara yang berbaring di dadanya, "mau duduk?"
Jenara menggeleng. "Udah berhari-hari. Aku mau pulang aja."
"Dokter belum ngizinin. Sabar ya, tunggu sebentar lagi." Ucap Jefrian sembari menggeleng kemudian diangguki oleh Jenara. Wanita itu mengangguk patuh.
"Kangen Abang sama Kakak..."
Memang selama seminggu ini Jenara dilarang bertemu dengan Naren dan Jenan. Bukan tanpa alasan, mereka hanya takut jika si kembar tidak nyaman di ruangan itu, terlebih lagi Bunda nya tengah berduka dan terpuruk. Semua keluarga juga takut apabila si kembar terkena kuman di rumah sakit mengingat tempat tersebut banyak sekali terdapat orang-orang yang sedang sakit. Lebih takut lagi apabila si kembar gembul itu mengganggu istirahat Bunda nya.
Jefrian mengangguk. Dia paham betul Jenara saat ini masih terguncang dandukanya belum reda karena kehilangan bayinya, ditambahh lagi wanita itu dilarang bertemu dengan anak-anaknya. Jefrian tahu istrinya kesepian, walaupun dirinya selalu ada bersama perempuan itu setiap waktu, tapi pasti Jenara butuh hiburan. Dan si kembar adalah jawabannya. Merekalah obatnya.
"Nanti aku telepon Papa, biar si klepon di bawa ke sini."
Jenara mendongak, "emang udah boleh ketemu sama aku?"
"Iya, udah boleh, asal Buna makan sekarang. Mau ya?"
"Tapi janji ga bohongin aku, kan? Abang sama Kakak beneran ke sini, kan?"
Jefrian terkekeh, matanya tidak sengaja menangkap mata istrinya yang masih sembab karena memang Jenara masih sering menangis apabila teringat mendiang bayi mereka. "Iya sayang, janji." Ucapnya sembari mengusap kelopak mata istrinya. "Masih suka nangis, hm?"
Jenara menutup matanya merasakan usapan lembut dari tangan Jefrian. Dia mengangguk jujur karena memang kenyataannya demikian. "Kadang-kadang kepikiran dede aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Dadakan [END]✅
General FictionKita tidak pernah tahu apa yang akan semesta lukiskan untuk hidup kita.