"Oke, kita pergi sekarang!"
Mauli datang dengan membawa tas coklat. "Kalian jaga baik-baik tempat ini ya!" Wajah Mauli manis. Indri dan Sangkut mengangguk. Usai begitu, Mauli menarik lengan Ogan. Hati berbunga, melepas kecemburuan sejenak, kebahagian terpancar ketika berada di samping sang kekasih. Sementara dua pekerja tadi merapatkan posisi tubuh, menatap diam, antara senang atau kesal atas tindakan Mauli tadi.
Setelah mereka hilang dari pandangan, Sangkut mengambil satu kotak cincin yang warna merah. Dia pergi ke belakang seraya membawa kain lap, tangannya mengambil satu cincin permata kemudian mengelapnya. Tiba-tiba Indri menggerutu, Sangkut pun tak merasa membuat ulah, namun wajah Indri terlihat meradang.
"Jangan sok tau kau tentang perempuan ya!"
"Semua laki-laki tidak akan pernah tau rasanya menjadi seorang wanita, ketika datang bulan, hamil, melahirkan, semuanya itu tidak enak!" Indri menepuk meja. Ucapan Indri seolah pernah berumah tangga serta telah mengalami semuanya, padahal dia seorang lajang.
"So-sorry, aku cuma mengisi pembicaraan saja, kau tau itu," bela Sangkut. Dia menjelaskan dengan wajah gerah, tatapannya ke mana-mana.
"Makanya, kalau bicara harus pakai otak," celetuk Indri.
"Memangnya, aku punya otak? Aku tak punya otak, Indri"
Mendengar kalimat Sangkut, Indri diam. Tersentak, karena kalimat langka dan sangat masuk emosi. Lama-lama tubuhnya menggigil, ia menahan tawa dengan mulut terbungkam, namun kata-kata Sangkut membuat reaksi berlebihan. "Buhaha. Haha!" Indri ketawa lepas. Indri terpingkal, mulutnya menganga lebar, gigi-gigi penuh karang, melebar hendak menelan kepala kambing.
"Memang gak ada otak aku." Sangkut masa bodoh, seperti biasa, tetapi tak tersinggung dengan sikap Indri, meski ketawa terkencing-kencing hingga mengeluarkan air mata, masa bodoh seperti kerbau berendam lumpur.
Kalimat Sangkut membuat Indri menjadi-jadi. Tubuh Indri bergetar hebat hingga memeluk kursi, walau tersungging habis-habisan, Sangkut dengan santai tetap melakukan aktivitasnya. "Hahaha. Sejak kapan kau punya pikiran demikian?" Indri mulai mereda, tawa berkurang, dia duduk seraya menekan perut.
"Aduh, perutku sakit gara-gara kau." Indri mengambil tisu lalu mengusap wajah. Hanya dilirik Sangkut.
***
Mauli dengan suka cita berjalan bergandengan layak romeo dan juliet. Mereka berjalan di pinggir jalan Lamus yang penuh orang berlalu lalang. "Lihat, aku ingin beli balon itu!" Mauli menunjuk seorang Pak Tua, dia duduk sembari menjajakan balon-balon terbang. banyak variasi warna seperti merah, biru, hijau, pink, dan putih. Lantas mereka berdiri di depan orang tua itu, perkiraan umur 70 tahun, walau begitu dia tetap semangat dalam mencari nafkah.
"Pak aku beli dua."
"Yang mana?" Penjual tersebut berdiri.
"Pink dan merah," jawab Mauli mantap.
Penjual balon itu memberikan dua balon warna pink dan merah. "Ambil saja kembaliannya." Ogan menyodorkan selembar uang. tatapan senyum nan ramah, penjual itu terpana dengan aksi tersebut. Saat itu penjual rentan itu memang butuh dana. Dia meremas selembar uang merah, seperti hendak menangis tetapi belum sampai.
"Terima kasih, kau sangat membantu sekali."
"Sama-sama." Ogan dan Mauli bertolak.
Mauli terlihat ceria dengan menggenggam dua tali putih yang terikat dua benda terbang. Mereka kembali berjalan ke arah Barat. Setelah itu mereka belok kiri dan tetap mengikuti jalur khusus pejalan kaki. Tak berapa lama terdengar suara tangisan anak kecil di samping. Rasa curiga muncul, Mauli menghentikan langkah, lalu tertarik melirik suara sedu tersebut. Mauli melihat sosok anak kecil tengah membuka mulut lebar, berlinang air mata sembari menunjuk ke arah balon yang Mauli pegang. Mauli bersukacita lalu memberikan kedua balon itu. "Terima kasih." Ibu sang anak membetulkan baju anaknya.
Ogan hanya berdiri memperhatikan apa yang dilakukan oleh Mauli. "Itu hanya balon!" Mauli menarik tangan Ogan. Tak berapa lama mereka dapati tempat yang lebih ramai di depan mereka. Tempat tersebut adalah Alun-Alun Kota Lamus. Ogan dan Mauli berhenti di tempat makan dengan tenda bertulisan "Ayam Madu" warna hitam dengan background hijau muda. "Pak Ayam Madu dua!" Ogan duduk sedangkan Mauli masih menata kursi.
Seorang pelayan pria muda lalu memproses pesanan pasangan tersebut. "Kau telah menjelma orang Lamus." pemilik kedai itu meracik bumbu.
"Aku telah cinta terhadap Lamus sebelum tragedi dua tahun lalu, Pak."
"Bukannya hanya Lamus, kau juga tak mungkin kehilangan orang yang telah membangunkanmu kan?"
"Lagian bangkai Pasukan Bodem raib tertanam di dalam Aguilar bukan?"
"Hem, kau jangan sok tau." Ogan kagum karena penjual itu mengetahui kebenaran. Orang tersebut menyodorkan dua porsi nasi. Setelah itu menatap dan senyum kepada Ogan.
Ogan membalasnya, kemudian menatap Mauli sementara tangannya meraih nasi. Tak lama pria yang memakai celemek putih itu memberikan dua piring yang berisi sepotong ayam, sambal, dan dilengkapi sayuran kol, mentimun, dan daun kemangi.
"Silahkan!"
"Terima kasih."
Ogan mencangkul nasi kemudian memasukan kedalam mulut bersamaan suwiran daging ayam. "Hemm besok kau harus masak seperti ini!" Ogan puas. "Makanan seperti ini yang kau suka?" Mauli mencelupkan suwiran daging ke sambal.
"Makan menggunakan tangan sangat menyenangkan."
"Caramu di sini terpakai." Mauli ketawa kecil.
"Kau ingat! Dua tahun lalu kau kesulitan saat makan menggunakan sendok," ungkap Mauli. Ogan tak membalas namun justru semakin menikmati hidangan tersebut. Ia mengambil potongan kol lantas memasukkan ke dalam mulut. "Iya, karena aku adalah makhluk norak tak mengerti apa pun, tetapi berkat dirimu aku berubah." Ogan mengambil daun kemangi yang dimasukkan ke sambal. Usai itu daging renyah berwarna putih dikunyah.
Kres!
Suara crunchy tersebut terdengar hingga membuat Mauli kembali mengeluarkan suara. "Daun kemangi itu bagus untuk mengurangi bau keringat!" Mendengar kalimat Mauli, Ogan berhenti mengunyah dan melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Historical FictionSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...