Maksud Sepucuk Surat

3 0 0
                                    


Suasana sepi. Kerinci siuman setelah sekelompok semut hendak menggotong tubuhnya. Dia bangkit dengan nyawa belum terkumpul sempurna, dia bingung karena hidup sendiri sedangkan teman-temannya menghilang. Dia berjalan mencari pedangnya. Terlihat area tersebut berantakan, tubuh Kerinci pun tak senonoh, bau keringat iya, sakit jangan ditanya lagi. Usai berguling-guling, Kerinci melakukan senam ringan. Saat peregangan otot mata menatap ke depan. Dia berhenti setelah seekor harimau mengunjungi.

"Kau hendak apa?" Kerinci mengacungkan pedang.

Terdengar nafasnya berisik, hewan liar tersebut memperlihatkan dua taring putih, seperti kelaparan. Kerinci telah siap jika harimau itu menyerang, tetapi dia hanya mengendus-endus. Dia malah melahap bangkai unu. "Ya ampun, itu memang makananmu. Manusia itu bukan makanan hewan buas, Kawan." Kerinci terlihat sedikit tenang. Dia malah menonton binatang sedang makan. Dia juga tidak tau apa yang sedang terjadi, apakah teman-temannya selamat atau sudah tewas.

Usai mencabik-cabik bangkai unu yang masih segar, harimau tersebut mengaung pada Kerinci. Seperti tanda ucapan terima kasih atau salam perpisahan. Pergi dengan perut buncit, binatang itu kekenyangan sehingga berjalan lebih santai dari sebelumnya. Kerinci hanya geleng-geleng, dia mondar-mandir, menyelediki di area tersebut tetapi tidak menemukan tanda-tanda teman-temannya atau pun Saigon.

"Ke mana mereka?"

Dia duduk sambil memangku dagu, ketika hendak pergi dia menemukan suara tangis. Isakan itu terdengar jelas tetapi tidak menemukan wujud apa pun. Lantas Kerinci bingung, Saat itu cahaya putih melingkar muncul, tak lama tiga orang itu kembali.

"Lematang!"

Kerinci menghampiri. Dia lantas memeluk sang kekasih, sedangkan Lematang masih dalam isakan dan menggenggam kain. "Ada apa?" Kerinci ingin tahu. Ogan dan Mauli saling mendekatkan tubuh. "Saigon telah mati," balas Ogan. Usai Kalimat itu terucap, Kerincin tidak lagi bertanya. Dia tau kesedihan Lematang karena Saigon.

"Ehem, i-itu. Eee anu!"

"Kau kenapa? " Mauli melihat Ogan salah tingkah.

"A-anu itumu, Lematang."

"Apa?"

"Dadamu terbuka." Tegas Ogan, wajahnya berat.

Sontak Lematang menutup bagian yang robek, sedangkan Mauli memberi hadiah kepada Ogan. "Bisa-bisanya kau begitu jeli!" Mauli mencubit lengan Ogan. "Aw, harusnya tau lebih dulu bukan aku," bela Ogan.

"Tetap saja kau mesum."

Ogan terdiam.

Usai sudah perang, tidak ada bangsa unu, tidak lagi ambisi untuk membuka Portal Kematian, semua selesai. Mereka kembali ke Bima Sakti, kini tanpa bantuan Wadari mereka bisa kembali dengan selamat. Mereka kembali dengan membawa kemenangan, pertemuan dengan kawan lama kembali terulang. Sedangkan tiga keluarga itu telah berdiri, sedangkan para Bodem berbaris rapi mengelilingi mereka. Wilayahnya itu pun tak luput dari kerusakan, kali ini tidak berada di tengah kota sehingga kerugian tidak begitu banyak.

"Kau harus berbicara dengan Pak Kades atas kerusakan desa ini," ucap Bram.

Terlihat Kerinci berpelukan dengan Karot, selepas itu dia melakukannya dengan Sangkut, dilanjutkan dengan Pengot. "Lain kali aku akan membeli pempekmu, katanya enak," tutur Kerinci. "Tentu saja, jika kau yang beli akan aku beri diskon," balas Pengot.

Sedangkan Ogan dan Wadari juga saling bercakap. Di belakang Mauli memperhatikan dua orang yang sedang bicara basa-basi. "Terima kasih, bantuanmu cukup berarti." Ogan berseri. "Aku selalu akan membantu temanku, asura yang baik." Wadari mengangguk.

"Aku harus pergi," kata Wadari, dia telah membuka portal. Baru saja melangkah, Mauli menghentikannya.

"Apakah kau benar jika Ogan pernah hendak menidurimu?"

Hanya dilirik bersama senyuman geli, Wadari melihat Ogan telah salah tingkah. Mauli seperti tak percaya dengan ucapan lelaki, karena menurutnya lelaki banyak yang buaya, banyak dramanya soal perempuan. Itulah sebabnya Mauli mencari kebenaran langsung dari sang bidadari. Mauli sebenarnya malu bertanya demikiaan tetapi hatinya berkata lain hingga ia memberanikan diri. Wajahnya sedikit tegang, tangannya bermain-main dibalik Walas.

"Itu hanya bercanda. Kau tenang saja."

Kalimat penenang yang memang diharapkan baik Mauli atau pun Ogan. Kekasihnya menelan ludah ketika Mauli melirik, Wadari hilang portal pun mengatup. Wajah Mauli terlihat lega. "Apa?" Nada suara Mauli seperti marah. "T-tidak," balas Ogan ragu-ragu. Dia salah tingkah melihat gelagat Mauli demikian. Wanita tersebut melangkah, Ogan mengikuti dari belakang seperti merasa bersalah.

Usai tiga orang keluarga itu kembali, Lematang dan Kerinci tampil mesrah. Mereka berpelukan seraya berdialog. Pelukan hangat dari sang kekasih, Kerinci menikmatinya karena memang momen langka. "Kita adalah orang yang sama-sama kehilangan keluarga yang kita miliki. Iwan adalah orang baik, dia dokter yang suka dengan binatang." Kerinci membelai rambut pasangannya. "Saigon pun sama, dia hanya butuh arahan yang benar, waktu kecil dia adalah pelindung bagiku," balas Lematang. Dia meremat kain temuannya.

"Ya ampun." Kerinci melepas pelukan enak, gratis pula.

"Kenapa?" Wajah Lematang sedikit penasaran.

"Dogi dan Jalu masih hidup."

"Bagaimana kau yakin?" Lematang bertanya lebih jauh.

"Aku Kerinci, aku bisa melihat mereka bisa bernafas."

"Oh ya aku lupa tentang itu."

Mereka pun angkat kaki. Kerinci memandu Lematang untuk melihat peliharaan Iwan. Setelah melakukan perjalanan cukup lama, mereka bertemu dengan Dogi dan Jalu tanpa kurang suatu apa pun. Mereka girang karena masih bertemu dengan salah satu tuannya. Mereka berada di satu kandang, kandang tersebut ternyata terdapat sepucuk surat. Kerinci membuka surat tersebut lalu disaksikan oleh Lematang. Berikut isi surat tersebut:

"Jika ada yang menemukan hewan ini, tolong rawatlah mereka dengan suka hati. Dogi suka sekali makan ayam goreng, Jalu pun sama. Tetapi jika kalian adalah kerabatku, maka berikan saja pada Ogan."

Melihat isi surat tersebut Lematang heran, ia tak paham dengan keluarga kekasihnya. "Kenapa harus Ogan, kau kan keluarganya?" Lematang mengetuk pipi dengan jari. Kemudian Kerinci beri jawaban menohok, Iwan adalah keluarganya, tentu dia lebih paham tentang kelakuan keponakannya. Begini katanya.

"Aku kurang telaten."

Ogan | Trah SriwijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang