Cika adalah Lematang

5 0 0
                                    

Di sebuah goa, seorang pria gundul bernama Saigon tengah duduk di atas batu. Ia duduk memegang dagu sembari memainkan kaki. Ia telah menunggu lama sosok orang yang merupakan adik kandungnya. Goa tersebut terdiri bebatuan besar serta memiliki luas satu rumah besar.

Terdengar suara sepatu, Saigon berdiri lalu mendekat ke arah mulut goa. Seorang wanita cantik telah berdiri dengan gaun merah.

"Apa saja yang kau kerjakan selama ini?" Saigon geram.

Wanita itu justru membuang muka, ia tak lain adalah Cika, nama aslinya adalah Lematang. Ia mendapat tugas menyamar sebagai warga Lamus untuk mencari Trah Sriwijaya. Saigon akan memanfaatkan orang tersebut untuk mengaktifkan simbol bunga melati di dalam Kitab Walas. buku kuno yang dicuri dari museum seminggu yang lalu.

Di dalam kita Walas terdapat mantra yang bisa memberikan kekuatan kegelapan hingga bisa membuat seseorang menjadi pendekar pilih tanding. Jangan salah, kekuatan tersebut berguna untuk meningkatkan power Saigon nanti. Setelah dia menerima energi dari Walas, Saigon akan membuka portal bangsa unu, di sana dia juga bakal dibekali kekuatan juga.

"Pekerjaan ini tidaklah mudah!"

"Kau pikir mencari orang yang tidak tau identitasnya semudah membalik telapak tangan, hah?" Lematang menatap.

"Ingatlah! Jika kau berhasil menemukannya, lalu mengaktifkan simbol di Walas, kita akan mengembalikan kebahagiaan keluarga kita."

"Huh! Menyebalkan." Lematang menghela nafas.

"Kau tau? Hanya dengan cara ini ayah dan ibu kita bisa kembali."

"Kau tidak bisa menerima takdir, Kakak." Lematang berucap pelan

Tak berapa lama Lematang justru meninggalkan Saigon. Setelah keluar dari goa Lematang memasang tangan, muncul semacam gas yang mendorongnya ke udara. Kemudian tubuh seksi itu melayang ke udara dan menuju Lamus. Lematang mendarat di gang sepi yang penuh sampah dan lalat-lalat yang sedang mengkerumuni bangkai ayam.

Baru saja menginjak bumi, dua orang preman menghampiri Lematang dengan wajah mesum. "Hai cantik, apakah kau ada waktu untuk bermain dengan kami? Hehehe...!"

"Tolong hentikan ocehanmu itu!"

"Tidak usah marah begitu." Seorang berambut merah hendak menyentuh dada Lematang.

Namun, sebelum telapak tangan itu menyentuh, Lematang memberi pelajaran terhadap mereka. Lematang memberi tinju kebagian dada lalu disusul menusuk perut dengan jari. Pria itu mundur sambil muntah darah segar. Melihat rekannya terluka, pria lainnya memberi perlawanan.

"Kurang ajar!"

Pria itu mengeluarkan pisau, ia memainkan senjata tajam namun sebelum disadari, Lematang memberi tendangan di bagian wajah. Pria itu terdorong ke belakang hingga mendarat di atas tong sampah.

Bug!

"Aduh!"

Pria itu meringis, tentu sakit. Lematang meninggalkan mereka begitu saja. Ia berjalan menuju ke utara lalu belok ke kiri.  Sedangkan dua wajah mesum berdiri dan saling membantu satu sama lain.

"Sebaiknya kita pergi saja, jangan ceritakan ini kepada siapa pun jika preman Lamus takluk oleh seorang wanita."

"Bodoh! Siapa yang mau mempermalukan dirinya sendiri." Pria yang tersangkut di tong sampah turun. Ia berjalan sembari tangannya beberapa kali menghalau lalat-lalat nakal. Sementara mereka berjalan ke utara lalu belok ke kanan.

Lematang berjalan di trotoar menuju tempat favoritnya. Ia mampir di sebuah kedai penjual es alpukat. Es dengan toping cendol, kolang-kaling, cincau yang disiram sirup dan santan tersebut menjadi minuman kesukaannya sejak ia tinggal di Lamus. Sembari jalan santai, Lematang menentang satu kantong plastik minuman segar, sesekali menyedot dengan nikmat.

Setelah itu pergi 30 m ke barat. Di sana terdapat toko kerupuk paling populer di Lamus. Kerupuk kemplang menjadi makanan kesukaannya ketika ia sedang gabut di rumah. Kali ini karena suasana hati tak mendukung makanya dia lari ke situ.

"Nenek!"

Lematang melambaikan tangan sambil tersenyum pada pemilik toko yang sudah menjadi langganannya setahun terakhir ini. "Kau terlihat cantik sekali hari ini," balas orang yang telah berusia 63 tahun itu. Penjaga ramah, kerap menjadi tempat curhat bagi kaum muda. Banyak hal yang bisa dipetik oleh ocehan nenek tua tersebut. Meski tua, tetapi bisa mengimbangi cara berpikirnya para kaum muda masa kini.

"Hari ini aku sangat kesal sekali, aku ingin menghabiskan waktu di rumah sambil mengunyah kemplang dan sambal peda milikmu." Wajahnya amat kesal, seperti habis putus cinta.

"Seharusnya kau pergi bersama kekasihmu, sejak kau jadi langganan di sini kau belum pernah membawa kekasihmu." Nenek itu memindahkan beberapa bungkus kerupuk ke kanan.

"Ah!" Lematang tersipu malu. Orang tua itu selalu menyinggung soal asmara ketika dia berkunjung. Tetapi ucapan si nenek benar, selama di sini belum pernah dia menggandeng seorang pria, meski itu adalah kakaknya sendiri. Karena dia masih dalam misi, paksaan sang kakak untuk mencari seseorang dengan identitas yang tak jelas pula.

"Aku ingin membeli kerupuk dua bungkus."

"Tumben."

"Kan sudah aku bilang! Hari ini tidak bersahabat denganku." Lematang menyodorkan uang 10 ribu dua lembar.

Sang nenek pergi ke belakang sebentar, kemudian kembali dengan sebungkus plastik, dia menarik dua bungkus kemplang lalu memasukkan ke dalam kantong tersebut. Terlihat lengannya keriput, si nenek memberikan pada pembeli.

"Terima kasih," ucap Lematang. Usai berikan senyum terakhir dia pun melangkah.

Namun, baru saja balik badan, Lematang justru bersenggolan dengan Beni. Waktu itu Beni juga tidak hati-hati karena terlalu fokus melihat isi ponsel. Matanya tak melihat jalan, malah menatap layar HP.

"Maaf!"

Beni memperlihatkan kedua telapak tangannya. "Maaf, aku yang salah karena tidak fokus," Beni memperlihatkan rasa bersalah.

"Tidak masalah, aku baik-baik saja." Lematang tersenyum. Dia hendak mengambil kerupuknya, tetapi lebih dulu diambil Beni, canggung, rasa tak enak muncul, senyum pun dipaksa. Mereka saling tatap sebentar, Lematang segera pergi dan Beni masih terpaku dengan perwujudan wanita tersebut. 

"Akan berapa lama lagi kau akan berdiri di situ hah?" Nenek main gebrak meja toko.

"Oh iya maaf!" Beni memberikan milik Lematang. Lematang berseri lantas pergi. Beni akhirnya tersadar, kemudian menghampiri si nenek, "Kerupuk tenggiri Nek!" Sementara sesekali matanya curi-curi pandang ke arah Lematang yang semakin jauh.

"10 ribu."

Beni mengeluarkan lima lembar bernilai dua ribu, kemudian menyodorkan. "Huh, ternyata dolar juga."

"Meski pun receh, kau juga butuh dengan itu Nek, iya kan?" Beni tersenyum lalu bergegas pulang. Si nenek hanya geleng-geleng sambil membuang uang ke laci.

Ogan | Trah SriwijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang