Kerinci!

3 0 0
                                        

Ogan tampil tak berdosa. Dia menarik Mauli. Keempat makhluk itu tiba di semesta yang tidak familiar. Semesta Bit merupakan semesta yang berpenghuni manusia-manusia berkemampuan unik. Setelah ledakan meteor besar, mereka memiliki kemampuan yang bisa mengendalikan berbagai elemen. Langit yang biasanya biru, di Bit berwarna orange.

"Tempat ini aneh," Beni memperhatikan sekitar.

"Selamat datang di Bit, tempat di mana para evolus. Di sini kalian akan menemukan perbedaan."

"Kita mau ke mana?"

"Ke rumahku."

Lematang memboyong mereka pergi. Ogan masih menggenggam Akuadron, sementara Aguilar melingkar di leher. Mereka naik sebuah kendaraan cukup aneh. Bentuknya seperti bus tetapi lebih lebar. "Ini adalah kereta yang akan membawa kita ke rumah," ungkap Lematang. Seperti angkutan umum, mereka duduk berdampingan dengan evolus yang lain. Saat itu Mauli masih menggerutu, di ungkit permasalahan tadi.

"Kenapa kau hendak meniduri wanita itu?"

"Dia hanya bercanda, Mauli. Jika benar kenapa dia mau menolong kita, dia suka humor," jawab Ogan.

"Awas jika kau berbohong," ancam Mauli.

Di depannya terdapat seorang nenek tua. Mereka melihat wanita rentan itu pada umumnya, sang nenek tersenyum pada Ogan. Dia membalasnya, tetapi Mauli mencubit. Ogan berusaha menyingkirkan tangan nakal itu, dia kembali melebarkan senyum.

"Kalungmu bagus," kata si nenek seraya menunjuk.

"Oh terima kasih. Kalung ini sangat mahal, aku juga suka."

Usai itu ruangan hening, si nenek jadi penonton ketika dua pasangan itu duduk berdampingan. Cukup lama tidak ada suara, tiba-tiba datang seekor lalat terbang di tengah-tengah. Hewan itu cukup menganggu, suaranya membuat tak nyaman. Eh, dia malah hinggap di muka Mauli, wanita itu menepuk wajahnya, tak mengenai sasaran. Hewan itu pindah ke bibir Beni. Serangga itu bikin risih, mata Beni melotot, dia hanya memperhatikan lalat itu menempelkan kedua kaki depan.

Plek!

Lematang menepuk, tetapi hanya meninggalkan jejak sedikit memar, binatang itu beralih ke tengah. Nenek di depannya menatam tajam, tak lama dia menggerakan telunjuk ke para binatang tadi. Muncul kilatan api yang membakar lalat, bukan hanya itu, dia pun membuat seisi ruangan kaget. Api itu cukup besar hingga membuat orang girap-girap. Bukanya merasa bersalah, nenek itu malah tebar senyuman. Sedangkan Beni telah angkat kaki hendak pergi, sedangkan Mauli melindungi rambut.

"Hampir saja kau membakar rambutku." Mauli melirik sedikit tak senang.

"Belutku selamat, huh," kata Beni mengelus dada.

"Kenapa kau bawa-bawa be... Oh, dasar kau ya."

Lematang mengerti maksud kalimat Beni barusan. Ogan dan Mauli saling tatap, mereka tak mau ikut urusan Lematang dan Beni. Ogan mengangguk, usai sang pengendali api itu berdiri. Ia hendak turun setelah kereta terbang itu mendarat. Mereka pun turun mengikuti Lematang. Melintas di sebuah tempat ramai, wajah-wajah itu memang mirip manusia tetapi kemampuannya bisa membunuh. Bahkan banyak orang berjualan di pinggir jalan, perjalanan itu mengarah ke kiri, seperti gang kecil tetapi cukup sepi. Sementara Beni, sering melihat ke langit, dia takjub langit yang berbeda.

Usai itu mereka berjalan di pinggir seperti hutan setelah itu muncul di sebuah rumah dengan di sekitarnya lapangan hijau. Rumah besar, megah bertingkat. Orang kaya rupanya, Lematang membawa mereka masuk lalu memberikan ucapan. "Saigon tidak ada di sini, aku rasa dia telah pergi." Lematang melipat tangan menatap mereka semua. "Kita langsung ke lokasi, tempat di mana Saigon hendak membuka portal kematian."

"Tidak semudah itu, tempat itu cukup jauh, bahkan aku rasa dia tau keberadaan kita, apa kau tak berpikir jika dia akan menyambut kita."

"Entahlah," ucap Ogan.

"Bagaimana kalian bisa mendapatkan Walas?" Mauli menunjukkan buku tebalnya.

"Musium," kata Lematang.

Sementara tiga orang itu sedang membahas Saigon, Beni malah sibuk sendiri. Dia memperhatikan sebuah cangkir dengan cairan merah beraroma wangi, ingin sekali meminumnya. Tetapi dia terpaku dengan botol kecil, di dalam terdapat semacam elemen berwarna biru. Tak sepengetahuan Lematang, tangannya memgambil cangkir tersebut lalu meminumnya.

"Ah, hem, rasanya aneh."

"Apa?" Lematang berupaya menyelidiki.

Ketika itu Beni telah menelan cairan tersebut sedangkan tangannya telah beralih pada botol biru. "Itu koleksi Saigon, dia mendapatkan dari orang tua. Konon itu adalah Gas Urip atau biasa mereka menyebutnya Nafas Dewa. Barang siapa menghirupnya bakal memberikan kekuatan luar biasa, tubuhnya bisa berubah besar."

"Dari mana mendapatkan benda ini?"

Kalimat itu tak dijawab, Lematang mendekat kemudian barulah bersuara. " Di Bumi, semesta Bima Sakti, benda itu sudah berumur 230 tahun. Tidak digunakan selama turun-temurun."

Hah, di mana cairan di dalam gelas ini?" Lematang mengangkat gelas itu.

"A-aku yang minum, haus, kenapa?"

"Aku tak tau itu air apa, barang kali itu racun, karena telah empat bulan di situ tak pernah disentuh oleh Saigon."

"Matilah aku." Beni menepuk jidat.

"Aku tidak merasakan apa pun. Telah lima menit cairan enak itu di dalam perutku."

Karena kecerobohan Beni, mereka menunggu reaksi apa yang terjadi. Bahkan Lematang pun tidak tahu manfaat atau merugikan bagi tubuh jika masuk ke lambung. Setelah empat jam mereka menunggu tetapi Beni tidak menunjukan gejala keracunan. Lematang belum tenang jika belum mengetahui efek dari cairan tersebut. Lematang membuka komputer yang masih berbentuk tabung, dia mencari informasi tentang cairan tersebut. Setelah menjelajahi internet, Lematang berseru.

"Dugaanku benar."

"Cairan itu adalah cairan sihir, bisa mengendalikan energi untuk melakukan radar, telepati bahkan bisa mencari seseorang tanpa menggunakan GPS."

Saat itu Beni diam-diam menyimpan Gas Urip ke saku. Tetapi dia malah seperti orang pusing, dia akan jatuh. "Pikiranku terbagi-bagi, banyak gambar-gambar aneh di dalam pikiranku," ucap Beni sambil duduk.

"Saigon mungkin telah meminum cairannya, dan yang diminum Beni adalah sisanya. Jika benar, dia tahu jika kita di sini."

"Saigon berada di bebatuan, terdapat dua gundukan seperti kuburan."

"Bagaimana kau tau," kata Mauli heran.

"Itulah benefid dari Cairan Bulor. Efeknya telah terlihat." Lematang melirik wanita yang sempat cemburu padanya.

"Kerinci."

"Apa?" Tiga orang itu berucap bareng.

Ogan | Trah SriwijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang