"Hai!"
Dia sadar, merasa silau atas wujud tersebut.
Lematang memperlihatkan wajah seri, ia tak menduga jika mereka bakal bertemu kembali. Ogan mengurungkan niat. Justru menerima tawaran Lematang untuk makan bakso.
"Di dekat sini terdapat bakso paling enak di Lamus."
"Apakah kau mau menemaniku, jika kau mau biar aku traktir?"
"Tentu, kebetulan aku free."
Lantas Ogan mengikuti Lematang, Berjalan selama 17 menit akhirnya sampai di sebuah restoran besar yang khusus menjual berbagai macam bakso. Mereka masuk lalu duduk di meja bundar nomor 21. Tak berapa lama seorang pelayan wanita muda muncul, ia membawa secarik kertas dan pulpen hitam. "Mbak aku pesan bakso beranak dua dan es teh manis dua!" Lematang memandang ke pelayan.
Delapan menit kemudian, seorang pelayan berbeda muncul. Sebuah nampan mirip kayu dengan mangkuk putih gambar ayam jago, serta dua gelas berisi cairan coklat bercampur benda kristal dibawa. Wajah senang ketika pelayan memindahkan empat benda dari nampan. Ogan telah menggosok tangan, tampaknya telah lapar. Sementara Lematang menghirup uap yang menyebarkan aroma pengundang lapar.
Sementara dari arah jalan Beni tengah berjalan, ia tak sengaja melihat. Beni berhenti, mengamati sebentar, selang beberapa menit kemudian terdengar suara elektronik. Nada dering berbunyi.
Tuuut!
Ponsel Beni bergetar, ia merogoh kantong, meraba-raba area kantong baik depan mau pun di belakang. Sosok pengamat tersebut mengeluarkan ponsel persegi dengan banyak keyboard. Ia buru-buru angkat bicara.
"Halo! Baik, sedang menuju perjalanan, tunggu sebentar!"
Sepertinya Beni sedang mendapat tugas dari pamannya untuk membeli sesuatu. Setelah menutup panggilan suara tersebut Beni bergegas pergi. Sebelum pergi Beni sempat menatap sebentar, raut wajah tampak penyesalan. Beni memasukkan ponsel. Sedangkan ayunan langkah terpaksa dimainkan.
Lain adanya, Ogan dan Lematang menikmati makan yang dijadikan waktu malam. Pendekatan dengan suasana menyenangkan.
"Bagaimana, enak bukan?"
Lematang menatap Ogan sambil tangan memotong bakso yang berukuran besar, terlihat cairan kental merah keluar, bersama itu muncul gelondongan bakso kecil. Ogan hanya mengangguk sambil mengunyah. Sembari asyik menikmati bola daging, beberapa pelanggan bermunculan dan memadati tempat tersebut. Ada yang terlihat satu keluarga datang beramai-ramai, bahkan dua bus juga mampir, selebihnya adalah pasangan anak muda yang tengah kencan.
"Lihatlah! Karena saking enaknya tempat ini ramai pengunjung, Bakso Pak Camat sudah terkenal di kota ini. Padahal baru buka tahun lalu setelah Profesor Garung membuat ulah."
Mendengar penjelasan Lematang, menarik perhatian Ogan untuk bertanya tentang masalah pribadi.
"Kau sudah lama tinggal di kota ini?"
"Aku baru tinggal tiga bulan yang lalu, aku mendengar cerita dari beberapa orang di sekitar sini jadi, aku mengerti sedikit tentang sejarah tempat ini, termasuk Profesor Garung."
"Kau sendiri?"
"Aku baru tinggal selama dua tahun tepat saat Profesor Garung menghancurkan Lamus."
Lantas Lematang terkejut dan berkata, "Oh ya!" Ia menghirup kua bakso dari sendok perlahan-lahan. "Pasti sulit sekali saat menghadapi para monster yang telah mengubah Lamus menjadi kota mati."
"Entahlah, sepertinya aku lupa." Ogan masih memegang kendali sendok dan garpu.
Sekitar satu jam duduk berdua. Ogan dan Lematang harus berpisah karena rumah mereka yang berlawanan. Lematang menyodorkan selembar uang 100 ribu kepada kasir. Setelah itu pamit pulang. Sementara Ogan harus ambil arah kiri menuju rumah yang berjarak dua kilometer.
Di perjalan justru Lematang bertemu dengan Beni. Waktu itu Lematang berjalan lebih dulu sementara Beni berjarak tiga meter di belakang sambil membawa kantong plastik hitam. Beni memberanikan diri untuk menyapa perempuan yang merupakan pertemukan kedua baginya.
"Ehem, permisi! Boleh aku bertanya?"
Lematang menoleh dan menatap heran.
"Boleh."
"Kau mau ke mana? Sebenarnya kita pernah bertemu di toko kerupuk," ungkap Beni.
"Oh iya, aku lupa soal itu, maaf jika aku tidak mengingat wajahmu." Lematang berjalan pelan sedangkan Beni berada di samping kanan. "Aku tadi melihatmu sedang makan bersama Ogan."
Lematang terkejut dengan ucapan Beni. "Hah! Bagaimana kau tau?" Beni tidak langsung menjawab, justru ia sempat senyum sebentar. "Ogan adalah temanku, kita pernah bertempur bersama melawan Profesor Garung."
"Jadi, kalian adalah pahlawan yang berhasil menyelamatkan Lamus?" Lematang maju beberapa langkah lalu menghadang Beni, perempuan itu senyum sambil mengacungkan jempol. Sedangkan Beni tergemap, nyaris tidak dipercaya oleh Beni. Sedikit gagap, tetapi tak terlihat oleh Lematang.
"Kau keren banget."
"Ya begitulah, Ogan punya Akuadron, ia mampu membuat pasukan Bodem hancur berantakan. Dia adalah seorang prajurit dari Kerajaan Sriwijaya terakhir," ungkap Beni.
"Apa?"
"Dia adalah prajurit Sriwijaya?" Wajah aneh muncul, kagum iya. Informasi penting didapat, tujuannya selama ini mendekati finish.
Lematang diam sejenak, ia berpikir bisa mencari informasi tentang keturunan Sriwijaya yang masih tersisa. Beni menatap Lematang yang tiba-tiba diam. "Hai, kau tak apa-apa?" Sontak Lematang sadar.
"Ti-tidak masalah, aku hanya heran berarti pria itu sudah tua sekali?"
"Benar."
"Oh ya aku Beni." Beni mengulurkan tangan.
"Aku Cika," balas Lematang menyambut.
Dua tangan berjabat tangan, sang pria penuh bunga, sedangkan wanita itu terlihat biasa. Namun, itu tak penting, setidaknya Beni tahu nama wanita tersebut. Lama jua mereka saling menyambungkan lengan, sadar dan akhirnya pusang, saling menunjukkan tingkah aneh. "Maaf," tutur Beni seraya garuk-garuk lengan. "Iya," balas Lematang dengan menatap bumi, tampaknya tanah lebih menarik dari tampang Beni.
Setelah itu, mereka kembali berjalan beriringan, usai bertemu pertigaan Beni harus berpisah dengan Lematang karena rumah mereka tak searah.
"Maaf aku harus ke kiri, rumahku 400 meter dari pertigaan ini."
Mereka berdiri di pinggir jalan, tepat sekelompok pengendara berhenti, di atas terdapat lampu merah menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Fiksi SejarahSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...