Evolus itu telah berada di titik terakhir. Saigon sang pengendali bau, seorang anak yang berbakti pada orang tua. Sejak kecil ia bersama Lematang menjadi anak manja. Kedekatan Saigon dengan orang tuanya menjadi makhluk itu enggan kehilangan mereka setelah seorang makhluk tak dikenal muncul lalu membantai orang tuanya kala itu.
"Ayah, Ibu, aku akan membuka portal kematian. Kalian akan hidup kembali."
"Kau adalah orang baik, relakan mereka tenang di alam sana, itu sudah takdir." Muncul seseorang.
Saigon pelik, dia melirik ke belakang ketika hendak bekerja. Lelaki itu adalah Idaba, teman dekatnya.
"Sejak kematian orang tuaku, aku tau bahwa di dunia ini hanya sementara sedangkan kematian adalah perjalanan."
"Cukup Idaba! Kau tidak mengerti menjadi aku."
Saigon balik arah, matanya berkaca-kaca, dia menatap dua gundukan tanah, terlihat mereka berada di puncak Gunung Bitang. Sedangkan Idaba menaruh kedua tangan di belakang. Idaba tau betul, Saigon sebagai anak pertama memiliki sifat keras kepala, egois dan kali ini dia ingin Lematang membantunya apa pun resikonya. Sejak awal Lematang tidak mau, karena dia merasa itu adalah tindakan konyol dan bisa membuat bencana di wilayah Bitang, tempat di mana mereka tinggal.
"Aku, Lematang hidup bahagia bersama kedua orang tuaku hingga aku dewasa. Gara-gara mereka merenggut orang tuaku, merebut kebahagiaan, tidak ada lag sinar kebahagiaan."
"Pikiranmu telah kotor, kau telah pergi ke semesta lain hanya kekonyolan ini. Mereka telah tewas, itu sudah takdir karena sudah saatnya mereka pergi," ungkap Idaba.
"Konyol? Kau pikir ini konyol? Idaba kau tidak paham menjadi posisiku, sejak belia mendapat kasih sayang, itu sulit bagiku." Saigon menatap Idaba sembari menunjuk dirinya.
"Jangan lakukan itu!"
Sejak ada rencana itu, Idaba memang tidak setuju karena kematian adalah hal lumrah baginya tetapi tidak bagi Saigon. Telah puluhan kali Idaba memperingati Saigon bahwa tindakan itu tidak benar, namun Saigon tak perduli. Dia hanya ingin ayah dan ibunya kembali seperti sedia kala, Lelaki berkepala pelontos itu belum siap kepergian sang orang tua, beginilah jadinya.
Saigon memanipulasi oksigen di sekitar Idaba menjadi bau bangkai. Saigon muak, dia membunuh sahabatnya meski niatnya baik. Saigon telah buta, dia puas melihat melihat tubuh Idaba tegang, seluruh tubuhnya memerah. Mulutnya muntah, semua isi perut keluar tanpa sisa. Aroma tak sedap memaksakan orang itu mengeluarkan semua isi perut hingga terkuras. Bahkan bui putih keluar, Idaba kejang-kejang dan tak lama mati. Dari hidung dan mata keluar cairan bening membasahi wajah pucat.
"Kematian adalah perjalanan, semoga kau bertemu dengan orang tuaku, kawan."
***
Empat orang itu melakukan perjalanan cukup jauh untuk bisa mencapai Gunung Bitang. Kuburan itu terletak di puncak hingga mereka telah sampai di lembah. Mereka berdiri saling pandang, Lematang tengah mengatur nafas sebelum dia berucap. Dia akan mengatakan sesuatu, tetapi terhalang detak jantung yang bergerak tidak normal.
"Dia ada di atas sana, terdapat mayat tergeletak," ungkap kekasih Lematang.
"Panggil aku Kerinci, cairan itu telah mengubahku," sambung pria yang bermula bernama Beni tersebut.
"Kau sekarang aneh. Huh, tampaknya dia telah membunuh seseorang," celoteh Lematang.
Ogan mencari tumpuan batu, dia melompat lalu menatap ke atas, penuh pohon seperti pohon pinus tetapi daunnya berwarna merah bata. "Kita harus terbang ke sana." Ogan melirik Mauli, dia tebar pesona dengan menyisir rambut sambil senyum, semanis gula-gula. Mauli maju, sejajar di atas batu yang sama. "Kau selalu bisa," ungkap Mauli senang. Hanya saja Kerinci tak bisa seperti Ogan dan lematang otomatis dia menumpang.
"Kau harus menggendongku!" Kerinci menoleh setelah sepasang kekasih itu mengudara dengan cepat.
"Manja sekali, tidak malu minta gendong dengan seorang perempuan," Lematang menggoda.
"Begitu saja terus," gerutu Kerinci.
Lematang merentangkan kedua tangan, elemennya mengeliling tubuh Lematang dan Kerinci. Secara bersamaan mereka pun menyusul Ogan dan Mauli. Setelah di udara, Ogan memperlambat lalu ucapkan kata-kata. "Pemandu lebih dulu." Lematang hanya menoleh, rambutnya berkibar, walau tak selebar bendera. Dua orang itu bergerak lebih cepat, sedangkan Mauli melekat erat di pelukan Ogan.
"Hangat sekali badanmu."
"Kau pikir aku mayat yang terasa dingin."
"Bukan begitu. Detak jantungmu pasti berdenyut lebih kencang, berdebar-debar."
"Kau harusnya tau, tidak perlu ditanya lagi. Aku bisa naik pitam jika kau mau meniduri bidadari itu."
Kalimat untuk menutup mulut Ogan. Dia ungkit lagi, Ogan tak berucap setelah kalimat skakmat. Wanita tersebut belum bisa tenang, apalagi Ogan kerap dekat dengan seorang wanita. Adegan intim bersama Lematang dulu masih mengakar di otak Mauli, hingga sulit dilupakan meski kebenaran terungkap.
"Setelah berciuman dengan Lematang, habis itu hendak meniduri Wadari, usai itu siapa lagi?"
Kalimat Mauli tak direspon lagi, Mauli terus bercuit masih ingin memarahi sang kekasih. Ogan resah, melihat mengoceh seperti anak burung kelaparan. "Tidak ada, itu semua sudah terungkap bukan? Mana mungkin aku berpaling, Mauli," ucap Ogan menanggapi kalimat tamparan tersebut.
Melihat dua rekannya terbang lebih rendah, Ogan pun ikut. Mereka sampai di puncak, penuh bebatuan dan pohon-pohon merah bata, unik dan menarik. Melewati awan putih serta sedikit mempengaruhi penglihatan. Meski terlihat anteng, Kerinci bisa mendengar percakapan Ogan dan Mauli. Padahal jarak dan area yang cukup berisik mempengaruhi pendengaran kecuali bagi Kerinci.
"Mereka sedang berkelahi."
"Kau tidak boleh menguping, itu tidak baik. Ingat setelah ini kau harus mengajakku jalan-jalan. Aku tidak ingin selalu berkelahi sedangkan untuk bermesraan pun tak bisa," jelas Lematang.
Kurang fokus atau kurang minum?
Tiba-tiba Kerinci hilang keseimbangan, padahal sedikit lagi hendak mendarat. Kerinci mendarat lebih dulu, dia lepas kendali dan tak bisa dijangkau oleh Lematang. Tubuhnya jatuh meluncur ke bawah, Lematang menukik berusaha meraih kekasihnya.
Bug!
Kerinci seperti durian jatuh. Hal tersebut membuat Saigon ganjil, padahal Portal Kematian telah terbuka. Meski begitu, Kerinci masih bisa bangun dengan rambut acak-acakan.
"Gawat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Historical FictionSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...