Hari Kiamat akan Datang

1 0 0
                                    

Grrr!

Beberapa unu merasa terancam. Dia melihat Ogan seperti mangsa. Semakin lama jumlah mereka semakin banyak, Ogan mundur seraya bersiap baku hantam. Salah satunya menerkam, Ogan menyambut, dia mengincar kepala lalu melambung melewatinya. Dari atas dia menancapkan tongkatnya ke bawah, tepat mengenai leher lawan. Dia mendarat kemudian memukul unu tersebut satu-satu. Puluhan unu terpental melibas semua pohon di sekitar. Dari belakang Ogan hendak ditelan, kedua tangannya menahan mulut unu selebar-lebarnya.

Akuadron melesat lalu membuat unu itu pingsan. Dia berhenti setelah kepalanya membentur batu besar. Lematang tak tinggal diam, wanita itu lalu menyebarkan metana, bagaikan tornado hingga tiga unu melayang jauh. Nafas tak beraturan, seperti habis angkat besi, Lematang senyum puas.

"O o!"

Ogan takjub, ratusan unu malah datang. Dia membantai satu per satu. Lematang pun memasukan gas ke salah satu tubuh unu hingga tewas. Gas kemudian menarik yang lain, kemudian dilempar jauh-jauh. Seketika itu Lematang buka mulut. "Apakah kau membawa penekil? Lematang menyeka keringat. Ogan malah bengong, makhluk tersebut tak mengerti bahasa itu.

"Apa itu?"

"Mancis, mancik, penekil, koset, atau korek," ucap Lematang seraya mengayunkan tangan ke samping.

"Kau pikir aku merokok?"

Pertanyaan yang tidak saling sambung justru membuat Lematang kesal. "Huh, orang tak merokok juga harus punya korek, tidak harus merokok untuk memiliki korek." Mereka saling menghimpitkan punggung, jumlah unu semakin banyak.

"Keluarkan saja semua metanamu agar mereka susah bernafas."

Lematang mengeluarkan kedua tangan, dari tangan muncul aliran gas besar. Teriakan Lematang amat keras, bukan sekeras batu. Saking besarnya energi yang dikeluarkan malah membuat Lematang pingsan, dia ambruk seketika. Hal itu membuat Ogan harus menyerah. "Lematang bagun!" ogan memangku wanita tersebut. Keadaan terjepit, dia melempar tongkatnya, benda itu berputar kencang mengeliling mereka untuk melindungi dari bangasa unu.

Satu-satu mahkluk itu pun terbentur oleh Akuadron, tubuh-tubuh keras itu terpental ke belakang, tetapi jumlah mereka semakin memadati area tersebut. Sedangkan beberapa kali Ogan menepuk pipi rekannya tetapi tak bergerak. Ogan harus pergi, dia melambung tinggi meninggalkan area pertempuran, disusul dengan Akuadron. Hanya terlihat para unu yang melongo melihat mangsanya kabur.

Terdengar suara gedor-gedor dari luar. Saat itu Iwan, Beni, Indri dan Sangkut masih di situ.

Dok-dok!

Sangkut berdiri, dia segera membuka pintu. "Apa yang terjadi?" Sangkut membuka pintu lebar-lebar. Terlihat Ogan segera menggendong Lematang ke ranjang. Sontak seisi ruangan bingung, Lematang tak sadar diri, sedangkan sang kekasih panik pula. "Lematang kenapa?" Beni menyambutnya, dia membetulkan pakaian Lematang yang kacau.

"Kami baru saja menemukan sarang unu, mereka berjumlah banyak, ribuan, Lematang mengeluarkan banyak energi untuk menghalau mereka."

Sang dokter pun langsung memeriksa kondisi Lematang. Iwan mengeluarkan stetostop, tak berapa lama mengeluarkan senter kecil. Sedangkan Ogan terlihat tak tenang, di hadapan Sangkut dan Indri. Iwan muncul dari kamar. "Dia baik-baik saja, sebentar lagi pasti siuman." Aura lega terpancar dari manusia-manusia itu. Hanya saja Beni belum mengerti apa yang terjadi.

"Ada apa sebenarnya ini?" Beni merapat.

"Kita harus mencari cara bagaimana menghentikan mereka, unu, Saigon. Mereka berbahaya, kita harus menghentikan mereka." Ogan terlihat geram.

"Aku melihat dengan mataku bahwa bangsa unu telah berkembang biak hanya waktu hitungan menit. Sekali melahirkan mereka bisa menghasilkan puluhan anak. Ini gila Ben, kita harus hentikan mereka."

"Ya ampun."

"Kiamatmu, kiamat besar akan datang." Indri dan Sangkut shock.

"Kau tenang dulu! Kau tidak sendirian, kita akan menemukan cara tersebut."

"Hei, bisakah kalian lebih tenang. Kalian pikir aku tidak gila dengan situasi ini. Kita pikirkan pelan-pelan, jika takdir berhendak pasti ada jalan keluarnya," kata Iwan marah.

Sontak sunyi, tak ada sepatah pun kalimat yang keluar, hanya wajah-wajah lesu muncul. Sangkut dan Indri saling berpegangan tangan. Lelaki itu pun berucap. "Jika unu membunuh kita semoga kita bertemu di surga." Indri menatap sekilas. Dia malah menatap tangannya yang digenggam Sangkut. "Aku tidak berpikir apa-apa, aku hanya lapar."

"Selama ini aku baru tau jika bos kita adalah seorang kesatria," lanjut Indri bersuara pelan.

"Apa bedanya dengan pahlawan?" Sangkut berlagak pintar.

"Aku tidak tau."

Ocehan mereka hanya diperhatikan Ogan. Dia duduk lalu memegang kepala, dia frustasi, jiwa seorang prajuritnya meronta-ronta, dia tak sanggup jika seandainya negerinya benar-benar hancur oleh makhluk yang dikirim oleh Saigon. Ketika sedang kacau, sang kekasih justru tak terlihat. Dia mencari di ruangan tersebut tetapi tak berhasil.

"Ke mana Mauli?"

"Hah!"

Tak ada yang sadar jika wanita itu telah hilang. Sangkut dan Indri saling tatap. "Kau melihatnya?" Indri melirik Sangkut, pria itu hanya geleng-geleng.

"Kenapa tidak ada satu pun yang tau Mauli?"

Ogan menatap mereka satu-satu, emosi tengah naik, wajah geram diperlihatkan, hal tersebut lantaran dia khawatir. Tak ingin kehilangan orang-orang di sekitarnya. Hanya bisu, tak ada yang bisa menjawab. Lalu ke mana perginya Mauli? Apakah diculik Saigon?

Ogan | Trah SriwijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang