Kekasihku yang Menyebalkan

1 0 0
                                    

Suasana telah tenang, dengan gagah sang prajurit menghampiri Mauli. Bukannya disambut romantis, kekasihnya acuh tak acuh. Dia melangkah dengan kesal, mungkin dia masih marah. Hanya tatapan konyol, dia melirik orang-orang di sekitarnya dengan perasaan malu.

"Pukulanmu sangat luar biasa." Beni datang bersama Lematang.

"Maaf aku terlambat."

"Hem. Sepertinya kalian butuh waktu luang untuk bicara. Mungkin dia marah padamu."

"Iya, aku pun berpikir demikian, aku tak cukup baik memahami seorang wanita. Hubungan kami memang sedikit rumit."

Saat itu Bram mendekat.

"Lamus selalu butuh pahlawan."

"Kau adalah pahlawan, Bram. Lamus adalah kotamu, seharusnya kau berada di garis depan. Dua tahun lalu kau juga cukup berani melawan pasukan besi dengan kekuatan sihir." Kalimat itu tak terbalas, Ogan pergi disusul dua orang rekannya.

***

Langkah kakinya pelan. Dia menuju tempat di mana dia telah mengeluarkan bangsa unu. Saigon berjalan seorang diri. Kenapa dia kembali? Tentu saja karena pekerjaannya belum selesai. Dia harus mengumpulkan semua energi dari alam bangsa unu untuk membuka portal kematian.

"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, aku telah jauh melangkah dari Bit ke Bima Sakti. Tidak mungkin aku menyerah begitu saja."

Saigon kembali membuka portal dan mengisi energi. Karena ulah Ogan dan rekan-rekannya, Saigon gagal tempo hari, kali ini ia berharap bisa mengumpulkan energi secara penuh. Cara ini agar dia bisa membuka portal kematian, usai itu dia akan kembali ke semesta asalnya.

Cahaya langka menuju langit, Saigon berhasil membuka portal bangsa unu. Energi tersebut dapat diserap oleh tubuhnya, tetapi satu-satu para unu bermunculan lalu berkeliaran. Tindakan Saigon hoki, karena tidak ketahuan oleh para penjaga Lamus. Hanya energi di alam tersebut yang bisa digunakan untuk membuka portal kematian. Setelah berjalan selama kurang lebih 10 menit, Saigon berhenti.

Sejumlah unu telah kabur, mencari mangsa di Lamus, sementara Saigon mendapatkan kekuatan.

"Aku tak rela jika ibu dan ayahku mati sia-sia, kalian tidak bersalah, makanya harus kembali."

Saigon menatap langit, dia merentangkan kedua tangan, mulutnya melebar, tanda bahagia darinya.

***

Mauli ke belakang. Habis itu membuka kran air, lantas membasuh muka. Wajah kesal masih nampak, bekas air di wajah masih segar. Matanya menatap cermin, nafasnya tak teratur, usai kemunculan Lematang, Mauli belum bisa tenang. Lematang telah berusaha menjelaskan, bahkan dia telah menjalin hubungan dengan Beni, tetapi belum terucap kata maaf yang bisa memuaskan hati Mauli.

Dari belakang Ogan datang. Mauli mengambil handuk lalu mengelap wajah, sementara Ogan dianggurkan. "Mauli, bisakah kita bicara, kau selalu dingin ada apa sebenarnya?" Ogan meninggalkan Akuadron di ruang depan. "Ada apa? Kau pikir enak jadi wanita, jika tak tau kesalahanmu lebih baik kau pergi." Mauli bergerak menuju lemari es.

Suara segar melepas dahaga. Glek-glek! Ogan hanya menelan ludah seraya berharap Mauli mau mendengarkan kalimatnya. "Mauli, jika kau tak menyebutkan apa kesalahanku maka aku pun bingung aku tak tau." Ogan membuka tangan. Alisnya ke atas, dia menatap Mauli berlagak seperti orang asing. "Dasar lelaki, semua laki-laki brengsek," ucapnya kesal.

"Jadi, aku dan Bapak Presiden brengsek?"

"Bukan. Laki-laki yang aku temui," jawab Mauli seraya memasukan botol minuman ke kulkas.

"Jadi, aku dan ayahmu sama, sama-sama brengsek?"

"Bukan anggota keluarga aku. Pokoknya lelaki yang belum menikah."

"Jadi, aku dan Beni brengsek?"

"Bukan juga. Ih, dasar kau ya. Gak peka sama sekali, sangat menyebalkan sekali." Lantas Mauli malah keluar rumah.

Hanya ekspresi bingung, garuk-garuk, Ogan tak paham dengan kelakukan wanita modern. Berbeda dengan wanita pada masa dulu, tak ada drama apalagi masalah kecil yang dibesar-besarkan.

"Jika aku hidup di zamanku mungkin tidak seperti ini," keluh Ogan.

Dia duduk di meja, Akuadron mendekat. Di luar Ogan merasakan ada sesuatu, matanya melirik. Ogan melihat Iwan berdiri dengan hewan peliharaannya.

"Sejak kapan kau di situ?"

"Sejak kalian bertengkar," jawab Iwan. Tangannya mengelus kepala Dogi, Jalu pun di samping.

"Maaf jika aku ikut campur urusanmu, kawan. Tetapi wanita sekarang memang hampir begitu. Hanya saja itu tak lain karena dia terlalu sayang padamu, Ogan." Iwan masuk bersama dua hewannya. Mereka disambut oleh Akuadron. Dogi dan Jalu malah bermain dengan Akuadron, benda itu melayang-layang sedangkan Dogi memainkan ekor seraya kaki depan berusaha meraih benda tersebut. Jalu pun terlihat mematuk-matuk sambil mengejarnya.

"Mauli sejak dulu belum pernah memiliki kekasih, mungkin saja dia terlalu protektif."

"Aku hanya tidak bisa memahani pola pikir wanita itu. Seandainya dia mau bicara yang sebenarnya, apa maunya aku pun siap mendengarkannya. Huh, sepertinya aku harus banyak belajar di masa ini, Iwan."

"Itu benar. Setidaknya kau rendahkaan egomu. Wanita itu selalu ingin dirinya disayang karena mereka adalah makhluk tuhan yang istimewa," tambah Iwan.

Ogan tak membalas lagi, matanya memperhatikan dua hewan yang sedang bermain dengan pusakanya. Akuadron berputar-putar, kadang-kadang naik turun hingga menjadi pusat perhatian kedua binatang milik Iwan. Sesekali wajah Ogan berseri, hanya itu pemandangan unik yang menjadi hiburan.

Ogan | Trah SriwijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang