Sementara Iwan makan di meja, di depannya tersedia seonggok nasi, sepiring sayur kangkung, semangkuk kecil sambal tempoyak dan empat potong ayam goreng. Iwan tengah masih mengisi lambung, terlihat isi piringnya masih penuh, salain sayur kangkung, tempoyak dan ayam goreng, terdapat empat buah jengkol muda sebagai lalap.
Kreeek!
Suara pintu terbuka, Beni masuk sambil meletakkan kerupuk di depan Iwan.
"Kenapa wajahmu?"
Iwan membuka bungkus kerupuk tersebut lalu mengambil satu. Mulutnya terus mengunyah seraya berkata, "Kau baru bertemu siapa?" Kalimat tembakan seolah sang paman melihat pertemuan Beni dengan Lematang.
"Tidak ada, aku hanya bertemu seorang perempuan," jawabnya ragu-ragu, wajahnya khawatir.
"Perempuan?"
Iwan melotot, "Angin apa yang membawamu pada perempuan itu?" Saking kagetnya isi di mulutnya keluar, bercampurlah air liur Iwan dengan tumpukan nasi yang masih segar. Melihat itu Beni sedikit menggerakkan mulut layaknya mengunyah, wajahnya meliuk-liuk jijik, berbeda dengan Iwan, dia justru biasa saja, nasi yang tumpah tadi diberikan pada hewan peliharaannya.
"Entahlah, tapi aku bertemu dengan wanita yang tampak jelita barusan, ia juga pelanggan Nenek Sowah." Beni mengeruk nasi.
"Jika kau bertemu dengan wanita itu lagi, kau harus dekati dia!" Iwan mengeruk nasi dari bakul, hanya dipandang heran oleh Beni. Memang masih lapar rupanya. Usai mengisi sayur dan lauk, Iwan ke belakang lalu meletakkan dua jengkol muda. Pria ini suka sekali jengkol, jika masih muda dijadikan lalap, tetapi jika sudah tua bisa dijadikan semur, rendang, rica-rica atau bisa juga disambal pedas manis. Berbeda dengan Beni, dia lebih suka kemplang hal yang berbau malahan tak mau menyentuhnya, padahal dia asli orang Lamus.
Selang dua menit, terdengar bunyi bel.
Tungting! "Siapa itu?" Iwan menaikan alis, dia berhenti saat mulutnya hamil makanan. "Biar aku periksa." Beni meletakkan sendok.
Beni membuka pintu, terlihat Ogan dan Mauli tengah berdiri. Ini adalah kunjungan pertama setelah Iwan membuka praktek di rumah. Telah tiga bulan mereka tak jumpa, kini pertemuan para pejuang Lamus diukir oleh sejarah. Hal ini juga karena Iwan dan Beni juga baru membeli rumah, sehingga kunjungan dadakan itu adalah kejutan.
"Hei, wah-wah kok bisa di sini?"
"Ogan ingin melihat tempat praktek Iwan makanya aku ajak ke mari," ungkap Mauli.
"Ya sudah, mari masuk!"
"Hoho, siapa yang datang? Seorang prajurit terakhir Sriwijaya." Iwan berdiri.
"Ayo kita makan bersama!" Beni melanjutkan mengambil nasi.
"Tidak! Terima kasih." Ogan melebarkan senyum. "Kami baru saja makan di alun-alun kok." Mauli berjalan mendekati lemari yang bersisi puluan buku. Tiba-tiba Ogan mengambil sepotong daging ayam.
"Tapi, ayam goreng masih bisa diatasi."
Iwan dan Beni hanya senyum, tak lama ia mengikuti Mauli yang tengah melihat wajah ruangan tersebut. Mauli berhenti mendengar suara berisik Ogan mengunyah. "Tidak, terima kasih." Mauli memainkan mulut. Seolaj dia tau jika Ogan menawarinya ayam goreng, padahal Ogan tidak bermaksud demikian. Ogan hanya senyum sedangkan mulutnya terus mengenyam. "Ini buku tentang apa? Banyak sekali." Mauli mengarahkan wajah ke Iwan. "Itu buku kedokteran." balas Iwan singkat.
"Dulu aku hobi sekali membaca buku, sampai-sampai aku mengambil dari kotak sampah. Ada sekitar 10 buah aku ambil, kemudian aku simpan hingga sekarang."
Ketika mereka sedang asyik berbincang, Ogan melihat sesuatu yang menarik perhatian, seekor ayam jantan sedang duduk berdampingan dengan anjing. Peliharaan Iwan telah tumbuh besar, jinak serta penurut.
"Apakah kau pawang ayam?"
"Apa maksudmu?" Iwan tak paham maksud si tubuh besar.
"Aku melihat seekor ayam bisa akur dengan anjing." Ogan menunjuk seekor anjing sedang duduk di samping ayam jantan. Dia mendekati, lantas dua hewan itu terusik, bangkit sambil menatap sang manusia pendatang tersebut. Si ayam mengeluarkan suara kasnya tetapi bukan berkokok, sedangkan si anjing menggoyangkan ekor.
"Hewan itu, telah bersamaku sejak kita melawan Profesor Garung dua tahun lalu. Waktu kita bertualang aku tinggalkan Dogi di rumah, dia malah berteman dengan Jalu. Aku pikir Jalu adalah ayam tetangga ternyata dia adalah ayam hutan. Aku tak tau bagaimana mereka bisa bertemu waktu itu."
"Kau beri nama ayam ini Jalu? Tapi aku suka cara mereka berteman." Ogan mengelus kepala Dogi.
Ogan jongkok sembari mengeluarkan aura senang. Dogi malah tak berhenti bergerak, dia jalan-jalan mengelilingi tubuh Ogan seperti telah akur. Berbeda dengan Jalu, dia hanya menolehkan kepala, ke kanan dan ke kiri, seperti ayam pikun.
"Di harus punya nama agar aku mudah memanggilnya." Iwan bangga dengan dua peliharaannya.
Ogan bersikap aneh, pikiran iseng muncul. Melihat si ayam hanya larak-lirik, dia membuang sisa ayam goreng di depan ayam. melihat makanan, Jalu langsung mematuknya.
"Ayam makan ayam!" Ogan heran.
Si Dogi merebut, anjing tersebut tak mau kalah dengan Jalu. Mereka malah berebut, hanya tinggal tulang dan sedikit dagingnya. Jalu mendapatkan dagingnya sementara Dogi membawa lari tulangnya. "Haha...!" Ogan terhibur. Dogi menggigit tiga meter dari Jalu. sedangkan si ayam telah menelan semua daging.
"Lihat pak tua itu, ia tertarik dengan Dogi dan Jalu." Iwan girang.
"Dia memang menyukai banyak hal," tutur Beni.
Mauli justru membuka lemari lalu mengambil buku tebal warna hijau. Mauli duduk di samping Beni sambil fokus memperhatikan barisan tulisan di kertas putih. Ogan berdiri lantas menghampiri. Ia berdiri sedangkan tangan kanannya menyentuh pundak Mauli. "Aku hanya iseng!" ungkap Mauli tiba-tiba.
"Iya itu, salah satu buku yang aku pungut dari kotak sampah karya Adam Hames tentang kesehatan kulit." Iwan menunjuk buku yang dipegang oleh Mauli.
"Benarkah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Fiksi SejarahSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...