Langit seperti mendung, suasana semakin mencekam. Hari kiamat sepertinya telah tiba, kali ini dalam jumlah yang besar, bangsa unu keluar dari sarang. Terlihat seperti asap tebal menyapu hutan-hutan dan membersihkan perumahan. Itu bukan asap tebal melainkan unu yang bergerompol, mereka siap menebar ancaman. Para pahlawan berkumpul di lembah, menyaksikan makhluk pencabut nyawa mendekat. Wajah ketar-ketir tiba, ucapan Lematang fakta, mereka semakin banyak dan kini tampak akan perang dunia.
"Mereka terlalu banyak," ucap Beni.
"Berapa pun itu aku tidak akan enyah dari sini," sambung Ogan.
Beni telah siap dengan senjata, sementara Iwan, dia lebih dulu menyembunyikan dua hewan miliknya. Dia lebih sayang mereka dibanding nyawanya, lelaki itu pun memamerkan senjata yang bisa membutakan para unu. Lematang telah memutuskan untuk mengumpulkan semua gas, dia mengeluarkan aliran angin dari telapak tangan. Mauli pun dengan kemampuan barunya, menunjukkan dua jari, siap menusup para lawan dengan sinar berbahaya.
"Aku tak mau kalah dengan makhluk itu."
Ogan lantas membuat para rekannya melongo, sekuat tenaga dia berlari kemudian mengambil tumpuan, melompat tinggi dengan mengayunkan pusaka, Akuadron. Mereka hanya saling tatap, Seperti kemampuan semestinya, Ogan mengeluarkan kemampuan terbaik, lelaki ini punya rencana dadakan, sepintas dia ingin menghancurkan bukit yang ada di depan. Tempat para unu sedang turun ke lembah.
Entah berapa skala richter yang dihasilkan, pukulan yang membentur bebatuan tersebut menghasilkan getaran hebat. Hanya sekali pukul, Ogan mampu membela gundukan besar itu. Kumpulan unu tersebut kacau, mereka mendapatkan serangan ampuh hingga membagi koloni. Seperti gempa bumi, tanah, pohon, dan batu naik ke udara. Debu-debu halus menghalangi jarak pandang.
Mereka berusaha melindungi kepala dari benda-benda tak beraturan. "Gila, apa yang sedang dia lakukan?" Iwan memberi payung mukanya dengan telapak tangan. "Pria besar itu selalu begitu," sambung Beni seraya menunduk.
Bagaikan dilempari batu oleh para demonstran, mereka berlindung lalu berkelompok, sedangkan Ogan menunggu hasil kerjanya. Dengan wajah senang dia percaya diri, dia berpikir bahwa para unu musnah. Setelah melihat ledakan yang besar barusan, Ogan mengira bahwa hanya sekali menghancurkan bukit tersebut bisa mengirim kumpulan unu ke alam baka, itu pikiran salah. "Jika pukulan sebesar itu tidak mempan, apa artinya pukulan dari seorang manusia seperti aku." Iwan sedikit gemetar, makhluk itu lebih menakutkan dari Bodem.
Gerakan para unu berlanjut, kini mereka akan dihentikan. Ogan yang tak percaya pukulan tidak berarti geram. Satu kepala makhluk itu pecah, tetapi bagian kaki bergerak. Tubuhnya berusaha bangkit tetapi tak mampu. Seperti kepalanya tersangkut ke bumi, dia kesulitan berdiri. Krak! Ogan mengakhiri derita unu tersebut. Sang jawara itu menatap sekelilingya, para unu menyebar luas, sebagian telah sampai di pemukiman.
"Jangan biarkan mereka ke desa apalagi ke kota!" Lematang mendorong tangan ke depan.
Aliran gas muncul, terhirup oleh sejumlah unu, setidaknya ada 12 ekor yang memburu, perempuan tersebut, secantik jelita tetapi cukup merepotkan para lelaki jika kemampuannya dikeluarkan. Lantas mereka kesulitan bernafas, kaki depan mengelap muka seraya mundur-mundur. Beni tampil, dia melempar benda yang bisa mengeluarkan api besar.
Kobaran api menyala, si raja merah itu merayap hingga lebih dari 12 ekor unu kelojotan. Api masuk kedalam tubuh hingga dipastikan mereka api tak berarti lagi.
"Itulah yang aku butuhkan," Lematang berseri. Dia didatangi sang kekasih.
"Jika perang ini usai, aku akan mengajakmu di tempat yang indah."
"Memangnya kau hendak mengajak aku ke mana?"
"Di suatu tempat, bisa dikatakan surga dunia," pungkas Beni. Dia memegang kedua tangan sang pujaan.
Seperti telah hilang logikanya, di tengah peperangan, perang makhluk menakutkan, mereka malah bermesraan, gila bukan? Hal wajar karena mereka baru saja memulai hubungan, masih senang-senangnya hingga lupa diri. Keduanya hendak bercumbu, bagaikan telaga madu, bibir Lematang menarik untuk dicoba. "Awas!" Iwan berteriak. Dia mengincar mata kanan unu, pelurunya bersarang di mata, hewan itu tak bergerak, hanya nafas akan mati terdengar. Kedua pasangan itu takjub, Lematang menutup mulut, canggung di depan binatang.
"Begitu saja terus maka akan mati kalian. Dasar manusia jika sudah cinta tahi ayam pun terasa pahit," Iwan seperti orang bingung.
"Aku pernah makan, jadi tahu rasanya," tutup Iwan seraya pergi.
Dua orang itu sadar, mereka buru-buru bersiaga lagi, bukan tempat senang-senang melainkan mempertaruhkan nyawa demi negara.
"Kita harus membereskan yang lainnya," kata Beni. Lematang mengangguk, lantas berpencar.
Beni membuang peluru-peluru besar, sedangkan Lematang menyebarkan metana dan memaksakan untuk dihirup oleh musuh. Sejumlah unu berkurang, tetapi semakin banyak pula yang datang dari sarang. Lematang melompat ketika seekor unu menghadang, dia terbang dengan dorongan gas dari tangan, kemudian mengincar yang lainya. Seketika itu mereka terjebak, sulit bernafas dan bingung. Lematang mendarat dengan berguling tiga kali.
"Beni, sekarang!"
Beni melempar benda hitam, ledakan yang menghasilkan percikan api, membesar dan menjalar mengikuti bahan bakar. Seperti kilat, hitungan detik para predator itu ambruk. Lematang pelan-pelan berdiri, matanya melirik Beni yang jaraknya 25 m. Lalu dia mencari lawan lagi, secara bergantian Lematang melempar para unu dengan eleman yang dia kendalikan. Tak seperti sebelumnya, kini Lematang tampil lebih gesit dan mengerti cara mengatasi musuh.
Bahkan Beni sama. Dia berlari kencang hendak adu hantam dengan unu. Ketika mulut unu menganga, Beni berkelit dengan menjatuhkan diri, dia berlari di kolong unu menuju ekor. Mata unu melihat ke kolong, Beni malah menyumpal mulut unu dengan peluru sebesar baterai. Binatang tersebut melesat ke depan sedangkan Beni mental ke belakang.
Bruk!
Beni berhenti, tubuhnya penuh dengan tanah, sementara dia melihat Mauli tengah menghajar unu dengan kilatan cahaya lewat tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Fiksi SejarahSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...