3. Kantin

1.1K 28 0
                                    

Nora menatap kagum tanaman menjalar hingga menutupi seluruh siswa dari panas matahari. Biasanya sekolah memiliki lapangan yang sangat panas saat hari senin. Tapi beda dengan sekolah di sini, bukan hanya guru yang berteduh tapi siswa juga.

Kalau begitu, di suruh hormat sampai pulang nggak bakalan pingsan.

Upacara berakhir dalam waktu kurang lebih empat puluh menit. Semua siswa kembali ke kelas dan menunggu jam ke dua di mulai. Biasanya sambil menunggu beberapa anak lari ke kantin.

"Rum, biasanya di sini harga jajan paling minim berapa? Gue lupa," tanya Nora menatap Arumi, teman yang tadi memanggilnya.

"10 ribu ke atas sih kalau makanan berat. Tapi kalau ciki-ciki an cuma lima ribuan. Lo mau kantin nggak?" tanya Arumi. Menatap sekilas Nora.

"Mau, anterin ya. Nanti gue traktir deh," ajak Nora mengambil uang lima puluh ribu lalu di layangkan ke atas. "Oke, tapi bentar gue masukin buku dan polpen. Takut ilang."

Nora dan Arumi pergi ke kantin dengan canda tawa mengisi perjalanan mereka. Tidak sesikit yang menatap mereka dengan heran, apalagi Nora. Nora adalah gadis populer di sekolah ini.

Dia di juluki sebagai ratu bully. Hampir semua siswi pernah di bully, entah masalah apa yang mereka lakukan sampai di bully. Tapi tingkatnya masih rendah, hanya menghina di depan semua orang.

"Gue mau piscok toping matcha sama oreo," kata Nora menatap berbinar makanan yang lagi viral itu.

"Lo mau apa?" tanya Nora menoleh sekilas. "Gue cuma mau nganterin lo. Gue udah sarapan jadi masih penuh nih perut," sahut Arumi menepuk-nepuk perutnya dan Nora mengangguk-ngangguk saja.

Setelah sepuluh menit menunggu, Nora akhirnya mendapatkan piscok dengan lumeran toping. Aduh..., Nora tidak sabar menghabiskan seorang diri.

"Pelan-pelan, Nora. Itu masih lumayan panas, malah langsung di hap. Nggak takut melempuh tuh mulut," omel Arumi tidak di gubris Nora. "Aaa enak banget, pokoknya piscok bakal jadi langganan gue tiap hari!" serunya mengundang perhatian seisi kantin.

"Alay banget, perkata seneng piscok,"

"Apaan sih lo!

"Caper!"

"Julidtin sama orang banyak berani. Giliran di bully, bukan aku bukan aku,"

"Berisik lo pada!"

"Ra, lo baik-baik aja? Tumben nggak panas lo di nyinyirin," kata Arumi sedikit mencondongkan tubuhnya ke Nora.

"Nggak penting bagi gue. Nggak ada untungnya gue panas. Mending makan biar hati tetap tenang," sahut Nora santai. Melanjutkan makan sebelum bel ke dua bunyi.

"Aneh lo hari ini. Lo kek bukan Nora yang gue kenal," ungkap Arumi membuat Nora berhenti mengunyah. "Gue emang bukan Nora jadi wajar lo ngerasa gue aneh.

_________

Kelas di mulai dengan tenang, guru kali ini cukup berbaik hati tidak menegur siapapun murid yang sedang tidur. Termasuk Nora, gadis itu terlelap setelah menghabiskan satu kotak piscok.

"Arumi, tolong nanti teman-teman yang tidur suruh mereka mengerjakan pr kelompoknya. Saya tidak ingin mendengar ada yang tidak mengerjakan tugas. Saya serahkan semua kepada mu, mengerti?" tanya Bu guru pada Arumi.

"Yah, Buk. Saya kan bukan pengurus kelas, kenapa harus saya. Yang lain aja Buk," tolak Arumi. "Semua takut sama kamu. Jika demikian pasti semua mengerjakan, apalagi Bagas," jelas Bu guru melirik Bagas yang sedang tertidur pulas.

Bagas adalah anak yang cukup bandel di kelas. Sifatnya menyebalkan hanya takluk pada Arumi, sebab dia menyukai gadis itu. Hanya saja, Arumi masih menutup hati untuknya.

Arumi berguman tidak jelas. "Baik anak-anak, kelas ibu akhir. Sampai jumpa di hari kamis. Selamat istirahat," Bu Guru pergi meninggalkan kelas yang mulai berisik.

"Woi inget tugas ya. Besok harus sudah selesai, paling lambat rabu. Jika nggak mau ngerjain tugas, terpaksa gue suruh nugas di sini sampai selesai. Mengerti!" Suara tinggi Arumi mengalung indah hingga membuat semua mengangguk.

"Tapi gue bisanya setelah sekolah. Emang lo mau nunggu sampe malem?" tanya Bagas setengah sadar dari tidurnya. Cowok itu bangun setelah mendengar bel.

"No problem." Jawaban itu tentu membuat Bagas tersenyum jahat. "Oke."

Arumi menatap Nora yang mengelap bibirnya dengan mata terpejam. Kepalanya menggeleng melihat pola gemes Nora. "Lo mau kantin lagi nggak? Gue mau ke sana, udah laper tapi nggak banget,"

"Mau, tapi anterin ke wastefel depan dulu," racaunya. "Nggak malu di liatin banyak orang kalau cuci muka di sana? Kenapa nggak di kamar mandi?" Saran Arumi.

"Males dan ribut. Gue nggak mau buang waktu istirahat gue dengan pergi ke sana," sahut Nora berjalan meninggalkan kelas diikuti oleh Arumi.

Nora membasuh wajahnya sampai matanya cerah kembali. Sesekali masih menguap. "Yok, kantin," Arumi mengangguk pelan.

Mereka pergi ke kantin sama dengan tadi, penuh canda tawa dari keduanya. Meski terlihat aneh dan hal baru, mereka tetap menjadi pusat perhatian. Apalagi Nora. Sang bintang HIS.

"Mang beli piscok lagi kayak tadi, trus nanti anterin ke meja ya?" penjual mengangguk dengan memberikan senyum dan nomer meja. "Ditunggu, Neng."

Nora berjalan ke arah stand penjual makanan berat. "Buk beli ayam gepreknya sama es teh," pesan Nora setengah keras. Si penjual langsung melayaninya dengan cepat. "Berapa?"

"15 sama 5 jadi 20," ucap penjual. Nora merogoh kantongnya lalu menyodorkan uang warna hijau. "Terima kasih,"

"Ra, meja penuh. Kita mau duduk dimana?" tanya Arumi menghampiri Nora dengan tangan membawa bakso. Sedangkan Nora memutar kepalanya untuk mencari meja.

"Di sana! Ada kedua kakak gue, masih sisa dua kursi jadi pas kalau kita gabung," ucap Nora sembari berjalan mendekati mereka. "Lo nyakin?" hanya anggukan kepala dari Nora sebagai jawaban.

"Kak, numpang makan ya. Meja lain penuh," kata Nora meletakkan es teh dan ayam gepreknya. Lalu tersenyum kecil pada Nio yang memalingkan wajahnya.

"Kita boleh kan numpang?" ulang Arumi saat semua orang tidak menyukai kehadiran keduanya.

"Ngg-"

"Nggak papa lah. Kita di sini sama-sama bayar spp bukan anak beasiswa. Jadi punya hak sama ya nggak, Kak?" potong Nora menyilangkan kaki lalu sibuk makan.

Seseorang memegang tangan Nio dan sedikit memberikan elusan. "Jangan, biarin aja dia di sini, oke? Aku nggak mau ada keributan," bisiknya.

"Sesuai perintah mu."

"Gila, enak banget ayam gepreknya. Pantes mahal, sesuailah sama harga," puji Nora mengelap keringat di dahinya.

"Kayak nggak pernah makan tuh ayam lo, lebay," cibir Bayu, teman Nio.

"Bukan gitu. Cuma langganan gue ternyata kalah sama yang sini. Coba deh lo cicipi," dengan tidak sopannya Nora menyuapi paksa Bayu. "Enak nggak?"

Bayu tentu saja kaget dengan tindakan Nora meski mulutnya mengunyah makanan itu. "E-enak."

Mendengar kata sepantasnya, Nora kembali menyuapi Bayu sampai habis. Sebenarnya tujuan itu digunakan Nora karena perutnya sudah hampir kenyang. Jika kenyang tentu saja Nora tidak bisa makan piscok yang di pesannya.

Tindakan itu juga menyita perhatian semua orang, termasuk Zafran. Ada rasa iri saat Nora begitu telaten menyuapi Bayu. "Makasih udah bantu ngabisin," cengir Nora.

"Kok rasanya nambah enak setiap suapan di banding gue beli sendiri," ungkap Bayu mengelap ujung bibirnya dengan ibu jari.

"Neng, ini piscoknya," si Mamang datang mmebawa pesanan Nora. "Wah makasih, ini uangnya." Nora menyodorkan uang lima belas ribu lalu menyantap piscok sampai kalap.

"Enak! Enak banget!"

"Bagi dong,"

"Enggak!" tolak Nora memukul tangan Bayu yang akan mengambil piscoknya.

"Pelit,"

"Biarin wle!"

Next>

NO REVISI

I'NORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang