Nora menikmati semangkuk bakso yang berkuah merah karena kebanyakan cabe dengan sangat nikmat. Di sampingnya ada Sandy dan Arumi. Mereka juga menikmati makanan yang sama.
"Jatah lo makan pedes cuma hari ini ya. Besok nggak boleh, takutnya perut lo sakit atau jadi penyebab penyakit kan yang susah lo baru gue atau keluarga lo," tutur Sandy sambil mengunyah bakso ukuran kecil.
"Iya, bawel lo," ketus Nora menyeruput kuah bakso itu dengan sekali hisap.
"Heh! Berani banget lo ambil bakso gue!" pekik Nora saat tiba-tiba mangkuknya di angkat oleh seseorang. "Ka-kak Nio?"
"Kemarin lo makan cabe satu loyang. Sekarang makan bakso, pakek merah banget lagi kuahnya. Jangan cari penyakit," Nora memutar matanya dengan malas.
"Tapi mubazir kalau enggak di makan. Janji deh cuma pentolnya doang. Kuahnya kagak," ucap Nora memberikan negosiasi.
"Nggak usah takut mubazir. Biar gue yang makan," sahut Bayu mengambil mangkuk itu dari tangan Nio dan memakannya. Satu suap langsung tersedak karena pedasnya.
"Gila! Pedes banget! Cari penyakit ni orang!" komentar Bayu.
"Sukurin! Nggak ikhlas gue ngasih mangkanya lo kesedak!" ejek Nora. Lalu menarik mangkuk Sandy di antara tengah-tengah keduanya. "Gue minta,"
"Lo aja yang makan. Takut nggak kenyang. Kalau kurang bilang," ucap Sandy pengertian.
"Kalau sisa?" tanya Nora sebelum menyeruput kuahnya. Sedikit kemanisan tapi tidak apa-apa. "Gue yang makan."
Beberapa menit kemudian, semua selesai makan. Termasuk Nora. Dia bahkan selesai paling awal.
"Nia, gue minta maaf ya kalau selama ini gue kasar sama lo. Lo tahu kan kata bapak gue yang memaafkan, orangnya pasti sangat mulia. Lo mau jadi mulia kan?" tanya Nora di akhir. Dengan telunjuk terangkat menunjuk Fania.
"Sejak kapan bokap lo ngomong gitu? Perasaan bokap lo kebanyakan kerja," sahut Bayu.
"Gelap lo! Lagian sok tahu banget kebiasaan bapak gue. Trus ya, bapak gue itu sayang keluarga cuma karena sibuk kerja jadi suka mundur wacananya," jelas Nora membela Dika. Tidak mungkin Nora membuka aib sendiri.
"Nggak bisa boong. Gue hampir ti-"
"Bacot. Lo bukan keluarganya yang bisa tahu apa-apa soal mereka. Jangan karena lo temen kakak cewek gue mangkanya lo bisa ngomong kek gitu. Apalagi bongkar aibnya, itu bukan kewajiban atau hak lo. Inget itu," tegur Sandy sebelum membawa Nora pergi.
"Woi! Lo ninggalin gue!" pekik Arumi menyedot kasar es jeruknya lalu pergi ke kelas. Mereka pasti kesana.
"Gue salah ngomong ya?" cicit Bayu menatap ketiga temennya.
"Iya. Bokap gue emang nggak se care itu sama kita tapi kita tahu beliau ayah yang baik untuk putrinya. Makanya kami selalu iri sama Nora," jawab Zafran di angguki Nio.
"Yah, gue jadi buat salah dong sama Nora. Gimana minta maaf nya?" frustasinya mengacak kasar rambutnya.
"Tinggal ajak ke tempat banyak makanan pasti dia seneng trus lo ambil kesempatan buat minta maaf sama dia. Gampangkan," usul Fania diangguki kakak kembar.
"Ide bagus walaupun biasa saja. Oke deh, nanti gue ajak dia jalan," kata Bayu penuh semangat.
"Adik kesayangan gue tuh. Jangan sampe lecet." pesan Nio. "Iya-iya, yang udah baikkan jadi posesif gini,"
"Gaje lo, Bay!" umpat Nio.
_______
Dentingan kaca terus berbunyi hingga menimbulkan suara disetiap langkah seorang remaja laki-laki. Tubuh tegak itu sekarang berjalan dengan sempoyongan dan meracau tidak jelas.
Langkahnya tiba-tiba berhenti di sebuah rumah besar milik salah satu keluarga ternama. Dia mengejap cepat dan mendongak ke atas.
"Arumi! Apa lo di sana!! Arumi!!" teriaknya memukul gerbang dengan botol kaca dengan tidak begitu keras.
"Arumi!! Gue tahu lo di dalam!! Keluar lah!! Penyihir!!" teriaknya semakin brutal.
Sedangkan Arumi yang sibuk belajar langsung terganggu. Ia mengenali suara itu. Suara yang beberapa minggu ini tidak didengar. Kini muncul kembali dengan tidak sopan di depan rumahnya.
"Nona, di depan ada pengganggu. Apa saya harus mengurusnya?" tanya satpam rumah setelah mengetuk pintu kamarnya.
"Biar aku saja. Dia akan aku tangani. Jangan khawatir, dia tidak akan melukai ku. Bapak kembali tidur saja,"
Sesaat terdiam, "baiklah. Jika butuh bantuan. Panggil saya ya?" Arumi mengangguk pelan.
"Keluarlah penyihir!!" teriak dari luar kembali terdengar. "Dasar gila. Bagaimana bisa dia bertingkah saat begini," gerutunya segera mempercepat langkahnya.
"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Arumi mendekati remaja yang duduk di bawah dengan menyangga dua botol minuman.
"Lo mabuk!?" lanjutnya ingin merampas botol itu tapi tidak berhasil. "Jangan sok baik lo, penyihir!"
"Lo tahu! Kenapa gue panggil lo penyihir? Karena lo jahat seperti mereka!" jelasnya membuat Arumi tak habis pikir.
"Bangunlah, Bagas. Dan berhenti meracau. Ingat satu lagi, berhenti minum-minuman keras. Apa lo nggak kasihan sama tubuh lo?" ucap Arumi berusaha membantu Bagas bangun.
"Gue gini karena lo! Lo yang bikin gue berubah jadi gini! Lo lukain hati kecil gue! Lo jahat Arum! Lo jahat!" ungkapnya membanting satu botol minumannya ke arah jalan hingga pecah berkeping-keping.
"Lo lihat kaca itu!? Lo lihat, ha!? Itu kayak hati gue saat lo putusin gue hanya karena gue ngatur hidup lo!" Bagas lalu tertawa dengan hambar.
"Lo belum tahu rasanya jatuh cinta sedalam ini, Rum. Yang lo lihat dari gue cuma cowok brandal yang susah di atur mangkanya lo nggak suka sama gue," ucap Bagas sesuai sudut pandangnya.
"Lo salah. Gue manusia yang juga bisa jatuh cinta. Tapi cinta pertama gue di tolak. Itu yang bikin gue nggak mau mengulang hal sama. Gue trauma. Tapi memang alasan utama gue nggak suka dari lo sesuai sama ucapan lo," ungkap Arumi.
"Gue bisa berubah! Bahkan saat kita pacaran, kapan sih gue nggak nurut sama lo? Gue ngelakuin yang lo mau biar apa? Biar lo bisa nerima gue. Tapi apa sekarang?"
"Hanya duka setelah suka." imbuhnya. "Lo tahu? Gue pengen banget benci sama lo tapi gue nggak bisa. Semakin gue benci malah hati gue makin cinta,"
Bagas kembali duduk sedetik kemudian dia menangis. "Hatiku hancur!" Kalimat yang terus di ucapannya sepanjang menangis.
"Maaf, gue minta maaf. Tapi gue nggak bisa kembali sama lo. Gue takut. Gue itu nggak kayak yang lo pikirin. Gue emang jahat. Dan gue nggak masalah lo panggil penyihir," akui Arumi terduduk di samping Bagas.
"Gue punya ego dan ego gue besar. Gue nggak mau bikin lo tambah terluka dengan ego gue. Maafin gue Bagas, maaf," lanjutnya Arumi.
Mereka sama-sama terdiam yang sibuk dengan pikirannya masing-maaing. Hanya angin, malam dan meereka. Tidak ada yang lain. Duka menjadi satu yang tercipta di antaranya.
"Lo mau balik sama gue?" tawar Bagas menatap Arumu sekilas. Dan Arumi menggeleng pelan.
"Gue nggak suka sama lo,"
"Satu pertanyaan terakhir. Lo mau jadi pacar gue lagi?" Jawabannya tetap sama Arumi menolak.
Malam ini Bagas pulang membawa derita. Hatinya kembali hancur saat menolakkan itu terdengar di telinganya. Hingga menutup pendengar dalam setiap langkahnya pulang.
Tin! Tin! Tin!
BRAK!!!
Darah mengalir dipelitisnya. Sekujur tubuh telah kaku dengan air mata mengalir. Namun bibirnya tetap tersenyum seolah luka itu adalah obat terakhirnya.
Bagas melihat semua kejadian dalam semasa hidupnya bagai kaset lama. Gambaran jadi bayi sampai sekarang tapi satu yang membuatnya senang yaitu menjadikan Arumi sebagai pacar pertama dan terakhir.
Pada faktanya Arumi adalah cinta pertamanya.
Gugurlah bunga atas nama Kristino Bagas Dewantara.
Next>
NO REVISI
![](https://img.wattpad.com/cover/332453318-288-k315455.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'NORA
Короткий рассказNora Saraswati Putriana Aksarana adalah gadis SMA yang jiwanya di ganti oleh seseorang. Memiliki karakter yang berbeda dari sebelumnya membuat orang terdekat terheran-heran dengannya. Apalagi hobinya suka makan. "Papa, minta uang dong! Buat beli jaj...