27. Tamasya

186 0 0
                                    

Nora tampak simbuk memutar tubuhnya kekanan dan kekiri. Senyumnya merekah bagai bunga pukul sembilan. Sedangkan Zafran tampak tidak peduli dengan tindakan sang adik.

"Kak, aku cantik nggak?"

"Biasa, lo selalu cantik," sahut Nio membuat Nora sedikit senang. "Dibanding pacar kakak, cantikan mana?"

Nio mengetuk telunjuknya di dagu seolah berpikir. "Menurut lo siapa?" Dia malah membalikkan pertanyaan pada Nora.

"Ayo, papa sama mama udah nungguin di bawah. Jangan ada barang yang ketinggalan," ucap Zafran pergi membawa ransel kecil. Meninggalkan kedua saudaranya yang terlihat cegoh.

"Ngapain lo liatin gue?" Padahal mereka saling menatap tapi Nio malah mengetuskan Nora. "Dih, ayo cepetan nusul kak Zafran."

Mereka berdua berjalan dengan cepat ke bawah. Sempat juga Nora membenarkan topi putih berlogo panda itu. "Kak punya hodie besar nggak? Kalau ada pinjem,"

"Ada, di kamar. Lo mau ambil, nggak papa. Tapi jangan nyuruh gue, males." sahutnya sebelum pergi meninggalkan Nora yang berhenti lalu menghela napas.

"Suruh tunggu sebentar ya! Aku mau ngambil hodie dulu!" pekik Nora diacungi jempol oleh Nio.

Nora memutar balik tubuhnya lalu bergegas mengambil hodie di kamar Nio. Cukup rapi jadi mata indah untuk di pandang. "Warna pink? Mungkin punya Nia. Gue ambil warna hijau mint aja deh," monolognya.

"Nora!!" teriak Nio dari bawah. "Bentar!" balas Nora.

"Lama banget sih lo, cuma ngambil aja. Nggak lo berantakin kan? Awas, kalau iya gue suruh rapiin lagi," ucap Nio saat Nora sudah datang dihadapan mereka.

"Enggak, lagian yang aku ambil bagian atas nomer tiga," Nio tampak berguman tidak jelas. Kemudian, satu persatu masuk ke dalam mobil alphard agar muat satu keluarga.

"Ready?"

"Go!" seru anak-anak Dika membuatnya tertawa kecil dan di susul semuanya. Mereka nampak semangat di awal perjalanan, eh baru setengah udah pada tepar alias tidur.

Nora yang diapit oleh kedua kakaknya terlihat sangat nyenyak. Sedangkan bagian tengah mobil ada pasutri yang juga sedang tidur dengan istri bersandar di bahu sang suami.

_______

Sandy menghela napas beberapa kali, pikirannya terasa penuh saja karena tekanan dari sang ayah. Dia terus mendesak agar Sandy menerima perjodohan yang telah disiapkan dari lama.

Namanya hati tidak bisa dipaksa tapi ayahnya sangat keras kepala. Mengingat lagi Sandy bukan apa-apa tanpa Ayahnya. Dia masih butuh ayahnya untuk hidup.

"Andai aja gue punya saham di kantor papa. Mungkin gue nggak sebingung ini. Kakak juga angkat tangan lagi, nggak salah sih soalnya semua istri dipilihin papa," monolognya.

Ditengah kesendiriannya, bel berbunyi menandakan jika dia punya tamu. Sandy bergegas membukanya hingga saat melihat siapa tahunya, wajah itu langsung berubah datar.

"Ngapain lo kesini?" tanya ketus Sandy memasukkan kedua tangannya kedalam kantung celananya.

"Emang gue nggak boleh kesini? Lagian udah lama juga gue nggak kesini," Sandy memutar mata malas mendengarnya. Sedikit memberi celah agar tamu itu masuk kedalam apartemen.

"Bersih juga apart lo," ungkapnya cukup bangga. "Iyalah, gue emang masih bujang tapi kebersihan bukan rintangan buat gue," sahut Sandy menepuk dadanya sendiri.

"Bikinin gue minum atau nggak minuman apa yang bisa gue teguk," titahnya seenak sendiri.

"Teguk aja ludah lo! Emang gue babu lo, main suruh-suruh!" tolak Sandy menatap sinis kakaknya, Aris.

"Gue di sini tamu, ogeb. Jadi wajar gue nyuruh lo. Udah cepet ambilin gue minum," Aris mendorong tubuh Sandy hingga membuatnya hampir terjungkal.

"Nyusahin lo!" umpat Sandy yang tidak di gubris Aris.

_________

"Kebo lo, ngajak jalan eh giliran dikasih malah molor," sindir jelas Nio menatap Nora yang berada di gendongan Dika.

"Bacot lo babi! Gue ngantuk, lagian kita kesini bukan satu atau dua jam doang. Santai aja kali," sahut kesal Nora masih menutup matanya.

"Adek ngomongnya," tegur Dika mengelus bibir mungil putrinya itu. "Maaf, Pak." cicit Nora mengalungkan tangannya di leher Dika.

"Kamar yuk, Pak.  Adek siap--"

"Astagfirulloh! Omongan lo Nora. Siap-siap, inget itu Papa lo!" sembur Nio menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Minta dimutilasi keknya tuh mulut lemes banget! Heh gue juga sadar ya! Maksud gue bilang gitu siap tidur lagi!! Negatif thingking mulu lo sama gue!!" teriak Nora menatap tajam Nio.

"Mana nyebut beda server lagi," imbuhnya.

Nio hanya merespon cengiran tanpa dosa. Sedangkan Dika berusaha melerai dengan membawa Nora pergi ke kamar. "Woi tungguin, main pergi aja kek mantan,"

"Gue wadulin ke pacar lo karena inget mantan!" kata Nora sambil tertawa jahat. "Jangan woi! Bisa perang dingin kedua nih!"

"Bodo amat!"

"Sudah tidurlah. Papa mau mandi dulu, gerah habis gendong kamu. Ternyata berat," guyon Dika membuat Nora mencibikkan bibirnya. "Bapak!"

"Bercanda, Sayang. Btw jangan panggil Bapak,"

"Kenapa? Kan Bapak, Bapak saya. Masa di panggil om Burhan," lawak Nora hanya membuat Dika terkekeh. "Panggil Papa, kayak kakak mu. Bapak kesannya kayak atasan sama bawahan saja,"

Nora mengangguk. "Siap!"

_______

"Lo masih brontak nuat nolak perjodohan dari papa?" tanya Aris meletakkan kaleng rasa cola di atas meja.

"Iyalah, gue nggak goblok buat nerima perjodohan yang menggoblokkan ini. Untung di papa terus. Masa dari tiga bersodara gue ikutan goblok, ya nggak mau lah," tegas Sandy berapi-api.

"Maksud lo, gue goblok nerima perjodohan papa dulu? Inget ya, dari semua kakak lo, pada sukses tuh walaupun istri bukan pilihan sendiri," ucap Aris tidak membenarkan perkataan konyol Sandy.

"Lagian cinta bisa tumbuh kapan saja. Ya awalnya gue nggak punya perasaan apa-apa sama bini gue tapi lama-lama gue cinta bahkan bucin banget sama dia. Jadi menurut gue, kadang pilihan orang tua belum tentu salah,"

"Dan belum tentu benar buat anaknya. Gue mungkin bisa nerima perjodohan ini tapi masalahnya gue udah punya cinta, gue punya pacar. Gue sayang banget sama dia walaupun hidupnya cuma makanan doang," imbuh Sandy tidak membenarkan perkataan Aris.

"Masih pacar bukan istri," ucap Aris.

Brak! Sandy menggebrak meja cukup keras lalu menatap tajam Aris seolah tidak menerima perkataan Aris barusan.

"Kalau tujuan lo datang kesini cuma buat bikin beban pikiran gue. Mending lo cabut deh. Pintu keluarnya lo tahu kan." tekan Sandy sebelum pergi meninggalkan Aris yang sedikit syok.

"San, Sandy dengerin gue! Gue mau ngomong penting!" seru Aris menatap punggung Sandy yang mengarah pada kamarnya.

"Ngomong aja sama tembok!"

"Astaga." ucap Aris saat pintu di tutup dengan keras. Menghela napas sebelum meneguk kembali minumannya.

Aris bukan maksud membela Ayahnya, tapi jika diingat, Ayahnya sangat keras kepala sama banding dengan Sandy sendiri. Mangkanya tidak heran mereka sering ketidak cocokan sejak Sandy kecil.

NEXT>

NO REVISI>

I'NORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang