25. Papa

249 4 0
                                    

Nora tersenyum senang melihat tubuhnya dibaluti seragam sekolah. Setelah sakit hampir dua minggu, akhirnya tubuh sudah sehat jasmani.

Nora mengambil ransel dan hp. Berjalan santai ke ruang bawah untuk sarapam bersama. Senyumnya merekah bagai bunga pukul sembilan.

"Pagi semuanya," sapa Nora menarik kursinya. Duduk dan membalik piring sendiri. "Pagi Sayang,"

"Papa," panggil Nora melipat kedua tangan di atas meja lalu menatap Dika dengan melas. "Papa sudah lama tidak mengajak kami pergi bertamasya," rajuk Nora dengan menampilkan wajah sedih.

"Hahaha, benarkah? Baiklah nanti Papa usahain buat jadwal untuk anak-anak Papa. Sabar ya, Sayang kamu kan tahu Papa sibuknya kayak apa," ucap Dika sambil makan.

"Itu karena Papa berusaha menyibuk kan diri. Nggak semua bisa di dapetin lewat uang, apalagi kasih sayang. Ya aku tahu ini kewajiban Papa biar kami nggak kekurangan tapi secara nggak sadar Papa menilai semua dari uang," ungkap Nora membuat semuanya terdiam.

Nora sedikit kesal saat mengingat selama dirinya sakit hanya Nara yang di rumah bersama dua kakak kembar. Dika sama sekali tidak datang, bahkan sedekar menanyakan kabar saja tidak.

"Aku kira setelah kejadian masalah di masa lalu akan mengurangi kegiatan Papa di kantor. Eh malah makin giat, seolah nggak butuh kita di sini. Cuma jadiin beban," cetusnya tanpa rasa takut.

"Nora! Jaga bicara kamu. Papa sayang sama kalian, mama, dua kakak kamu dan kamu. Papa sayang dan papa nggak pernah nganggap beban seperti kata kamu. Cuma...," Dika mengantungkan ucapannya sambil menunduk.

"Cuma apa? Cuma bisa ngasih atau ngebeli kasih sayang lewat uang?" sela Nora terkekeh sinis.

"Nora hentikan ucapan konyol mu. Kamu bikin papa mu sedih, Nak," imbuh Nara berusaha menenangkan ketegangan ini.

"Biarlah, Ma. Biar Papa sadar juga kesalahannya ini. Kami juga merasa papa berubah. Dulu masih sempat memberi kasih sayang sama Nora tapi setelah kejadian itu malah semua nggak dapat kasih sayang selain uang," timpal Nio.

Zafran diam, dia memandang Dika dengan padangan berbeda dari yang lain. "Berhentilah mengucapkan pemikiran kalian. Coba pandang dari sudut pandang Papa,"

"Dulu meski keluarga Papa adalah orang kaya tapi dirinya tidak seberuntung saudaranya. Apakah kalian lupa standar keluarga kita dulu apa? Harus pintar minimal. Papa nggak bodoh atau nggak pintar, sering diremehin saudara atau di hina sama papanya,"

"Itu ngebikin papa jadi sosok yang ingin giat belajar agar nggak di remehin. Berusaha menunjukan diri bahwa dirinya pantas bersama keluarganya. Tapi Papa lupa, semakin dirinya paksa semakin Papa lupa jati dirinya sendiri,"

"Papa jadi sosok yang tegas dan meminimalkan rasa punya kepintaran pada kami, Aku dan Nio. Nora? Pernah nggak Papa marah karena kamu nggak bisa ngerjain pr atau tidak mendapat nilai memuaskan?" Nora mengingat kembali. Sepintas bayangan Dika memalingkan wajahnya lalu tersenyum kecil dan mengucapkan 'nggak papa, anak Papa sudah berusaha. Mau gimana pun hasilnya Papa tetap bangga. Semangat lagi anak Papa.'

"Ingat satu hal, Papa itu sayang sama kita cuma nggak bisa cara menunjukkannnya. Karena dari kecil papa nggak melihat bagaimana Papanya dulu menyayanginya. Emosional dari kecil masih terbawa sampai sekarang. Tidak ada yang memahaminya,"

"Papa lakuin semua ini sebab menganggap bahwa mungkin uang bisa membahagiakan kalian. Tapi kalian malah memandangnya sebelah mata. Menganggap kembali Papa adalah orang gagal setelah keluarganya." ungkap Zafran melihat ke arah Dika. "Bahkan Papa sekarang menangis untuk pertama kalinya di hadapan kita. Masih sanggup mengatai hal seperti tadi?"

Semua menatap Dika yang sedikit takut mendongak. Entahlah, sekarang emosionalnya benar memuncak. Seolah perkataan Zafran putranya adalah orang yang paling mengerti dirinya. Ia terharu, sangat terharu. Seumur hidup ia akan selalu mengingatkan bagaimana putranya bisa memahami sedalam ini.

Nora mendekat lalu mendekap dengan hangat. Ikut menumpahkan air mata bersalah pada Dika. "Papa, maafin Nora. Aku kira papa nggak sayang kami," ucapnya terbata-bata.

Nio dan Nara juga ikut memeluk Dika. Mereka juga merasa bersalah. Apalagi Nara, lebih dari umur anaknya tapi dirinya ternyata tidak bisa memahami sikap suaminya selama ini. Padahal dirinya lebih sering bersama dibanding anaknya.

"Maafin aku juga, Mas. Aku gagal memahami kamu," ungkap Nara.

"Tidak apa. Aku yang salah dengan kalian. Cara yang menurut aku benar ternyata salah," sahut Dika tersenyum simpul sambil mengelus bahu istrinya.

"Bukan salah tapi kurang tepat." benahi Zafran. Dia tampak santai dengan menikmati sarapannya.

"Kita rubah sudut pandang bersama-samanya? Jangan sampai kejadian ini keulang lagi. Papa juga akan berusaha menjadi Papa yang baik buat kalian. Maafin Papa ya," Dika merasa senang hari ini.

Beban yang tidak terasa itu sudah menghilang bagai hujan sesaat. Hidupnya lagi-lagi berubah karena anaknya. Ia tidak pernah menyalahkan orang lain atas sikapnya, hanya kesabaran dan keikhlasan yang berbuah hasil positif.

Ayahnya sudah lama meninggalkan, sejak itulah dia mulai memaafkan dia karena ketidakadilan dalam merawat dia dan saudara lainnya. Meski sauadara itu kini sudah rukun tetap saja masih ada rasa sungkan.

"Gawat!! Kita telat sekolah!" pekik Nora saat akan duduk dan tidak sengaja melihat jam.

"Kalian cepat berangkat. Nanti Papa yang akan bicara sama pak Satpa. Papa lakuin ini buat nebus kesalahan bukan ada niatan apa-apa," semua anaknya mengangguk. Segera salim dan masuk ke dalam mobil, kali ini Zafran yang menyetir.

"Kok lo tahu kisah kelam bokap? Nggak ngasih tahu lo. Jadi kesannya kita anak durhaka," ucap Nio diangguki oleh Nora.

"Lo aja yang kurang peka. Orang banyak diam itu pasti ada apa-apanya. Apalagi bokap sama om-om kita kayak ada rasa sungkannya. Nah dari itu gue mulai curiga," jelas Zafran.

Memutar setir saat gerbang sekolah masih di buka. Mungkin Dika sudah memberitahu satpam sekolah. Mereka keluar lalu berjalan sedikit cepat ke arah kelas masing-masing.

"Pagi!" pekik Nora menerobos pintu kelas dan membuat semua yang ada di kelas terkejut. "Dari mana kamu? Sudah telat setengah jam lagi,"

"Maaf bu, tadi ada urusan keluarga. Nih buktinya saya habis nangis," ucap Nora menjulurkan kelopak mata bagian bawahnya. "Kenapa kamu nangis? Habis smackdown?"

"Ya enggak lah, Bu. Kalau iya nggak mungkin saya di sini,"

"Trus dimana?" tanya Bu Guru sedikit mencondongkan tubuhnya. "Rumah sakit. Pakek nanyak lagi, udah ibu lanjutin aja saya mau duduk," Guru itu hanya mengelengkan kepalanya heran.

Kadang murid bisa kehilangan etikanya saat bersama guru karena menganggapnya sebagai teman. Untung gurunya tidak baperan.

Next>

NO REVISI!

AMANAT?

I'NORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang