34. Bukti

170 0 0
                                    

"Halo?"

"...."

"Kita bakal kasih clue satu persatu ke dia sampai selesai. Kita harus main pelan dan aman agar semua sesuai dengan rencana,"

"...."

"Nggak usah tapi lepas pelan-pelan. Jangan sampai gertakan itu di denger sama Papa. Gue nggak mau kena masalah besar walaupun gue udah ijin sama Papa dulu,"

" ...."

"Oke, gue tutup."

Tut

__________

Arumi meletakkan ponselnya dengan cepat saat mendengar pintu di ketok dari luar. Hingga seorang pembantunya datang sambil membawa susu dan buah kesukaannya.

"Kenapa, Non? Kok pucat gitu wajahnya? Sakit?" tanya dia menyentuh dahi Arumi. Namun di tahan olehnya. "Mungkin karena belum minum dari sore mangkanya jadi pucet,"

"Bibi stok cemilan aku masih nggak? Kalau habis, sekalian aku beli bentar lagi. Soalnya aku mau beli roti jepang," lanjutnya di akhiri dengan cengiran.

"Habis sisa dikit. Mau beli pakek uang bulanan atau Non sendiri? Kalau dari Bibi tak ambilim dulu," ucapnya memberitahu.

"Pakek uang bulanan yang di kasih papa ke Bibi aja. Uang jajan aku lagi nipis," cengirnya lagi.

Pembantunya mengangguk mengerti. "Tapi susunya dihabisim dulu, Non. Buahnya di simpen di kulkas,"

Dia mendekatkan susu putih itu kepada Arumi lalu berjalan menjauh untuk memasukan buah di kulkas. "Non, stok buah di kulkas masih lumayan banyak. Non, nggak suka atau lagi nggak mood makan?"

"Lebih ke belum sempat, Bi. Bi, cepet ambilin uang, sebelum nanti tambah kemaleman," titah Arumi mengusir halus pembantu itu.

"Oh, iya lupa. Bentar Bibi ambilin." Dia pergi dengan tergopoh-gopoh. "Jangan lari-lari, Bi! Nanti jatuh!" nasehat Arumi.

Setelah tidak mendengar langkah kaki, Arumi menghela napas cepat. "Untung nggak ketahuan."

Arumi mendekat pada almari kaca da  sumper besar itu untuk mengambil hodie hijau lumut yang sangat pasti di tubuhnya. Kemudian, menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.

Berjalan menuruni setiap anak tangga. Sambil berteriak menyeru pembantu tadi. "Ini uangnya. Nanti kalau kurang bilang biar tak tranfer,"

"Emang Bibi punya atm?"

"Pakek apk biru kan bisa,"

"Wih keren. Sekarang main transfer, siapa yang ngajarin?" tanya Arumi. "Non sendiri, waktu itu. " setelah itu Arumi pergi sambil tertawa karena lupa tentang hal itu.

Dua puluh menit Arumi sampai di supermarket besar. Toko itu sangat besar, bahkan menjadi paling besar se kota. Harga di sana juga lumayan murah di banding tempat pasaran.

Arumi mengambil keranjang kuning. Berjalan kearah tempat roti jepang berada, banyak harian dari yang punya sayap atau tidak. Arumi menarik bungkus warna hitam dan biru.

"Nyetok dikit aja deh," monolognya sembari meninggalkan rak roti jepang.

Arumi beralih pada jajaran snack, mulai dari kesukaannya sampai keinginannya di ambil. Hanya satu, tidak menyetok. Kemudian, pindah ke buah-buahan. Arumi cukup suka buah yang mengandung banyak air.

"Juga suka buah?" tanya seseorang sambil sok sibuk mengambil buah apel merah. Arumi menoleh dan sempat terkejut. "Kak Zafran? Sama siapa?"

"Sendiri, yang lain pada sibuk sendiri. Keknya ada masalah tapi gue belum mau ikut campur dulu," ucapnya.

"Kenapa? Bukannya sebagai kakak, harus menengahi keduanya?" tanya Arumi penasaran. "Karena belum ngasih tahu masalahnya sama gue. Lagian gue nyakin, masalah akan selesai tanpa bantuan gue," jelasnya di angguki oleh Arumi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi, lo suka buah?" tanya ulang Zafran sembari berjalan meninggalkan rak buah. Tapi entah mengapa, Arumi juga berjalan mengikutinya.

"Suka, apalagi semangka. Kayak di Drakor gitu makan setengah bulatan," ucapnya menyengir sendiri. "Jangan keseringan, nanti darah rendah kumat,"

Arumi mengangguk kuat, meski Zafran tidak melihatnya. "Aku selalu minum obat tambah darah kalau habis makan semangka."  Zafran menyergit pelan sebelum akhirnya tak acuh.

________

Tak

Tak

Tak

Langkah kaki yang tidak stabil dengan raut wajah serius membuat seseorang di hadapannya minggir sendiri. Keringat seukuran biji jagung jatuh di lantai tanpa di sadari.

Sesampainya dia di kelas, dia melihat orang yang di cari ada di dalam kelas. "Nora!?"

Menoleh, yang di panggil menoleh dengan kernyitan halus di dahinya. Dia langsung merapatkan diri dan tidak peduli jika beberapa teman memperhatikannya. "Gue keknya punya bukti,"

"Bukti?" ulang Nora.

Marella mengangguk cepat sambil membuka ponselnya. "Lo lihat pesan di hapus ini? Gue sempat SS. Bentar," dia membuka room galerinya dan menunjukkan sesuatu. "Bukti transfer."

"Gu-gue bukannya mau nuduh ya, tapi sepertinya dia dalang dari masalah lo kali ini. Gue tahu kalian sahabatan dari lama, tapi tidak menutup kemungkinan jika itu benar atau tidak," ucapnya membuat Nora diam.

"Tapi apa motif dia lakuin ini? Bukannya lo nggak pernah punya masalah sama dia? Lo sama dia aja selalu support sistem banget. Bahkan gue dengar lo sampai minta bantuan kakak kedua lo biar dia nggak sedih masalah meninggalnya mantan kekasihnya,"  lanjutnya.

"Gue nggak tahu harus percaya atau tidak. Tapi gue mohon, kita pura-pura nggak tahu. Bantu gue lebih menyelidiki masalah ini. Thanks atas bukti tadi." ungkap Nora tersenyum kecil untuk menutup rasa kekecewaannya di awal, mungkin.

Marella menarik Nora dalam dekapannya. "Gue bakal bantu semampu gue, Ra. Lo sahabat gue, jadi lo berhak minta sesuatu dari gue." Nora tersenyum simpul dan membalas.

"Weh ada geragan apa nih? Pagi-pagi saling peluk. Gue nggak di ajak nih? Jahat begete," ucap seseorang baru datang dengan wajah sedih di buat-buat.

Nora dan Marella sempat melirik satu sama lain. Kemudian mengucapkan satu kali yang bersamaan. "Boleh." Arumi menghamburkan diri ke tubuh ke dua sahabatnya. "Sayang kalian banyak-banyak!" ungkapnya.

"Kami juga." sambung Nora lirih.

__________

Nora tampak males menyuapkan makanan dalam mulutnya. Sedangkan ke dua temannya asik bercengkrama. Lebih tepatnya Arumi sangat bersemangat cerita pada Marella.

"Ra, makan woi. Jangan dilihatin doang," tegur Bayu mengambil perhatian dari ketiga cewek itu.

"Males banget hari ini gue," ucapnya mendapatkan jitakkan tidak keras dari Bayu. "Gue suapin, mumpung tangan gue masih nganggur,"

Baru saja makanan itu akan masuk kedalam mulut Nora. Sandy datang merampasnya. "Inget, bro. Dia udah berpawang jadi jangan sok sibuk ngurusin urusan gue," ucapnya memberi penekanan.

"Ck! Santai aja kali. Gue nggak lupa kalau dia punya pacar. Nih lo kasih makan, sakit suka bikin semua orang susah." ketusnya memberikan ruang pada Sandy untuk duduk.

"Ay, ayo buka mulutnya. Aaaa," peragah Sandy namum Nora enggan membukanya kali ini. "Gue udah nggak mau. Buat lo aja sisanya," tolak Nora.

"Loh, Ay? Kok gitu sih? Tadi aja di suapin sama dia mau kok sama gue jadi nggak mau!?" tanya Sandy tidak terima. Nora menghela napas pelan. "Nggak usah mempermasalahkan hal kecil yang bisa bikin jadi besar. Gue cabut, jangan ada yang ngikutin gue. Gue butuh sendiri."

Nora pergi meninggalkan keributan kecil antara Bayu dan Sandy. Sedangkan Arumi dan Marella hanya menatap males. "Pergilah jika urusan kalian sudah selesai!" tegas Marella.

Next>

No revisi

I'NORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang