Chapter 11 - Jealousy

72.8K 5.6K 3.7K
                                    

Target 2k votes dan 3k comments bisa?

WARNING: TERDAPAT SCENE 17+ DI AKHIR. HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN SESUAI UMUR.

Happy reading!

*
*

🌊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌊

Paginya El terkejut dengan kehadiran Alva, pria itu berjalan memasuki rumah dengan raut wajah yang lusuh dan pakaian berantakan. Kemejanya kusut, jasnya ia sampirkan di bahu, dan kedua matanya memerah.

El segera menghampiri Alva, memanggil pria itu sehingga pria itu menghentikan langkah.

"Mas Alva semalem kemana?"

"Sibuk."

"El ke kantor Mas Alva, tapi kata satpam semuanya udah pulang, termasuk Mas Alva."

Alva mengernyit, "kamu ke kantor saya? Untuk apa?"

"El nungguin Mas Alva pulang, El pikir Mas Alva lembur, nomor Mas Alva gak aktif, yaudah El ke kantor Mas Alva naik taksi."

Alva menatap El dari atas sampai bawah, penuh intimidasi. Membuat El meremas ponselnya yang berada di genggamannya.

"Kemarin hari ulang tahun El, Mas Alva lupa? El mau potong kue sama Mas Alva. Kuenya ada di kulkas, boleh kalau kita potong sekarang aja?" El menyentuh tangan Alva, berniat mengajaknya ke dapur, tetapi Alva justru menyentak keras tangan El membuat ponsel El terlempar ke lantai dengan keras. Ponsel jadul itu sudah terbelah menjadi dua.

"SAYA LELAH! BISA TIDAK USAH MENGGANGGU SAYA?!" Bentak Alva yang membuat El semakin terkejut, nyalinya menciut begitu saja.

Alva kembali melangkahkan kaki, meninggalkan El yang meneteskan air mata. Tetapi saat baru saja menaiki satu anak tangga, ponsel Alva berdering. Dengan kesal ia mengangkat panggilan tersebut.

"Saya sedang tidak ingin diganggu!"

"Assalamualaikum Gus Alva, saya ingin mengabarkan jika Kyai Abdul meninggal dunia."

****

Alva menatap nanar tubuh Kakeknya yang terbujur kaku dan wajahnya hendak ditutup oleh kain kafan. Air mata Alva menetes melihatnya, tetapi dengan cepat ia menepisnya.

"Apa tidak bisa saya tertidur semalaman ini dengan Kakek?" Tanya Alva tiba-tiba, membuat seluruh mata yang berada di ruangan ini menoleh padanya.

"Mohon maaf, Gus. Dalam syariat, mayyit harus segera dikebumikan."

Alva menahan napasnya, ia mendekat ke arah Kakeknya. Mengecup kening Kakeknya lamat-lamat, "terima kasih, Kek." Hanya itu yang bisa Alva ucapkan pada sang Kakek sebelum wajah Kyai Abdul benar-benar ditutup.

ThallasophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang