Bab 1 - Dia Batman

67.7K 3.9K 240
                                    

Enaknya menjadi pengangguran adalah bebas tidur sepuasnya sepanjang hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enaknya menjadi pengangguran adalah bebas tidur sepuasnya sepanjang hari. Di Minggu pagi, aku masih asyik rebahan di atas kasur sambil tengkurap, tanganku fokus menggulir postingan dari akun yang aku follow di Instagram.

Plak!

Aduh, sakit, siapa yang baru saja menabok bokong semokku?! Beraninya dia ...

"Eh, Mama."

Aku langsung menyengir, batal mengomel kalau pelakunya adalah mama yang punya takhta tertinggi di rumah ini.

"Anak perawan jam sepuluh belum keluar kamar! Bantu Mama bersih-bersih rumah atau masak dong!"

"Hm."

Aku menyahut singkat. Yang penting merespon, karena kalau diam saja nanti semakin dimarahi.

"Kapan kamu mau kerja? Udah setahun lulus kuliah, masih belum kerja."

"Kapan-kapan, Ma."

Bukannya aku tidak mau kerja atau hanya malas-malasan. Aku sudah mendaftar banyak pekerjaan, tetapi tak ada yang diterima, akhirnya capek juga.

"Dulu pas baru wisuda nangis-nangis senang. Sekarang malah nganggur."

Diam, tahan, jangan emosi. Aku selalu merapalkan tiga mantra itu kalau omongan mama mulai terdengar tak mengenakkan.

Ocehan mama terus berlanjut sampai aku keluar kamar dan sarapan di meja makan. Mama duduk di hadapanku, memperhatikanku yang tengah makan.

Aku menatap sekitar, mencari keberadaan papa dan adikku, tetapi tak kulihat batang hidung mereka.

"Papa sama Adnan ke mana, Ma?"

"Tadi pagi jogging, sekarang belum pulang. Mungkin mereka mampir ke rumahnya Bang Alfi."

Aku mengangguk-angguk.

"Ror, kamu nggak minat lanjut S-2? Biar bisa jadi dosen kayak Bang Alfi."

Sejujurnya aku sudah malas belajar.  Selain itu, seandainya lanjut S-2 belum tentu berhasil menjadi dosen. Kalau aku gagal, nanti malah dibanding-bandingkan dengan Bang Alfi—kakakku yang seorang dosen.

"Nggak, Ma. Aku mau lanjut nyari kerja aja."

Tak ada lagi perbincangan, aku fokus makan sambil menunduk menatap makanan.

"Mama belum lama ini ketemu sama Matthew. Dia sekarang punya kafe. Kamu nggak mau lamar kerja di sana?"

Mendengar nama Matthew—sahabatku sejak zaman SMA sampai kuliah—disebut membuatku langsung mendongak menatap mama.

"Tapi ..."

Aku menimbang-nimbang. Matthew, ya? Aku malu untuk bertemu lagi dengannya karena suatu kejadian satu tahun yang lalu. Bahkan aku sudah tak berhubungan lagi dengannya sejak lulus kuliah.

Marrying The Hot Berondong (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang