Bab 28 - Daddy Brian

23K 1.8K 46
                                    

"Au, kamu kenapa?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Au, kamu kenapa?”

Aku terdiam mematung selama beberapa detik. B-benarkah yang mama katakan? Aku ... harus berkata apa kepada Brian?

“Nenek ...”

“Ya? Nenek kenapa?”

“M-meninggal, Bri ... Nenek—”

Brian langsung berdiri dan berlari ke kamar, aku melihatnya berjalan tergesa keluar rumah dengan membawa kunci mobil.

Dengan tak kalah terburu-buru, aku menyusul Brian yang masuk ke dalam mobil. Setelah itu, kuberitahukan alamat rumah sakit. 

Sejujurnya aku khawatir melihat Brian yang kini menyetir dengan tangan agak gemetar, dia juga tergesa-gesa. Ingin aku menggantikannya menyetir, tetapi kami sudah setengah jalan menuju rumah sakit, dia juga mungkin akan menolak karena memakan waktu untuk bertukar posisi duduk.

Aku terkejut sekaligus merasa sedih mendengar kabar tak terduga ini. Namun, aku menyadari bahwa setiap manusia pada dasarnya akan kembali ke sisi Tuhan, semua orang pasti akan meninggal suatu saat nanti. Aku ... khawatir bagaimana perasaan Brian, sejak tadi matanya berkaca-kaca, tetapi dia diam tak menangis.

Tiba di rumah sakit dan memarkirkan mobil, Brian berlari di lorong rumah sakit, aku yang merasa lelah tak sanggup mengikuti larinya dan akhirnya hanya berjalan. Tak berselang lama, kudengar suara tangis dari mama.

Di sana ada mama yang sedang menangis dan ditenangkan oleh adikku. Di saat mama masih menangis, aku juga mendengar suara tangis Brian.

Jika mendapatkan kabar kematian seseorang yang kukenal, terkadang aku bertanya-tanya apakah itu nyata atau tidak. Sampai akhirnya perasaan kehilangan itu muncul saat lama tak berjumpa dan baru kusadari kalau orang itu telah benar-benar pergi.

Aku harus tetap tenang di sini agar bisa menghibur Brian. Kini Brian duduk di kursi bersama Adnan.

Aku mendekati mama.

“Nenek punya riwayat penyakit jantung, Ma?” tanyaku memastikan, karena sejujurnya aku tak tahu.

“Katanya iya. Makanya Mama selalu ngawasin Nenek biar nggak kecapean dan makan yang bergizi, tapi nggak tau kenapa tiba-tiba tadi ...”

Mama tak lanjut bicara dan kembali terisak. Aku bergegas memeluknya. Sambil menenangkan mama, aku melirik ke arah Brian yang sudah berhenti menangis dan sedang berbicara dengan adikku.

Entah seperti apa yang Brian rasakan, namun aku yakin dia sedih sekali. Setelah kehilangan kakeknya yang berharga, dia kini kehilangan neneknya.

“Kak, gue mau beli minum dulu. Lo sama Brian sana.”

Aku mengangguk pada adikku lantas berjalan menghampiri Brian dan duduk di sebelahnya. Aku meraih wajah Brian, menangkup kedua sisi wajahnya lantas mengelap jejak air matanya.

Marrying The Hot Berondong (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang