Pusing mendera dan mata terasa berat saat terbuka. Aku terdiam menatap beberapa orang di sekitarku. Ada mama, papa, Adnan, dan Bang Alfi. Sedang apa mereka di sini? Ah, iya, Brian! Astaga, bagaimana bisa aku hampir lupa?!
Aku buru-buru duduk dan hendak berdiri, tetapi Bang Alfi menahan tanganku. Dia mengambilkan segelas air putih lantas menyuruhku minum.
“Kamu nggak apa-apa? Mau ke dokter?” tanya Bang Alfi. Dia menatapku dengan raut khawatir. Sejak kapan dia ke sini? Mungkin Adnan yang mengabarinya.
“Bang, Brian ...”
“Iya, ayo kita ketemu Brian.”
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar ucapan Bang Alfi. Bertemu Brian? Di mana?
“Tadi gue dikabarin kalau dia ada di rumah sakit,” ujar Adnan.
Rumah sakit?! Aku tak dapat berpikir jernih lagi, bagaimana kondisi Brian? Membayangkannya penuh luka dan tidak sadarkan diri membuatku gemetar dan ingin kembali menangis. Bagaimana kalau dia telah tiada? Tidak! Itu tidak mungkin ‘kan?
Panik, aku bergegas mengajak yang lain ke rumah sakit. Keluargaku ikut semua. Dalam perjalanan, aku tak berhenti bergerak gelisah sambil memikirkan bagaimana kondisi Brian. Namun, bagaimana pun kondisinya, yang terpenting saat ini aku berharap dia masih hidup. Aku tak sanggup kehilangan Brian. Tuhan, tolong jangan mengambil Brian secepat ini dariku.
Tiba di rumah sakit, aku mengikuti Adnan dan Bang Alfi yang berjalan di depan. Adnan menyibak tirai. Aku terbelalak dengan napas tertahan saat melihat Brian.
Aku ... tidak salah lihat ‘kan? Itu benar Brian! Dia ... masih hidup! Dia terlihat baik-baik saja dan sedang bermain ponsel. Astaga, aku sekhawatir ini padanya sampai pingsan, tetapi dia terlihat begitu santai dengan ponselnya!
Namun, kekesalanku lebih sedikit daripada perasaan bersyukur. Aku tak kuasa menahan tangis saat melihat Brian baik-baik saja.
“Brian!”
Brian menoleh. Aku bergegas memeluknya dengan erat dan menumpahkan tangisku padanya.
“Au, kamu kenapa?”
“A-aku takut banget kamu pergi selamanya ...”
“Sayang, lihat aku.” Brian melepas pelukanku, kemudian menangkup wajahku dan menghapus jejak air mataku. “Aku ada di sini, di depanmu.”
Aku mengangguk dan tersenyum lega. Terima kasih, Tuhan. Brian masih ada di sini. Namun, bagaimana bisa dia baik-baik saja? Apakah berita pesawat jatuh itu memang bohong?
“Kamu ... beneran baik-baik aja? Bukannya pesawat itu jatuh?” tanyaku.
Brian tersenyum. Dia menarik tanganku lantas mendudukkanku di tepi ranjang pasien.
“Uhm ... sebenernya aku nggak jadi naik pesawat.”
“Apa?”
Brian mengusap tengkuknya. “Aku … jatuh sampai terkilir, makanya ke rumah sakit,” tunjuknya pada pergelangan kaki. Baru kusadari kalau pergelangan kaki Brian diperban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying The Hot Berondong (TAMAT)
Romance"Dia ... Brian yang dulu sering main ke rumah kita pakai sempak Batman sama kaus dalam putih?!" Aurora (23 tahun), telah membuat kesalahan dengan lelaki hot yang disangka seumuran dengannya. Ternyata lelaki itu adalah tetangganya semasa kecil yang l...