9 ETERNITY • 31

9 1 0
                                    

Gerimis kecil-kecilan mengguyur jalanan itu, tercium bau khas tanah kering yang bermandikan oleh air hujan, Nikolas berusaha mengambil oksigen.

Samar-samar cowok itu melihat segelintir orang menggerumbuni dan mendekat. Kepalanya terasa begitu berat, beberapa di inti kulitnya seperti pedih dan nyeri.

"Dek..."

"Kalian nggak apa-apa toh?"

"Cepet telpon ambulans dulu." Beberapa dari mereka berusaha untuk membuka mobil hitam itu yang terkunci.

Ternyata kecelakaan yang dialami oleh Dewa dan Nikolas cukup parah. Nikolas menyentuh wajah juga kepalanya, "shh." Ia baru menyadari bahwa kaca depan mobil itu pecah dan beberapa mengenai wajah juga tubuhnya, darah dari kepala cowok itu tak henti mengalir.

"Wa. De-wa," panggil Nikolas berusaha melirik ke samping untuk melihat kondisi Dewa. Dan lelaki itu tidak sadarkan diri. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Nikolas membuka pintu dan menyelamatkan diri.

Disisi lain Lauren mengambil kunci mobilnya setelah menerima pesan dari grup teman-temannya tentang kabar Dewa dan Nikolas. Ia berbegas tanpa pikir panjang pergi ingin menyusul mereka.

Sepanjang hari ia kepikiran dengan keadaan sang mantan. Rasa kesal, emosi, dan cemas menyelimutinya saat ini. "Kalo aja sampai Dewa kenapa-napa, lo gue pastiin sesak napas." Ia membayangkan wajah pacar baru Dewa itu bonyok dan kalo bisa penyakitnya tambah parah juga cepat mati. "MAMPUS." Teriaknya seperti orang gila.

***

Di tengah pusingnya kepala Hazel dan sesak yang berlebih, dikepalanya terus di penuhi dengan berbagai pertanyaan. Hazel tidak ingin keadaannya turun disaat seperti ini. "Ma."

"MAMA!!!" Teriaknya, berusaha memberontak dan melepaskan diri disaat para suster menahan dan membawanya ke ruangan khusus untuk menangani keadaan Hazel saat ini. Sedikit kesulitan, kehisterisan Hazel tak bisa dikontrol.

"Kamu jangan begini, akan banyak darah yang terbuang." Sang dokter khawatir, semakin banyak bergerak dan mengeluarkan  suara maka semakin banyak pula darah dan energi Hazel yang terbuang.

"Gimana?"

"Mama dimana dok?"

"Mama kenapa?" lemahnya, melemas dan mulai mengeluarkan butiran air dari matanya. Perasaannya tidak karuan, badan Hazel sakit semua pikirannya tidak karuan. Ia ingin melihat sang ibu sekarang. Takut jika terjadi apa-apa dengan mamanya. Tolong beritahu Hazel siapapun.

"Aku capek. Sakit ma, semuanya sakit." Gadis itu lagi-lagi meraung, memberontak menendang-nendangkan kakinya berharap dokter tidak mengurungnya di dalam ruangan serba putih itu.

"Lepasin!"

"Aku pengen liat mama. Tolong, jangan sekarang." Gadis itu panik dan badannya jujur saja lelah dan karena seperti ini ia merasa sakit yang luar biasa.

Semakin lama Hazel semakin menangis meminta untuk dilepas kan, dokter kewalahan dan membutuhkan beberapa perawat lagi untuk menangani Hazel.

Dan mau tidak mau dokter harus menyuntikkan obat penenang, Hazel yang paham dan tau maksud itu semakin menjadi-jadi.

Dan beberapa detik berlalu, obat itu mulai bereaksi tubuh Hazel yang sebelumnya memberontak kini melemah seiring berjalannya waktu.

Ia sangat lelah tenaganya rasanya terkuras habis. Seperti badannya mati rasa, karena banyaknya pergerakan di tubuhnya Hazel menjadi seperti tidak mempunyai energi sama sekali. Matanya mulai tertutup merasakan rangsangan obat itu di dalam tubuhnya, rasanya Hazel seperti melayang ke udara.

Matanya begitu berat, walaupun di hatinya terasa begitu sesak dan gelisah yang tak bisa diuangkapkan.

Dokter mengantarkan Hazel melewati lorong untuk jalan cepat supaya dapat langsung menuju ruang ICU, Hazel harus ditangani keadaan semakin lama semakin memburuk jika dibiarkan saja.

Dan dari ujuang lorong juga terlihat kasur dorong untuk membopong pasien yang sepertinya kritis, mereka sedikit bingung karena jalur untuk orang kecepatan bukan disini.

"Loh, dokter itu pasien kecelakaan." Dokter itu hanya mengangguk, ia mengerti kenapa mereka membawa pasien itu melewati jalur ini.

Sehingga dari salah satu dari keduanya harus ada yang mengalah, memang jalur disini sedikit sempit.

Saat berpapasan, mata Hazel menangkap wajah yang sangat ia rindukan, "k-kak Dewa," gumamnya lemah.

Perasaanya benar-benar tidak menentu saat ini, Hazel tidak ingin seperti ini. Ia ingin bangun dan menyaksikan semuanya, kenapa tuhan begitu tidak adil dengan dirinya.

Kenapa tubuh Dewa di penuhi dengan noda merah, mengapa wajahnya terdapat banyak luka. Dan bagaimana ia bisa sampai disini, ya tuhan kenapa begitu sulit untuk Hazel lewati. Ia berharap apa yang ia lihat itu bukanlah Dewa.

Setelah dosis obat itu melingkupi tubuh Hazel, berlahan mata perempuan itu tertutup. Kesadarannya berlahan-lahan sirna.

Matahari yang sebelumnya memang sesak untuk menyinari alam ini dengan pelan masuk dan digantikan bulan yang artinya hari sudah berganti malam.

Seorang gadis sedari-tadi sibuk mondar-mandir tak karuan, yang sudah diketahui ia tengah menunggu Dokter untuk memberinya informasi karena keluarga dari Dewa belum datang juga.

Dan saat yang ditunggu tiba, dokter yang menangani Dewa akhirnya keluar dari ruangan.

"Dok saya boleh masuk, kan?"

"Dewa nggak papa kan?" tanyakan Lauren khawatir.

"Mohon maaf, ada hubungan apa anda dengan pasien?" Ucap sang dokter.

"S-saya tunangannya dok."

"Ohh yasudah. Silahkan, pasien sedang dalam masa pemulihan, InsyaAllah tidak akan lama lagi dia akan siuman." Dokter itu lalu berpamitan untuk meninggalkan Lauren yang tersenyum ke arahnya dan mengucapkan terima kasih diakhir.

Lauren tersenyum kecil, akhirnya ia menjadi orang pertama yang melihat dan mengetahui kondisi Dewa saat ini, sekaligus orang yang merawatnya.

"Hey."

"Kamu baik-baik aja?"

"Kepalanya pasti sakit ya." Lauren bermonolog sambari mengusap kepala Dewa yang diperban dengan lembut.

"Aku kangen banget sama kamu Dewa." Gadis itu tak pakai lama langsung memeluk tubuh Dewa dari samping, menyalurkan semua emosi yang dipendam selama ini.

Lauren ingat sekali dan dulu ia sering sekali mencium bau butuh Dewa yang seperti ini. Benar-benar khas dan Lauren sungguh menyukai itu.

"Gue bakal jagain lo disini, gue nggak bakal pergi sebelum lo bener-bener sembuh, I love you Dewa." Perlahan namun pasti gadis itu tanpa ragu mencium kening dan pipi Dewa.

"Gue mau jadi orang pertama yang lo liat setelah lo sadar dan gue bakal bikin lo sadar bahwa gue selalu disini buat lo." Mata Lauren tak lepas dari benda padat itu, ia mengulum senyum tipis.

Selama mereka berpacaran kemarin Dewa tidak pernah ingin melumat bibirnya, Lauren juga bingung kenapa, padahal ia sering sekali menggoda atau menjahili agar Dewa melakukan hal itu.

Dan sekarang. Mungkin ini waktunya? Lauren terkekeh geli. "Gue pengen jadi orang pertama yang bisa nyentuh ini."

"Boleh ya?"

Lauren mendekati wajahnya, ia menatap wajah cowok itu dengan seksama. Sempurna. "Walaupun kondisinya gini, bisa-bisa lo tetep ganteng Wa. Gimana gue nggak tergila-gila sama lo, huh?"

Mulai saat itu, hasrat Lauren ingin memiliki Dewa semakim besar. "Lo harus jadi milik gue, seutuhnya, selamanya."

"Siapapun yang ada nyusik hal ini gue nggak akan tinggal diam. I'm yours."

Jarak mereka hanya beberapa senti saja, Lauren siap memainkan permainannya. Tak sabar merasakan bibir manis Dewa.

"Zel."

"Ha-hazel."

Seperti petir yang menyambar disiang bolong, Lauren tidak menyangka Dewa akan menyebut nama gadis itu.

"What the hell. Apa-apaan?"

Detik itu juga emosinya betul-betul naik, tak disangka ternyata memang nyata mencintai gadis bernama Hazel tananya itu.

Dan lihat saja, Lauren tidak akan membiarkan ini berjalan begitu saja.

***

9 Eternity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang