Bab 26: Ruang Temu

120 13 3
                                    

Putih. Semuanya putih. Sejauh mata memandang hanya ada warna putih. Apakah ruangan kamarnya sudah ganti warna cat? Atau ini bukan kamarnya? Di mana Lea?

Jeff bangkit dari tidurnya dan duduk di tepian ranjang. Bahkan piyama yang ia pakai juga berwarna putih. Kulit tangannya juga pucat menampakkan urat-urat. Seperti mayat.

Benar. Tak ada orang. Tempat itu seperti ruangan tak berujung. Ketika mata Jeff berputar melihat sekeliling, seketika wajahnya berubah panik. Kemana semua orang?

"Oh, Jesus, apakah aku sudah mati sekarang?"

Jeff berjalan mengitari ranjang besi tua yang ia tiduri tadi. Bahkan sampai melongo ke bawah kolongnya, berharap mendapati seseorang.

"Lea!" panggil Jeff berteriak. Dia kemudian berlari mencari tak tentu arah. Suara panggilannya bahkan ikut menggaung. Dia merasa seperti di dalam kotak serba putih.

"Lea, " panggil Jeff berkali- kali. Sayangnya, tak ada yang membalas sahutannya. Satu wajah pun tak ia temui.

Jeff berhenti berlari mengambil napas. Dia merunduk memegang kedua lututnya. Di saat itu sepasang kaki pucat berhenti di depannya.

"Hai, sudah lama tidak bertemu. Apa kabarmu? Sepertinya ada yang tersesat."

Suara wanita. Sepertinya tak asing. Ia bahkan hapal betul nada suara itu. Secara perlahan Jeff menggerakkan kepalanya ke atas. Memastikan jika dirinya benar.

Detik itu juga mata Jeff membelalak besar. Tanpa sadar air matanya jatuh menetes. Tubuhnya bahkan mematung ketika sosok itu memeluknya.

"Aku merindukanmu, " ucap wanita itu.

Jeff juga, tetapi mulutnya seolah terkunci. Namun, air matanya sudah seperti sungai. Mengalir deras tiada henti.

"Kau tak ingin bicara padaku? Sombong sekali."

Sekuat hati Jeff berusaha untuk berbicara demi mengungkapkan kerinduannya. Ada banyak hal yang ingin ia utarakan pada sosok seperti malaikat itu.

"Kemana saja kau? Sudah bertahun- tahun aku menunggumu. Bahkan singgah di mimpiku pun kau tak mau." Jeff akhirnya melepaskan isi hatinya dan membalas memeluk sosok wanita cantik di hadapannya. Berulang kali ia mengecup puncak kepala dan mencium surai coklat itu dalam- dalam. Wanginya masih sama. Wangi yang ia rindukan.

"Kau yang tak ingin aku datang, Jeff. Kau yang ingin menghapusku."

Rasa sakit, sesal, sesak, semua bersatu di dada. Andai waktu bisa berputar. Andai dia memaksa Miranda agar tak pergi. Andai dia menjemputnya malam itu. Miranda pasti takkan meninggal. Pasti sampai sekarang mereka masih bersama. Dia bahkan hampir membenci sosok cinta pertamanya itu seumur hidup.

Ya, wanita itu Miranda. Tunangannya dahulu.

"Maafkan aku. Aku membencimu selama ini. Aku bodoh."

Miranda membalas pelukan Jeff. Dia menenangkannya dengan mengelus punggung lebar pria itu yang bergetar hebat.

"Kau memang bodoh. Padahal aku di sini selalu menunggumu. Kau memang berhutang maaf padaku, Moy Medved, " ucap Miranda dengan nada bercanda dan bahasa Rusianya yang fasih.

Moy Medved. Sudah lama tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu. Miranda suka memanggilnya dengan sebutan beruang. Tunangannya itu separuh berdarah Rusia.

Jeff semakin menyerukkan wajahnya di leher Miranda. Pelukannya juga semakin erat hingga Miranda sendiri tenggelam di dalamnya. Dia sangat merindukannya hingga tak ingin berpisah.

"Jeff, aku juga minta maaf karena meninggalkanmu dan membuat duniamu tak baik- baik saja setelahnya. Tapi hidupmu harus tetap kau jalani. Jangan selalu terpuruk dengan masa lalu. Kau punya seseorang yang harus kau lindungi sekarang."

I Found A Stranger In My HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang