He needs more time

1.2K 199 78
                                    

Hanif mengusap matanya perlahan, dari ambang pintu kamar dapat ia lihat seseorang sedang sibuk di meja makan, "Udah bangun, Zi." Ucapnya pelan, sembari mendekati Zio yang tersenyum manis.

"Cuci muka dulu, nanti sarapan." Zio menarik tangan Hanif yang baru saja hendak duduk.

Tak ada penolakan dari yang lebih tua, kakinya ia bawa ke kamar mandi dekat dapur, membasuh wajahnya seperti yang Zio perintahkan.

Hanif kembali duduk, menatap penuh minat pada bubur ayam didepannya, "Kamu masak?" Tanyanya, namun Zio menggeleng.

"Beli di persimpangan depan, kata Kak Radika bubur di sana enak."

Menatap buburnya sekali lagi, Hanif dibuat tak yakin dengan rekomendasi dari Radika, lelaki itu kadang tidak dapat dipercaya. Tapi, melihat Zio yang memakannya dengan santai, Hanif kembali mengangkat sendok.

Satu suapan masuk kedalam mulut, tidak buruk, batinnya.

"Gimana tidurnya?"

Zio sampai menoleh pada Hanif setelah mendengar itu, benarkah lelaki itu berbicara padanya, tapi tak ada orang lain di sini selain mereka berdua, jadi Zio sedikit tersenyum, "Nyenyak kok, kamarnya nyaman." Jawabnya.

Menganggukkan kepalanya perlahan, Hanif sedikit tersenyum, "Bagus deh, kalo ada apa-apa bilang aja, Zi." Ucapan itu dibalas anggukan oleh Zio, "Sebenernya ini kali pertama saya tinggal sama orang lain, selama netap di sini sekitar 3 tahun."

"Oh ya? Kak Radika pernah bilang sih, kalo rumah orang tua Kak Hanif jauh dari sini."

Hanif terkekeh, "Radika bilang begitu?" Orang yang ditanya mengangguk semangat sebagai jawaban. "Sebenernya gak jauh sih, masih bisa bolak-balik, cuma kalo mau ke kantor emang paling deket dari sini."

Zio menaikkan alisnya, "Berarti kalo weekend gitu Kak Hanif pulang ke rumah?"

Diam sesaat, lelaki ini lagi-lagi tersenyum, "Emang kalo saya pulang kenapa?" Ia bertanya balik.

"Loh, nggak. Soalnya kalo Kak Hanif nggak di sini saya bingung harus kemana." Jawaban itu membuat Hanif menatap Zio, "Saya gak enak kalo di apartemen Kak Hanif sendirian." Katanya lagi, "Kayaknya saya bakal ke rumahnya Misyella sih, jadi nanti kalo Kak Hanif pulang ke rumah kasih tau saya, ya."

Zio sudah berjalan menuju wastafel, membawa dua mangkuk ditangannya untuk dicuci, sedangkan Hanif masih diam, memperhatikan punggung yang lebih muda. Helaan napas pelan keluar dari bibir Hanif, "Kalo saya pulang ke rumah, kamu ikut saya aja, Zi." Ucapnya membuat Zio menoleh, "Kayaknya kamu perlu tau lingkungan saya gimana." Sesudah mengucapkan itu, Hanif segera menuju kamarnya, dengan Zio yang menatapnya sedikit bingung.

🏷️

"Saya rapat jam 9.20 nanti, Zi." Hanif melihat ponselnya, "Kalo kamu bosen, keliling kantor aja, atau mau ke Coffee shop depan? Nanti kabarin saya, ya?"

Zio mengangguk patuh, duduk dengan berbagai kertas ditangannya untuk dihafalkan. Ruangan Hanif sangat nyaman, Zio penasaran dengan jabatan lelaki itu di kantor ini, pasalnya orang-orang begitu menghormatinya.

Tapi bagi Zio, Hanif bukanlah orang sembarangan. Setelah tinggal sehari di kediaman Hanif, ia bisa menyimpulkan bahwa lelaki yang sekarang menjadi bosnya itu adalah orang kaya.

Menghela napasnya sesaat, Zio paling susah kalau disuruh menghafal. Hanif bilang tidak apa-apa untuk berkeliling kantor, daripada menunggu sendirian di ruangan Hanif, Zio memilih keluar.

Mengedarkan pandangannya, ia menuju lantai dasar, tak ayal menebar senyum pada orang yang menyapanya. Datang bersama Hanif pagi tadi cukup membuat gonjang-ganjing kantor, Zio juga tidak mengerti, entah karena ia pegawai baru kah makanya karyawan lain sedikit antusias.

Baru saja hendak berbelok menuju taman, tangan Zio dicekal oleh seseorang. "Eh Arjana, Hadif ke kantor gak hari ini?"

Sedangkan Zio hanya mengedipkan matanya bingung, orang didepannya ini sedang salah orang, ia melihat kanan dan ke kiri tak ada orang lain, "Arjana siapa?" Tanyanya bingung.

"Lah lu Arjana, begimana sih nama sendiri kaga tau." Tunjuknya pada Zio yang langsung reflek menggeleng.

Zio menarik tangannya, "Saya bukan Arjana, Pak. Maaf." Ucapnya.

Ada keheningan beberapa saat, orang tadi sibuk memperhatikan Zio dari ujung kepala hingga ujung kaki, sedangkan Zio hanya bisa menundukkan kepalanya dalam, "Kamu bukan Arjana?" Tanyanya memastikan, lagi Zio menggelengkan kepalanya hingga helaan napas orang didepannya ini terdengar. "Terus kamu siapa?"

"Saya Rezio." Zio sedikit membungkuk, "Asistennya Pak Hanif."

Orang tadi mengerutkan dahi, "Oh asistennya Hanif." Ujarnya, "Haha sorry ya, gue gak tau. Gue pikir Arjana, anaknya sering berkeliaran di sini soalnya." Tawa sumbang itu membuat Zio menarik ujung bibirnya. "Saya Jefan, dari divisi pemasaran." Lelaki ini juga mengulurkan tangannya, yang langsung disambut oleh Zio.

"Salam kenal Pak Jefan." Zio sedikit membungkuk.

Jefan tersenyum ramah, "Jangan panggil Pak kali." Katanya membenahi, "Saya belum setua itu, tapi keliatannya kamu lebih muda lagi dari saya, jadi... hm panggil saya Mas Jefan."

Zio menaikkan alis, "Mas Jefan?" Ia mengulangi, yang mendapat balasan tawa pelan.

"Gemes." Reaksi Jefan tadi tentu saja membuat Zio bingung, "Saya duluan ya, masih banyak kerjaan soalnya." Pamitnya, namun hal yang membuat Zio lebih terkejut, usapan dikepalanya, "Semangat ya kerjanya."

Lelaki ini mematung, hingga Jefan sudah jauh dari pandangannya. "Di sini banyak orang aneh." Katanya pelan, tak jadi menuju taman, Zio berbalik menuju ruangan Hanif.

🏷️

Hanif melonggarkan dasi, juga melepas kacamata yang sedari tadi ia pakai. Lelaki ini menghela napas sebelum memasuki ruangannya. "Zi—" Panggilnya terhenti ketika menemukan Zio berbaring di sofa.

Mendekat Zio perlahan, Hanif mengamati wajah yang lebih muda sesaat.

Zio tertidur rupanya, Hanif melihat arloji ditangan, sebenarnya sudah memasuki makan siang, tapi ia tak tega harus membangunkan Zio yang nampaknya nyenyak sekali.

Lelaki ini membenahi yang lebih muda, kedua kaki Zio yang menjuntai ke lantai segera dinaikkan keatas sofa, juga kertas yang berada ditangannya, Hanif taruh di meja.

Sedikit mendekat guna merapikan rambut Zio, Hanif bisa melihat damainya wajah yang lebih muda ketika tidur, lelaki ini tersenyum samar, "Maaf ya jadi ngelibatin lo di hidup gue." Katanya, "Gue cuma perlu waktu sebentar lagi, buat yakinin hati. Gue janji." Jemarinya beralih ke pipi Zio, mengusapnya pelan, sebelum mulai berdiri dan keluar. Hanif perlu membeli makan siang untuk keduanya.

Ketika bunyi pintu mulai terdengar, Zio langsung bangkit dengan mata yang melotot, "Gila, salah denger kali ya." Ucapnya pada diri sendiri.

Zio memang tidur, tapi lelaki ini mudah sekali terbangun dengan suara-suara kecil. Setelah mendengar pintu terbuka, sebenarnya Zio ingin bangkit, tapi mendengar apa yang Hanif ucapkan tadi, Zio memilih untuk pura-pura tidur.

Sekarang ia menangkup pipinya, menikmati sensasi panas di sana, dengan degup jantung yang tak kalah cepat. "Ah kalo begini sih, gue jadi naksir beneran." Ucapnya.

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang