Nothing is impossible

1.2K 196 63
                                    

Hanif memberikan sebuah foto pada Kala yang semalam ia telepon untuk bertemu siang ini, "Gue minta tolong buat cari tau tentang dia, Dipta lagi sibuk, gue bingung mau minta bantuan siapa lagi."

"Ini Arjana?" Sekala bertanya, lelaki tinggi ini nampak kebingungan dengan seseorang yang ada difoto, seperti Jana namun terlihat bukan Jana. "Apa Jana punya kembaran juga?" Tanyanya lagi.

Gelengan kepala Hanif berikan, "Namanya Rezio, dia tinggal di rumah susun kenangan."

Alis Kala naik sebelah, "Terus, apa yang pengen lo tau?"

"Semuanya."

Helaan napas terdengar, Kala memandang lekat foto yang tadi Hanif berikan, "Lo penasaran sama dia?" Lelaki ini kembali bertanya, "Karna suka atau karna dia mirip Jana?"

Tak ada respon dari Hanif, membuat Kala menyunggingkan senyum, of course karna dia mirip Jana, batin Kala.

"Dia kerja di coffee shop depan kantor gue ini, kalo lo mau ketemu, dia ada di sana." Ujarnya, sedangkan Sekala hanya menganggukkan kepalanya.

Menyimpan foto tadi disaku jas yang ia pakai, Kala berpamitan pada Hanif, "Secepatnya gue kasih info tentang Rezio, gue pamit." Kemudian lelaki ini keluar dengan senyum miring dibibirnya.

🏷️

Dipta masuk ke ruangan Hanif dengan membawa satu cup kopi ditangan kanannya, sedangkan lelaki itu tersenyum lebar, "Dari ayang." Katanya, sembari menyerahkan pada Hanif.

Sedangkan yang diberi kopi sedikit kebingungan, "Kopi dari Harell ngapain lo kasih ke gue?"

"Enak aja." Sungut Dipta cepat, "Itu titipan dari Coffee shop depan." Lanjutnya, lelaki ini duduk di sofa tak jauh dari meja Hanif, "Lo saking udah langganan banget beli kopi di depan, giliran lo gak kesana malah dikirimin kopi ke kantor. Salut deh."

Mendengar apa yang Dipta sampaikan, Hanif sedikit mengulum senyum, "Siapa yang nganter?"

Dipta mengedikkan bahu, lelaki ini memang tidak tau, karna ia hanya menghantarkannya ke ruangan Hanif, tidak menerima kopinya langsung, "Gue dapet dari anak divisi umum, dia mau nganter kesini, tapi gue ambil aja biar sekalian."

Hanif meneguk kopinya, benar-benar kopi yang biasa ia pesan di coffee shop depan, "Kata Papa, lo mau ambil cuti, ya?"

"Iya, akhir bulan ini." Jawab Dipta, "Beberapa kerjaan gue udah rampung sih, palingan dua hari lagi kelar."

Menganggukkan kepalanya sesaat, Hanif sedikit memasang tampang sedih membuat Dipta berdecih, "Gue bakal kesepian dong."

Dipta melipat tangannya didada, "Alay, gue cuti seminggu doang anjir, udah kayak mau resign aja." Hanif tertawa mendengarnya, "Lo jadi rekrut asisten pribadi?"

Hanif mengangkat bahunya perlahan, "Gue belum nentuin kriterianya, palingan rekrut orang terdekat aja sih, nanti mau nawarin Radika, siapa tau dia tertarik."

"Kenapa gak nyari orang lain aja?" Pertanyaan itu membuat alis Hanif naik.

"Lo tau kan, Dip, ini kerjaan yang menyangkut kehidupan pribadi gue, dia bisa keluar masuk apartemen gue, atau ikut gue ke rumah Papa, makanya gue gak mau sembarangan orang."

Sedangkan Dipta menatap Hanif lekat, "Masalahnya, Nif, Pacarnya Radika itu posesif. Siapa namanya? Sekala? Kala?" Dipta mengingat-ingat, "Dia gak bakalan izinin Radika buat sama lo terus. Radika juga keliatannya kurang tertarik buat kerja jadi asisten pribadi begitu, soalnya gue denger dari Harell mereka mau buka butik bareng."

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang