One unexpected day

1.3K 197 44
                                    

Biasanya ketika Hanif bangun, Zio sudah berada di kamarnya, menata baju lelaki itu dan mempersiapkan semua keperluannya, tapi pagi ini sedikit berbeda, bahkan setelah Hanif selesai mandi pun, Zio juga tak kunjung muncul.

Memakai setelan kemeja putih dan celana kain berwarna hitam, Hanif keluar dari kamar, kepalanya menoleh kekiri dan kekanan mencari sosok yang lebih muda, namun tak kunjung ia temukan. Jadilah lelaki ini berjalan menuju kamar Zio, mengetuknya perlahan, sebelum suara orang yang ia cari itu memanggilnya dari dalam.

Memutar kenop pintu, Hanif mengangkat alis mendapati Zio masih berbaring di kasurnya, "Zi, kenapa?"

"Pusing, Kak Hanif." Jawaban itu membuat Hanif maju, dan langsung meletakkan punggung tangannya pada dahi Zio, memang sedikit lebih panas daripada kemarin, membuat Hanif mengernyit. "Kak Hanif ke kantornya duluan aja, nanti agak siang saya pergi sendiri." Lanjut Zio membuat Hanif menggeleng perlahan.

"Jangan," ucapnya, "Kamu jangan masuk hari ini, istirahat aja."

Lelaki ini mengambil ponsel disaku celana, mengecek jadwalnya, karna jujur saja dalam keadaan seperti ini Hanif tak mungkin meninggalkan Zio sendirian.

Bagaimana kalau nanti Zio membutuhkan sesuatu, tidak ada orang yang akan membantunya, dan Radika pun sepertinya tidak bisa untuk Hanif repotkan hari ini. Tidak ada pilihan lain, pikirnya. Hanif segera mengetikkan pesan yang akan ia kirimkan pada Dipta.

Dipta

Hari ini gue gak ngantor ya
Bilangin ke papa sekalian
Zio lagi pusing, gak bisa gue tinggal

🏷️

Sudah selesai dengan sarapannya, juga sudah meminum obat yang tadi Hanif belikan, walau tidak tidur, Zio memejamkan matanya sesaat. Tak bisa menampik senyum yang perlahan menguar akibat rasa senang dihatinya. Hanif benar-benar tidak pergi ke kantor pagi ini, bahkan ia tak keluar dari kamar Zio sejak lelaki itu kembali dengan sebuah mangkuk sarapan dan juga obat-obatan.

Perasaan Zio rasanya menghangat, hatinya sedikit ragu, ditambah lagi yang lebih tua berbohong pada sahabat dan juga kembarannya tentang hubungan mereka, Zio jadi semakin penasaran tentang perasaan Hanif padanya.

Sekarang ia bisa merasakan tangan besar Hanif berada didahinya, juga dipipi, lelaki itu sepertinya memeriksa suhu tubuh Zio, tanpa pikir panjang Zio meraih tangan Hanif untuk ia genggam, mengundang kerutan dahi yang lebih tua.

Namun walau terkejut dengan gerakan tiba-tiba Zio, Hanif tak bersuara sama sekali, tangannya yang bebas malah mengelus kepala Zio pelan dengan sesekali merapikan rambut yang lebih muda.

"Kita ke rumah sakit aja, ya." Hanif berucap pelan, dan mendapat gelengan dari Zio walau matanya belum terbuka juga.

"Gak mau." Jawabnya.

Hanif kembali mengelus dahi Zio, "Kenapa gak mau?"

Kembali menggelengkan kepalanya, "Pokoknya gak mau." Zio mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Hanif.

Tersenyum tipis sekilas, Hanif tak lagi bersuara. Lelaki ini tak lagi mengusap kepala Zio, dan perlahan ingin menarik tangannya yang Zio genggam sedari tadi, namun ternyata Zio malah membuka matanya, menatap Hanif sendu.

"Kak Hanif marah?" Tanyanya.

Hanif nenaikkan alis, "Nggak, nggak marah." Jawab Hanif bingung.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang