Hanif's curiosity

1.6K 229 56
                                    

Meregangkan otot-ototnya, Hanif bisa bernapas lega ketika kerjaan yang diberikan Dipta sudah ia selesaikan.

Jam makan siang sebentar lagi, rencananya Hanif ingin berkunjung ke Coffee shop depan kantor, tempat Zio bekerja. Namun kali ini ia ingin membawa Dipta bersamanya, ingin mengenalkan Zio pada lelaki itu, dan meminta pendapat tentang kemiripan Zio dan juga Jana.

Maka Hanif segera berjalan menuju ruangan Dipta, menyeret lelaki itu untuk ikut bersamanya.

"Nif, sumpah gue ketemu seseorang semalem, gue yakin lo suka banget sama dia." Belum juga Hanif berbicara, Dipta sudah lebih dulu menarik lengannya. "Ini tipe lo banget, gue yakin lo gak bakalan nolak kalo gue kenalin sama nih orang."

Hanif mengerutkan alis, "Siapa?"

"Nah itu dia masalahnya." Jawabnya, Dipta bahkan menggaruk bagian belakang kepala, "Gue gak tau namanya."

"Emang lo ketemu dimana?"

"Warung makan, waktu mau pulang." Ucap Dipta, "Gue udah nanya namanya, tapi karna gue bareng Harell, dia tiba-tiba keluar dari mobil, dan gue gak bisa denger nama orang itu." Jelasnya dengan menyebutkan nama sang pacar.

Helaan napas Hanif terdengar, "Yaudah, sekarang gue mau ajak lo ke Coffee shop depan, 10 menit lagi kan jam makan siang." Hanif sudah berbalik hendak berjalan terlebih dahulu, namun Dipta tiba-tiba menghadang jalannya.

"Gue ada meeting sama bokap lo bentar lagi, trus makan siang nanti gue bareng Harell." Ucapnya, sesekali melihat jam yang melingkar ditangan, "Lo tau kan, Nif, gue sama Harell itu gak banyak waktu bareng, mumpung sekarang dia gak sesibuk biasanya, gue mau nge-date." Katanya panjang lebar, membuat Hanif memutar bola matanya malas. "Makanya, lo cari pacar, atau lo cari asisten pribadi deh yang jomblo biar bisa nemenin lo kemana pun."

Karna sudah waktunya, Dipta kemudian melenggang pergi dari hadapan Hanif, tak lupa kedipan genitnya ia berikan pada Hanif yang sudah memasang tampang sedatar-datarnya.

🏷️

Hanif tak henti-hentinya mengedarkan pandang, seperti sedang mencari seseorang, membuat Radika yang duduk diam didepannya ikut melihat kanan kiri. 

"Lo nyari siapa, Nif?" Akhirnya pertanyaan itu Radika utarakan.

Lelaki ini mengedikkan bahunya sesaat, "Seseorang, tapi kayaknya gak ada."

"Telfon aja kalo gitu." Ujarnya santai, sedangkan Hanif malah terkekeh.

Ia tak sedekat itu dengan Zio, bagaimana bisa tau nomor teleponnya, "Oh iya, Dik. Menurut lo, bisa gak sih seseorang mirip banget sama orang lain? Padahal bukan sodara kandung ataupun keluarga."

Radika menyandarkan punggungnya, dengan tangan yang terlipat didada, lelaki ini diam sesaat seperti sedang berpikir, "Bisa aja sih, kan katanya manusia punya banyak kembaran."

Jawaban Radika persis seperti yang Hanif pikirkan, tidak semua orang yang mirip itu kembar, bukan?

"Gue denger dari Hadif, lo gak dateng lagi ke acara makan malam kemaren, ya?"

Hanif mendengus, ia tak ingin membahas hal ini sebenarnya. Tapi didepannya ini adalah Radika, temannya sedari kecil, orang yang sangat mengerti dengan si kembar Sabiru, walau ia tak akan menghakimi Hanif seperti yang Dipta lakukan kemarin, tetap saja rasanya Hanif malas membahasnya, "Gue ada kerjaan lain kemaren, Hadif juga ngasih taunya lumayan dadakan. Gue ini masih seorang mahasiswa dan seorang pegawai kantor, lo tau sendiri kerjaan gue menggunung."

Radika tertawa mendengarnya, "Alesan yang bagus." Katanya disela-sela tawa, "Lo gak berniat nyari pacar, kah?"

"Ribet."

Kali ini Radika tersenyum, "Ribet atau belum move on?" Pertanyaan ini tentu saja tak dijawab Hanif, dan Radika sendiri sudah tau jelas jawabannya. "Nif, masa lalu tuh gak harus lo lupain, biarin aja ada sebagai hal yang bisa lo kenang, yang artinya semua yang terjadi udah berlalu, dan seharusnya nggak mempengaruhi diri lo yang sekarang." Jelasnya.

Hanif yang semula membuang muka, kini perlahan menatap Radika.

"Jangan terjebak dengan hal-hal yang udah berlalu, Nif, udah saatnya lo bahagia." Radika berkata lembut, dan Hanif sesekali mengangguk, namun sesaat kemudian mata Radika tiba-tiba membola kaget, "Gila, gue pikir itu tadi si Jana."

Cicitan pelan Radika tentu saja membuat Hanif ikut menoleh, menemukan Zio sedang membersihkan meja tak jauh dari keduanya, Hanif diam-diam tersenyum, "Mirip Jana, ya?" Tanyanya pada Radika yang bahkan tak bisa mengalihkan tatapannya.

Lelaki manis didepan Hanif ini hanya mengangguk pelan, "Maksud dari pertanyaan lo tadi dia, ya? Seseorang yang mirip sama orang lain tapi bukan kembaran." Hanif dengan cepat mengangguk, "Oh Gosh."

"Gue awalnya mikir kalo mereka kembar terpisah atau semacamnya, tapi setelah gue perhatiin Zio keliatan lebih muda dari Jana, sih." Mendengar penuturan Hanif, Radika menaikkan alis, lalu terkekeh sesaat.

Radika tersenyum menyebalkan, "Let's see." Katanya, lalu dengan tangan terangkat, matanya memandang pada Zio yang tak jauh dari keduanya, "Excuse me."

Tepat sasaran, Zio menoleh detik berikutnya. Lelaki ini berjalan mendekati Radika, sedangkan Hanif hanya diam memperhatikan apa yang akan sahabatnya ini lakukan.

"Ada yang bisa saya bantu, kak?" Ucap Zio.

Radika menoleh pada Hanif yang tak lepas tatapannya pada orang didepan mereka ini, "oh, nggak, adik tiri saya kan mau ulang tahun, tapi saya gak tau umurnya, bingung mau ngasih hadiah apaan, kira-kira seusia kamu deh, kamu udah lama lulus SMA-nya?"

Zio tampaknya masih belum sadar ada Hanif disebelah kirinya, lelaki ini hanya terdiam bingung, "Saya lulus tahun kemaren, kak."

"Oh kebetulan banget, berarti umur kamu masih belasan, ya?"

Zio mengangguk, "17 tahun."

Radika tersenyum, lalu mengucap terima kasih, dan Zio berlalu dari meja keduanya. Lelaki ini tertawa, bahkan ketika punggung yang lebih muda menjauh, tatapan Hanif tak pernah lepas, "Masih kecil, Nif." Godanya.

Hanif mengerutkan alis, lantas meminum minumannya membuat Radika tertawa kencang, "Kalo gue gak nanya soal umurnya, lo gak bakalan pernah tau dan terus menduga-duga, lo kan cupu, makanya Jana diambil Hadif."

Perkataan Radika sedikit menggores harga dirinya, Hanif menjadi bertekad untuk membuktikan pada sahabatnya ini kalau ia tak seperti apa yang Radika katakan tadi.

Hanif tersenyum miring, "Let's see."

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang