What does it mean?

1.2K 199 56
                                    

Memakan keripik singkong yang ia beli sebelum pulang tadi, Zio duduk dengan tangan kiri yang memegang ponsel, menggulir layar ponselnya yang menampilkan berbagai macam video lucu membuatnya beberapa kali tertawa pelan.

Hanif yang berada disebelahnya sesekali menoleh, namun pada akhirnya kembali fokus pada laptop di meja.

Keduanya duduk disofa depan televisi, Hanif masih mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum selesai, sedangkan Zio katanya ingin menemani Hanif walau sekarang ia terlihat asik sendiri.

"Sayang, boleh minta tolong bentar, gak?"

Zio dengan cepat menoleh, meletakkan bungkusan cemilan dan juga ponselnya di meja, "Kenapa, Kak Hanif?" Ia balik bertanya.

Sedangkan Hanif mengerutkan alis, "Kamu bilang apa?"

Mendengar ditanya demikian, Zio terlihat kebingungan, "Kenapa Kak Hanif?" Ulangnya lagi.

"Apa?"

Zio semakin tak mengerti dengan apa yang Hanif maksudkan, "Kenapa sih Kak Hanif?" Lelaki ini jadi kesal sendiri.

Hanif mendengus, "Kamu itu yang kenapa." Jawabnya, "Tadi siang waktu minta izin, kamu panggil apa?"

Mencoba mengingat-ingat yang tadi siang ia katakan pada Hanif, Zio terlihat mengerutkan keningnya, "Mas Hanif?" Katanya tak yakin, lalu seakan tersadar akan suatu hal, "Ohh..." Ucap Zio kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat Hanif mencibir. "Jadi, mau dipanggil Mas Hanif." Godanya.

"Maksudku kan, kalo manggilnya Mas bakal lebih cocok." Hanif menggerutu, semakin membuat Zio terpingkal disebelahnya.

Sudah puas tertawa, Zio kembali bertanya, "Mas Hanif mau minta tolong apa?"

Hanif terlihat menghela napasnya pelan, "Dimeja kerja Mas di kamar, ada amplop warna coklat, isinya perjanjian kerjasama. Bisa tolong Zio ambilin gak?"

Sang kekasih mengangguk, "Boleh, bentar ya Mas."

Zio berjalan pelan menuju kamar Hanif yang kini juga menjadi kamarnya itu, menuju meja diujung ruangan dengan kerutan dahi bingung, sebab amplop berwarna coklat tidak hanya satu di sana.

Ada satu tumpukan tinggi yang isinya berbagai dokumen, Zio tentu saja harus membuka isinya untuk memastikan berkas mana yang dimaksudkan Hanif tadi.

Sekitar empat amplop yang Zio buka, sebelum berhasil menemukan amplop yang ia cari. Tangannya kembali menumpuk berkas tersebut, namun karna tak seimbang, beberapa amplop jatuh ke lantai, membuatnya berjongkok pelan.

"Sayang, ada gak?" Hanif sedikit berteriak dari luar.

"Ada Mas, bentar." Jawab Zio juga meninggikan suaranya.

Namun satu amplop coklat bertuliskan namanya berhasil membuat Zio terpaku ditempat, matanya beberapa kali mengerjap, sebelum tangannya perlahan menarik isi amplop yang sedikit tebal itu.

Zio menautkan alis, melihat beberapa lembar kertas berisikan biodatanya, lengkap dengan alamat rumah susun yang kemarin ia tinggali, juga alamat panti asuhan yang sedari kecil merawatnya. Zio tak mengerti kenapa Hanif menyimpan ini semua, termasuk biodata diri yang Zio tulis atas suruhan Radika tempo hari.

Hanif kembali memanggilnya, membuat Zio kelabakan. Dengan cepat memasukan semua dokumen tentang dirinya itu kembali kedalam amplop sebelum menyusunnya dimeja Hanif seperti semula. Lalu ia keluar dengan satu amplop coklat yang ia cari.

"Yang ini bukan?" Tanyanya, sembari menyerahkannya pada Hanif, yang disambut senyum manis yang lebih tua juga ucapan terima kasih.

Zio duduk pelan, sedikit menarik ujung bibirnya. Sungguh rasanya benar-benar tidak nyaman, lelaki ini memperhatikan Hanif lama, dengan isi pikiran yang berkecamuk.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang