They both meet again

1.3K 216 106
                                    

Hanif menatap pintu apartemennya, berharap seseorang yang sudah ia tunggu sedari tadi segera datang. Lelaki ini sengaja memesan makanan di tempat kemarin, dalam hati berdoa agar Rezio yang menghantarkannya malam ini.

Sudah kehabisan akal untuk meminta nomor telepon lelaki yang ternyata lebih muda darinya itu, cara inilah yang Radika sarankan padanya.

"Apa nggak terlalu aneh, ya, tiba-tiba nanya nomer telepon." Monolognya, Hanif menyandarkan punggung, mencoba berfikir sejenak.

Akan kah melanjutkan dengan rencana yang sudah disusun Radika, atau mencoba cara lain, yang kedengarannya lebih masuk akal.

Pintu apartemen diketuk, Hanif segera berdiri dan berjalan cepat membukanya. Sepertinya keberuntungan kali ini berpihak pada Hanif, Zio berdiri didepannya dengan senyum canggung yang kerap kali lelaki itu berikan.

Hanif segera mengambil pesanannya, dan Rezio berpamitan untuk pergi. Tapi sebelum itu, Hanif sudah memanggilnya terlebih dahulu, membuat lelaki manis didepannya menaikkan alis.

"Biasanya pulang kerja jam berapa?" Pertanyaan itulah yang keluar dari bibir Hanif.

Zio tentu saja bingung, ada perihal apa sampai lelaki didepannya ini menanyai jam kerjanya, "Jam 11, Pak."

Mendengar itu, Hanif diam. Apakah Zio sangat perlu uang sampai harus kerja siang malam seperti ini?

Sedangkan Rezio hanya diam kebingungan, apakah ada hal lain yang ingin Pak Hanif sampaikan padanya, "Ada yang perlu dibicarain lagi, Pak?" Memberanikan dirinya bertanya, Zio membuat Hanif menatapnya.

Lelaki itu menggeleng, lalu sedikit tersenyum, "Gak ada, maaf ya." Setelahnya, Zio benar-benar berlalu.

Hanif meringis, "Gagal." Ucapnya, ia akui dirinya benar-benar payah dalam hal ini.

🏷️

"Jadi gimana, lo belum mempertimbangkan buat nyari sekretaris, ya?" Dipta baru saja duduk disebelah Hanif yang sedang melamun, "Kerjaan gue makin banyak nih, kayaknya gak bisa ngikutin lo mulu."

Hanif yang mendengarnya hanya menghela napas, "Nanti aja dipikirin." Jawabnya.

Dipta mengangguk sesaat, lelaki ini membenarkan letak kacamatanya, "Lo gak dateng ke acara makan malam lagi?"

Lagi dan lagi hanya helaan napas yang Hanif keluarkan, kenapa semua orang malah membahas tentang acara makan malam itu, lama-lama Hanif muak mendengarnya.

"Mereka udah bahas tentang tanggal pernikahan."

Kalimat terakhir dari Dipta membuat Hanif terdiam, Hadif memang tak pernah main-main ketika menjalin hubungan, tapi Hanif sedikit tak menyangka lelaki itu akan menikah secepat ini.

Hanif bangkit dari duduknya, tersenyum kecil pada Dipta yang memperhatikan perubahan pada raut wajah Hanif, "Kepala gue agak suntuk, nih. Kalo Papa nanya, gue nyari udara segar bentar." Katanya, lalu menepuk pundak Dipta sesaat.

Bukan ke ruangannya, bukan juga berjalan ke Coffee shop depan kantor, Hanif memilih duduk disamping pohon rindang sebelah kantornya.

Duduk disana dengan kepala yang menengadah, lalu terpejam menikmati semilir angin siang yang sejuk, membuat rambutnya berantakan.

Perasaan Hanif rasanya campur aduk, namun tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Hanif ingin menenangkan pikirannya sejenak, berharap setelah ini hanya ada kata ikhlas didalam hatinya.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang