They are destiny

1.4K 206 51
                                    

Hanif bingung ketika Zio datang ke ruangannya dengan tangan yang menenteng bungkusan roti juga dengan wajah yang cemberut. Ada apa dengan kekasihnya ini?

Bahkan saat Hanif menghampirinya yang masih setia berada didepan pintu, wajah Zio memerah hampir menumpahkan tangis kalau saja yang lebih tua tak segera menenangkannya.

Hanif tak banyak bertanya, langsung membawa Zio kedalam pelukan, mengusap pundak kekasihnya juga membubuhkan beberapa kecupan dipuncak kepala.

"Kenapa gak bilang kalau mau ke sini, biar Mas jemput." Ujar Hanif, sedangkan Zio masih setia membungkam suaranya. "Zio udah makan? Sandwich yang tadi pagi Mas siapin udah dimakan?"

Hanya anggukan kepala yang Zio bagi, tangannya melingkar di pinggang Hanif, membuat yang lebih tua mengerutkan alis, "Zio gak suka di apart sendirian, ya?" Hanif bertanya, "Mas nggak panggil Dika, soalnya Mas kira Zio pengen punya waktu buat sendiri."

Masih belum juga membuka suara, Hanif semakin mengelus punggung itu dengan sayang. "Mau duduk gak? Zio gak capek berdiri?" Hanif mencoba bertanya, walau Zio masih tak bergeming, "Atau mau Mas gendong, kita pindah ke sofa."

"Gak mau disitu." Cicit Zio, Hanif sedikit tertawa mendengarnya.

Apakah Zio demam, atau sedang tak enak badan? Hanif bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat Zio seperti ini. "Zio mau pulang? Mas beres-beres bentar kalo Zio mau pulang."

Kali ini gelengan kepala yang Zio berikan sebagai respon, "Jangan pulang."

"Terus, Zio mau apa? Gak capek berdiri di sini?" Hanif mencecarnya dengan pertanyaan, namun tak mendapat jawaban dari kekasihnya itu.

Atas inisiatifnya sendiri, Hanif menggendong Zio. Lelaki yang lebih muda sedikit terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, langsung melingkarkan tangannya ke leher Hanif, kekasihnya ini membawa Zio menuju meja kerjanya, mendudukkan dirinya di sana juga Zio yang sekarang duduk diatas pahanya.

Kalau begini, Hanif bisa lebih leluasa memperhatikan wajah Zio yang melengkungkan ujung bibirnya kebawah. "Jangan cemberut." Hanif memainkan pipi Zio, menoel-noelnya pelan membuat Zio menjauhkan wajahnya. "Dari kemaren gak mau ngomong sama Mas, Mas ada salah ya?" Tanyanya, tapi Zio masih diam, "Mas minta maaf deh."

Mendengar itu, Zio menatap Hanif sesaat, lalu kembali menyandarkan kepalanya pada dada bidang yang lebih tua, "Aku mau minta maaf sama Mas Hanif." Ucapnya, membuat Hanif sedikit menarik bibir.

"Minta maaf kenapa?" Kekasihnya itu bertanya.

Zio mengerucutkan bibir, tak luput dari pandangan Hanif, membuat lelaki ini mati-matian menahan gemas. "Kemaren aku tiba-tiba marah." Jawabnya. "Padahal aku yang salah, perginya gak bilang-bilang sama Mas Hanif."

Hanif mengulum senyum, "Gapapa, sayang." Jawabnya, "Tapi Mas minta, jangan diulangin lagi, ya. Mas khawatir."

Hanif tertawa pelan ketika Zio menganggukkan kepala, membuat sensasi aneh di dadanya. Kedua tangan Hanif masih setia memeluk Zio, mengusap pelan lengan sang kekasih yang terlihat murung dua hari ini.

Zio mendongakkan kepala, tatapannya bertabrakan dengan mata Hanif yang juga setia memandang kearahnya, "Kak Hanif masih ada kerjaan?" Ia bertanya, "Aku mau pulang aja kalo gitu."

Pergerakan Zio langsung ditahan oleh Hanif, "Tadi katanya jangan pulang?" Lelaki ini balik bertanya.

"Kan Mas Hanif punya kerjaan, gapapa aku pulang sendiri."

Hanif menggeleng, "Mas gak kasih izin." Ucapnya, "Di sini aja, jangan kemana-mana."

Menghela napasnya pelan, Zio kembali menyandarkan kepala di dada Hanif, menikmati usapan sayang di rambutnya, juga dekapan hangat yang Hanif bagi untuknya.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang