Tell me everything

1.4K 209 70
                                    

Telepon yang berdering kembali membuat Hanif terusik dari tidurnya, lelaki ini membuka matanya perlahan dan mendapati Zio masih tertidur disebelahnya.

Hanif menyambar ponsel yang ada di nakas, mengernyit bingung ketika nama sang Ayah tertera di sana.

Maka dengan pelan menggeser tubuhnya agar tak mengganggu Zio, Hanif sedikit menjauh ketika panggilan ia terima, "Hallo, Pa?"

"Papa denger, kemaren kamu gak ke kantor ya, my bro?"

"Iya." Hanif menjawab cepat, "Tapi proposal kerjasamanya udah dibawain Dipta ke apartemen, udah Hanif cek semua, mungkin nanti siang bisa Papa cek lagi buat kelanjutannya." Ia menjelaskan panjang lebar.

Suara tawa dari seberang membuat Hanif mengernyit, "Bukan itu." Kata sang Ayah, "Alasan kenapa kamu gak ke kantor?"

Melihat kearah Zio yang masih tertidur, Hanif menghela napasnya, "Zio kepalanya pusing." Jawab Hanif pelan, "Hanif gak bisa ninggalin dia sendirian, takutnya nanti perlu sesuatu gak ada yang bisa bantu."

Kembali tawa sang Ayah terdengar, membuat lelaki ini merotasikan bola matanya malas, karna pasti hal ini akan menjadi bahan ledekan nantinya, "Terus sekarang, keadaan Zio gimana?"

"Belum tau, Zio masih tidur."

"Kamu hari ini gak masuk kerja lagi?"

Hanif terus memperhatikan Zio ketika melihat mulai adanya pergerakan pada lelaki itu. Hanif tersenyum tipis, sedikit merasa bersalah sudah mengganggu waktu tidur si manis, "Belum tau, kalo pun ke kantor, mungkin agak siang." Balasnya, lelaki ini semakin melebarkan senyum pada Zio yang sudah duduk menatapnya dengan mata setengah terbuka. "Papa, udah dulu, ya. Nanti Hanif telfon lagi."

Sang Ayah berdehem dari seberang, "Gak apa-apa kalo belum masuk hari ini, Nif. Papa bisa memaklumi, kesehatan kan yang utama, iya gak my bro?"

Hanif mendengus, "Iya, makasih, Pa." Jawabnya sebelum mematikan telepon, lelaki ini berjalan mendekati Zio yang menatapnya lesu, "Morning." Ucapnya, tangan kanannya naik ke dahi Zio, memeriksa suhu tubuh si manis, "Udah gak sepanas kemaren."

Senyum tipis Zio berikan pada yang lebih tua, lalu kepalanya mengangguk pelan, "Udah enakan badannya, Kak Hanif. Cuma, kepalanya masih agak berat dikit." Jelasnya, ah Zio benar-benar salah tingkah karena tatapan yang Hanif berikan padanya, "Siapa yang telfon?"

"Papa."

Zio menaikkan alisnya, "Kak Hanif udah disuruh ke kantor, ya?" Tanyanya, "Kak Hanif mandi aja, gih, saya siapin bajunya."

Baru saja hendak turun, tangan Zio langsung dicekal Hanif, "Mau kemana?" Lelaki itu malah balik bertanya, "Udah di sini aja, gak usah ngapa-ngapain, saya gak ke kantor kok hari ini."

"Kenapa gitu?" Zio bertanya dengan raut bingung.

Hanif terlihat berfikir sesaat, lelaki ini kemudian menghela napas, "Ya, karna gak ada kerjaan." Bohong sekali, tidak mungkin seorang direktur perusahaan tidak memiliki pekerjaan.

Zio mengerutkan alis.

"Kamu tunggu di sini, ya. Saya buatkan sarapan sebentar." Hanif bangkit dari duduknya, sebelum pergi lelaki ini mengusap rambut Zio pelan, tak lupa juga tangan kanannya itu mampir ke pipi si manis, lalu mengusapnya pelan dengan ibu jari.

Dalam keadaan nyawa yang baru terkumpul sedikit, Zio benar-benar terkejut dibuatnya. Bagaimana bisa lelaki itu masih bisa terlihat santai, ketika Zio saja rasanya ingin mencak-mencak dan menggulung bumi.

Hingga tepat ketika pintu kamar kembali tertutup, Zio merebahkan kepalanya dengan tak santai, menepuk-nepuk bantal beberapa kali dan kakinya menendang-nendang diudara.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang