Even though it hurts

1.2K 190 25
                                    

Zio tersenyum lebar ketika Hanif mengajaknya berjalan-jalan sore ini, jarang sekali lelaki itu pulang lebih cepat, apalagi mengajak Zio keluar, biasanya mereka menghabiskan banyak waktu berdua di apartemen.

Hari ini sedikit berbeda, Hanif juga bilang akan membelikan apapun yang Zio inginkan, serta menuruti mau sang kekasih. Tapi, katanya Hanif ingin mengajak Zio ke suatu tempat dulu. Tentu saja Zio bersedia, yang ia inginkan hanya berjalan-jalan bersama Hanif.

"Kita mau kemana ya, Mas?" Tanyanya, sedangkan Hanif menatapnya sekilas.

Senyum tipis kembali menguar dibibir yang lebih tua, "Ke suatu tempat, nanti Mas jelasin."

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibukota, berbelok kanan dan kiri beberapa kali hingga keduanya sampai dipinggiran kota setelah hampir satu jam mengendara.

Hanif berhenti ditepi jalan, menatap sang kekasih dalam, sedangkan Zio dengan senyumnya terlihat sedikit bingung. "Mas sayang banget sama Zio." Ucapnya, senyum manis yang menghiasi bibir yang lebih muda perlahan luntur, "Maaf kalo Zio gak suka ini, dan Mas mau jujur."

Mendengar itu semua, jantung Zio berdetak lebih kencang dari sebelumnya, ia dilanda gugup, "Mas..." Ada jeda yang Hanif ambil, "Mas sebenarnya udah nyari tau tentang Zio sebelum ini, udah lama banget bahkan sebelum Mas sadar sama perasaan Mas." Hanif mengambil amplop coklat didalam tas kerjanya yang ada dikursi penumpang belakang.

Ah, Zio sudah tau ini.

"Selain itu, Mas juga nyari tau tentang keluarga Zio." Ucapnya, membuat si manis mengerutkan alis, "Mas udah tau, kalo Mamah sama Ayah Zio meninggal karna kecelakaan mobil, gapapa Zio gak cerita, Mas gak mau bikin Zio sedih." Sambungnya, Hanif mengusap puncak kepala Zio sayang, "Tapi, hari ini, Mas mau Zio tau, kalo Zio masih punya keluarga lain selain Mamah sama Ayah, Zio masih punya nenek."

Mata Zio membulat terkejut, "Nenek?"

Menganggukkan kepalanya, Hanif membagi senyum, "Biar Mas ceritain dulu, supaya Zio gak bingung." Hanif menggenggam tangan Zio, balik menatap netra yang tak lepas darinya itu, "Mamah Zio tuh anak bungsu dari tiga bersaudara, paling disayang sama nenek kamu dulu. Ketika Mamah kamu nikah dan mereka punya Zio, mereka dikasih mobil sama rumah. Karna itulah bikin dua saudara yang lainnya jadi iri, mereka menyabotase mobil, bikin rem mobilnya gak berfungsi, makanya kecelakaan itu terjadi." Hanif dengan pelan menjelaskan semuanya pada Zio, menurutnya, Zio perlu tau kebenarannya.

Sedangkan air mata si manis sudah tidak bisa terbendung, setitik demi setitik mulai menetes.

"Mereka saudara Mamah, tau kalau Zio masih selamat. Tapi mereka bilang ke Nenek, kalau kalian semua meninggal dalam kecelakaan itu dan menitipkan kamu ke panti asuhan yang jauh dari tempat Nenek, jadi..."

Zio memotong, "Jadi, Nenek gak tau kalo aku masih hidup ya, Mas?" Pertanyaan itu mendapat anggukan kepala oleh Hanif.

Air mata Zio benar-benar turun membasahi pipi, membuat Hanif memejamkan matanya pelan, sangat marah dengan keadaan Zio saat ini. "Semua harta Mamah serta warisan atas namanya diambil sama dua saudaranya tadi Zio, bahkan semua kekayaan Nenek." Hanif bergerak menghapus jejak air mata dipipi Zio, walau air matanya kembali jatuh pada akhirnya, "Zio sayang, dengerin Mas bentar."

Mengangkat pandangnya, Zio menatap Hanif, yang lebih tua membagi senyum tipis, "Coba Zio lihat ke seberang jalan." Ucap Hanif, Zio menuruti itu, "Namanya Nenek Gayatri, Nenek Zio dari Mamah." Makin pecah tangis Zio mendengarnya, "Umurnya hampir 80 tahun, Zi, dan penglihatannya lumayan buruk. Zio mau kesana?"

Si manis mengangguk ribut. Setelah mendapat persetujuan dari Hanif, Zio keluar dari mobil. Tangannya beralih menghapus air mata, sembari berjalan mendekat.

Mati-matian Zio menggigit bibir bawahnya, agar isak tangisnya tak terdengar. Namun seolah sadar ada orang lain yang mendekat, Nenek Gayatri perlahan menolehkan kepala, "Mau beli telur?" Tanyanya, membuat Zio otomatis mengangguk ribut.

Lelaki ini berjongkok, menghela napasnya sesaat sebelum berdehem, "Berapa harga telurnya, Nek?"

"Satu telur harganya seribu lima ratus, Tuan."

Zio kembali menangis, lelaki ini menutup mulutnya, Hanif yang semula memperhatikan dari jauh ikut mendekat.

"Tuan?"

"Bungkus semua telurnya, Nek." Jawab Hanif cepat, merengkuh pinggang sang kekasih sesaat, sebelum ikut memasukkan telur-telur yang ia beli pada keranjang telur yang tersedia di sana. "Totalnya berapa, Nek?"

Si Nenek tersenyum tipis, bibirnya mengucap syukur. "Karna Tuan ambil semua telurnya, jadi cukup bayar dua ratus lima puluh ribu aja." Ucapnya, dibarengi senyum bangga yang lagi-lagi tak kuasa membuat air mata Zio meluruh.

"Hari ini udah laku berapa banyak, Nek?" Hanif bertanya lagi, sembari membuka dompetnya.

Nenek Gayatri nampak cemberut, "Belum ada yang beli, Tuan. Hampir saja saya makan telor lagi hari ini, untungnya ada, Tuan."

Hanif tersenyum simpul, lantas memberikan sekitar 10 lembar uang seratus ribuan, membuat si Nenek mengernyit bingung, "Loh, Tuan, ini banyak sekali." Katanya, tangannya meraba uang yang Hanif berikan, menghitung lembarannya, "Harganya cuma dua ratus lima puluh ribu, Tuan, ini terlalu banyak."

Hanif menolak ketika Nenek mengembalikan uangnya, "Gapapa, Nek, untuk Nenek aja."

Beribu-ribu ucapan terima kasih mengalun dari bibirnya, serta doa-doa yang beliau berikan pada Hanif agar selalu berkah hidupnya. Zio mencebik disebelah, membuat Hanif terkekeh karenanya, "Nenek doakan saya ya, semoga pacar saya mau nikah sama saya."

Zio sekali lagi mengusap air matanya, menepuk pundak Hanif sesaat membuat lelaki itu mengaduh pelan.

"Amin, semoga selalu dilancarkan, Tuan." Ucap Nenek Gayatri, "Terima kasih sekali lagi."

Keduanya baru saja hendak berpamitan, sebelum Hanif kembali berbicara, membuat Zio menatapnya dengan alis bertaut, "Nek, boleh gak kalo pacar saya peluk Nenek sebentar, waktu liat Nenek dia teringat sama Neneknya sendiri."

"Wah, boleh sekali." Nenek Gayatri menyambut senang, "Tapi masih bau matahari, memangnya gapapa? Takut bajunya kotor."

Zio langsung memeluk Nenek Gayatri, dengan air mata yang kembali menetes dipipi, walau sempat terkejut, Nenek Gayatri membalas pelukan itu, serta mengusap kepala Zio penuh sayang, "Hidup yang bahagia ya, Nak." Katanya.

"Makasih banyak, Nek." Ucapnya, ia juga menyalami tangan sang Nenek sebelum pergi.

Sedih sekali rasanya hati Hanif melihat Zio seperti ini. Usai Kala mengirimi alamat lengkap Nenek Gayatri, Hanif langsung pergi sendiri untuk mencari tau, sebelum datang membawa serta Zio kesana.

Kala tak setuju dengan ide ini awalnya, karna lelaki itu tau betul dua saudara perempuan Mamah Zio adalah orang yang serakah.

Tapi, atas banyak sekali pertimbangan, akhirnya disini mereka sekarang, mempertemukan Zio dengan sang Nenek yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Memberitahu semua kebenaran yang tak pernah ia ketahui, karna walaupun menyakitkan, Zio harus mengetahui semuanya.

Memberitahu semua kebenaran yang tak pernah ia ketahui, karna walaupun menyakitkan, Zio harus mengetahui semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang